¿ªÔÆÌåÓý

ctrl + shift + ? for shortcuts
© 2025 Groups.io
Date

mohon bantuan tentang waris

Doddy Darmajana
 

Assalamualaikum warohmatullohi wabarokatuh

Apakah surat wasiat (surat pesan) dari orang yang
sudah meninggal dengan membagi harta waris kepada
anaknya, (berdasar kebijaksanaan sendiri oleh pewaris/
yang meninggal) dapat dilaksanakan atau dapat dipatuhi
oleh ahli waris. Atau warisan tetap harus dibagikan
sesuai dengan hukum islam.
Sebagai ilustrasi, Seorang ayah mempunyai 4
anak,terdiri 1 laki-laki dan 3 orang perempuan.
Almarhum meninggalkan surat wasiat yang isinya membagi
tanah+rumah peninggalannya seperti apa yang tertulis
pada surat wasiat. Si anak tidak tahu apa pembagian
itu sudah sesuai dengan hukum islam. Bila diperiksa
dengan cara memperkirakan harga jual masih memerlukan
waktu dan rumah2 tersebut masih ditinggali oleh
masing2 ahli waris.
Mohon bantuan untuk menyelesaikan persoalan ini.
Jazakumulloh khoiron.

Doddy A. D.


____________________________________________________________________________________
Never miss a thing. Make Yahoo your home page.


Re: >>Tanya : tuntunan sunnah setelah kelahiran<<

aa_teds ibnu rachman
 

From: iswanto -
Sent: Sunday, November 25, 2007 10:30 PM
assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
ana ingin bertanya :
ana akan menjadi seorang ayah alhamdulillah. ana tidak tau tentang tuntunan sunnah setelah bayi lahir, yang ana tau hanyalah tentang qishos, bagaimana dengan ari2 si jabang bayi? apa yang harus kulakukan sebagai seorang ayah yang baru. Mohon pencerahannya.
sekian.
Wassalamu'alaikum warahmtullahi wabarakatuh
=======

HARI PERTAMA DARI KELAHIRAN ANAK

Oleh
Salim bin Ali bin Rasyid Asy-Syubli Abu Zur'ah
Muhammad bin Khalifah bin Muhammad Ar-Rabah.
Sumber :

SUNNAHNYA TAHNIK
Pengertian tahnik secara bahasa dan syr'i adalah mengunyah sesuatu dan meletakkanya di mulut bayi. Maka dikatakan engkau mentahnik bayi, jika engkau mengunyah kurma kemudian menggosokkannya di langit-langit mulut bayi

Dianjurkan agar yang melakukan tahnik adalah orang yang memiliki keutamaan, dikenal sebagai orang yang baik dan berilmu. Dan hendaklah ia mendo'akan kebaikan (barakah) bagi bayi tersebut.

Dalil tentang tahnik ini disebutkan dalam beberapa hadits di antaranya.

Dari Abu Musa al-Asy'ari Radhiyallahu 'anhu, ia berkata.

"Artinya : Lahir seorang anakku maka aku membawanya ke hadapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam maka beliau memberinya nama Ibrahim. Beliau mentahniknya dengan kurma dan mendo'akan barakah untuknya. Kemudian beliau menyerahkan bayi itu kepadaku" [1]

Dari Asma binti Abi Bakar Ash-Shiddiq ketika ia sedang mengandung Abdullah bin Az-Zubair di Makkah, ia berkata.

"Artinya : Aku keluar dalam keadaan hamil menuju kota Madinah. Dalam perjalanan aku singggah di Quba dan di sana aku melahirkan. Kemudian aku mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan meletakkan anakku di pangkuan beliau. Beliau meminta kurma lalu mengunyahnya dan meludahkannya ke mulut bayi itu, maka yang pertama kali masuk ke kerongkongannya adalah ludah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Setelah itu beliau mentahniknya denan kurma dan mendo'akan barakah baginya. Lalu Allah memberikan barakah kepadanya (bayi tersebut)" [2]

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu ia berkata : "Aku pergi membawa Abdullah bin Abi Thalhah kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika ia baru dilahirkan. Aku mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang ketika itu sedang mencat seekor untanya dengan ter. Beliau bersabda

kepadaku "Adakah kurma bersamamu?"

Aku jawab, "Ya (ada)"

Beliau lalu mengambil bebeberapa kurma dan memasukkannya ke dalam mulut beliau, lalu mengunyahnya sampai lumat. Kemudian beliau mentahniknya, maka bayi itu membuka mulutnya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian memasukkan kurma yang masih tersisa di mulut beliau ke maulut bayi tersebut, maka mulailah bayi itu menggerak-gerakan ujung lidahnya (merasakan kurma tersebut). Melihat hal itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Kesukaan orang Anshar adalah kurma".

Lalu beliau menamakannya Abdullah" [3]

Hadits-hadits di atas kiranya cukup untuk menerangkan sunnahnya tahnik ini dan kiranya cukup untuk menghasung kita bersegera melaksanakannya.

Berkata Imam Nawawi dalam Syarhu Muslim (14/372) : "Dalam hadits-hadits ini ada faidah, di antaranya : dianjurkan mentahnik anak yang baru lahir, dan ini merupakan sunnah dengan ijma'. Hendaknya yang mentahnik adalah orang yang shalih dari kalangan laki-laki atau wanita. Tahnik dilakukan dengan kurma dan ini mustahab, namun andai ada yang mentahnik dengan selain kurma maka telah terjadi perbuatan tahnik, akan tetapi tahnik dengan kurma lebih utama. Faidah lain diantaranya menyerahkan pemberian nama untuk anak kepada orang yang shalih, maka ia memilihkan untuk si anak nama yang ia senangi" [Dinukil dengan sedikit perubahan]

Akan tetapi tidak ada diriwayatkan dari sunnah kecuali tahnik denan kurma sebagaimana telah lewat penyebutannya tentang tahnik Ibrahim bin Abi Musa, Abdullah bin Az-Zubair dan Abdullah bin Abu Thalhah, maka tidak pantas mengambil yang lain.

HIKMAH TAKNIK
Ulama telah berbicara tantang hikmah yang terkandung dalam tahnik dan ada beberapa pendapat yang mereka sebutkan dan mereka berselisih (berbeda pendapat tentang hikmahnya). Namun tidak ada satu pun dari mereka yang memiliki sandaran dalil syar'i.

Berkata Imam Al-Aini dalam Umdatul Qari : "Bila engkau bertanya apa hikmah tahnik? Aku jawab : Berkata sebagian mereka : Tahnik dilakukan sebagai latihan makan bagi bayi hingga ia kuat. Sungguh aneh ucapan ini dan betapa lemahnya . dimana letaknya waktu makan bagi bayi dibanding waktu tahnik yang dilakukan ketika anak baru dilahirkan, sedangkan secara umum anak baru dapat makan-makanan setelah berusia kurang lebih dua tahun.

Sebenarnya hikmah tahnik adalah untuk pengharapan kebaikan bagi si anak dengan keimanan, karena kurma adalah buah dari pohon yang disamakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan seorang mukmin dan juga karena manisnya. Lebih-lebih bila yang mentahnik itu seorang yang memiliki keutamaan, ulama dan orang shalih, karena ia memasukkan air ludahnya ke dalam kerongkongan bayi. Tidaklah engkau lihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala mentahnik Abdullah bin Az-Zubair, dengan barakah air ludah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam Abdullah telah menghimpun keutamaan dan kesempurnaan yang tidak dapat digambarkan. Dia seorang pembaca Al-Qur'an, orang yang menjaga kemuliaan diri dalam Islam dan terdepan dalam kebaikan.[4]

Kami katakan : Ini adalah ludahnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adapun selain beliau maka tidak boleh bertabarruk dengan air ludahnya.

Ilmu kedokteran telah menetapkan faedah yang besar dari tahnik ini, yaitu memindahkan sebagian mikroba dalam usus untuk membantu pencernaan makanan. Namun sama saja, apakah yang disebutkan oleh ilmu kedokteran ini benar atau tidak benar, yang jelas tahnik adalah sunnah mustahab yang pasti dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, inilah pegangan kita bukan yang lainnya dan tidak ada nash yang menerangkan hikmahnya. Maka Allah lah yang lebih tahu hikmahnya.

[Disalin dari kitab Ahkamul Maulud Fi Sunnatil Muthahharah edisi Indonesia Hukum Khusus Seputar Anak Dalam Sunnah Yang Suci, hal 31-36 Penerbit Pustaka Al-Haura]
__________
Foote Note
[1]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (5467 Fathul Bari) Muslim (2145 Nawawi), Ahmad (4/399), Al-Baihaqi dalam Al-Kubra (9/305) dan Asy-Syu'ab karya beliau (8621, 8622)
[2]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (5469 Fathul Bari), Muslim (2146, 2148 Nawawi), Ahmad (6247) dan At-Tirmidzi (3826)
[3]. Dikeluarkan oleh Al-bukhari (5470 Fathul Bari), Muslim (2144 Nawawi), Abu Daud (4951), Ahmad (3/105-106) dan lafadh ini menurut riwayat Ahmad dan diriwayatkan juga oleh Al-baihaqi dalam Asy-Syu'ab (8631)
[4]. Umdatul Qari bi Syarhi Shahih Al-Bukhari (21/84) oleh Al-Aini

KABAR GEMBIRA DENGAN KELAHIRAN ANAK

Oleh
Salim bin Ali bin Rasyid Asy-Syubli Abu Zur'ah
Muhammad bin Khalifah bin Muhammad Ar-Rabah
Sumber :

JERITAN PERTAMA KETIKA BAYI BARU LAHIR
Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata : Bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Jeritan anak ketika dilahirkan adalah (karena) tusukan dari syaitan" [1]

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda.
"Artinya : Tidak ada seorang anakpun yang lahir melainkan syaitan menusuknya hingga menjeritlah si anak akibat tusukan syaithan itu kecuali putra Maryam (Isa) dan ibunya (Maryam)"

Kemudian Abu Hurairah berkata : Bacalah bila kalian mau (ayat yang berbunyi).

"Artinya : Dan aku meminta perlindungan untuknya kepada-Mu dan juga untuk anak keturunannya dari syaitah yang terkutuk" [2]

Anak kecil ini belum mengenal dunia sedikitpun, namun syaitan sudah menyatakan permusuhan dengan menusuknya. [3]

Lalu bagaimana keadaan si anak jika ia telah dapat berbicara dan merasakan segala sesuatu. Bagaimana keadaannya jika telah bergerak syahwatnya untuk mencari dunia atau selainnya. Maka penyesatan dan upaya penyimpangan yang dilakukan syaitan ini harus dihalangi, karena itulah syari'at datang untuk melindungi manusia sejak mudanya, bahkan sejak lahir ke dunia ini hingga nanti menemui Tuhannya.

Kami akan mengumpulkan semua tahapan kehidupan manusia secara ringkas. Sejak anak manusia belum melewati tujuh hari pertama dari umurnya, penetap syaria'at telah menerangkan jalan-jalan penjagaan bagi anak tersebut dan menjelaskan perkara-perkara yang seharusnya dilakukan sepanjang tujuh hari (dari awal kelahiran anak)

Maka siapa yang mencintai anaknya dan ingin menjaganya dari syaitan, hendaklah ia mengikuti metodenya sayyidil mursalin dan beliau bagi kita adalah sebaik-baik pemberi nasihat. Beliau sebagaimana diceritakan oleh Abu Dzar Al-ghifari Radhiyallahu 'anhu : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggalkan kami dalam keadaan tidak ada seekor burungpun yang membolak-balikkan sayapnya di udara melainkan beliau sebutkan ilmunya kepada kami".

Abu Dzar Radhiyallahu anhu berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Tidak ada sesuatu yang dapat mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka kecuali telah diterangkan pada kalian" [4]

Termasuk upaya penjagaan terhadap anak dari gangguan syaithan adalah doa seorang suami ketika mendatangi istrinya.

"Artinya : Dengan nama Allah, Ya Allah jauhkanlah kami dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari apa yang Engkau rezkikan kepada kami"

Maka bila Allah tetapkan lahirnya anak dari hubungan keduanya itu maka syaitan tidak akan membahayakannya selamanya" [5]

KABAR GEMBIRA DENGAN KELAHIRAN ANAK
Al-Qur'an telah menyebutkan kabar gembira tentang kelahiran anak dalam banyak ayat dalam rangka mengajarkan kaum muslimin tentang kebiaasaan ini, karena padanya ada pengaruh yang penting untuk menumbuhkan kasih sayang dan cinta di hati-hati kaum muslimin. [6]

Allah Ta'ala berfirman.

"Artinya : Wahai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira padamu dengan kelahiran seorang anak yang bernama Yahya" [Maryam : 7]

"Artinya : Maka berilah kabar gembira padanya dengan kelahiran anak yang sangat penyabar" [Ash-Shafaat : 101]

"Artinya : Mereka (para malaikat) berkata : Janganlah kamu merasa takut, sesungguhnya kami memberi kabar gembira kepadamu dengan (kelahiran seorang) anak laki-laki (yang akan menjadi) orang yang alim" [Al-Hijr : 53]

"Artinya : Kemudian malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya) : 'Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang saleh" [Ali-Imran : 39]

Seharusnya kita kaum muslimin mencintai kebaikan bagi saudara-saudara kita. Kita turut bahagia dengan kebahagiaan mereka dan turut sedih dengan kesedihan mereka. jika kita memang orang muslim yang sebenar-benarnya, maka kita merasa seperti satu jasad. Bila salah satu anggotanya merasa sakit, maka semua anggota lainnya terpanggil untuk bergadang dan merasa demam.

Sebagaimana hal ini dimisalkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya. Akan tetapi di mana kita dari hal yang demikian itu ? Sementara permusuhan dan kebencian telah menyala-nyala di kalangan kaum muslimin sendiri dan hasad menjalar di tengah mereka dan kebaikan telah menipis. Hanya kepada Allahlah tempat mengadu.

UCAPAN SELAMAT DAN KETERANGAN SALAF TENTANGNYA
Tidak ada satu haditspun dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam masalah mengucapkan selamat bagi keluarga yang kelahiran. Yang ada hanyalah atsar yang diriwayatkan dari tabi'in, di antaranya.

[1]. Dari Al-Hasan Al-Bashri Rahimahullah. Ada seseorang bertanya kepadanya tentang ucapan selamat tersebut ; "Bagaimana cara aku mengucapkannya ?" Kata Al-Hasan : Ucapkanlah.

"Semoga Allah menjadikannya barakah atas kalian dan atas ummat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam" [7]

[2]. Dari Hammad bin Ziyad ia berkata : "Ayyub As-Sikhtiyani bila memberi ucapan selamat kepada seseorang yang kelahiran anak ia berkata :

"Semoga Allah menjadikannya barakah atas kalian dan atas ummat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam" [8]

Atsar semisal ini jauh lebih baik dibanding ucapan selamat yang banyak diamalkan manusia pada hari ini.

Namun bersamaan dengan itu kita tidak boleh melazimkan ucapan selamat ini (seperti tersebut dalam atsar di atas), berbeda bila ada satu hadits (yang shahih) yang menerangkan tentangnya. Dan kita tidak menjadikan ucapan tersebut seperti dzikir-dzikir yang tsabit dalam As-Sunnah (yakni kita tidak terus menerus mengamalkannya karena tidak ada satu hadits pun yang menyebutkan hal ini, -pent). Siapa yang engucapkannya kadang-kadang maka tidak apa-apa dan siapa yang tidak mengucapkannya maka tidak ada masalah.

[Disalin dari kitab Ahkamul Maulud Fi Sunnatil Muthahharah edisi Indonesia Hukum Khusus Seputar Anak Dalam Sunnah Yang Suci, hal 31-36 Penerbit Pustaka Al-Haura]
__________
Foote Note
[1]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (3248), Muslim (15/128 Nawawi) dan At-Thabrani dalam As-Shaghir (29), dan riwayat yang lain darinya dan Ibnu HIbban (6150-6201-6202)
[2]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (3/110 -As-Sindi), Muslim (15/128 Nawawi) dan Abu Ya'la 5971]
[3]. Lihat Syrahu Shahih Muslim oleh Imam An-Nawawi tentang hadits ini (15/129-130)
[4]. Dikeluarkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (1647) dan Ash-Shaghir (1/268), Ahmad dalam Al-Musnad (5/153-162) baris pertama darinya
[5]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (9/228 Fathul Bari), Muslim (10/1434 Nawawi) dan selain keduanya.
[6]. Dinukil dari kitab Ukhti Muslimah Kaifa Tastaqbilin Mauludikil Jadid, penulis Nasyat Al-Mishri
[7]. Hadits hasan. Dikeluarkan oleh At-Thabrani dalam Kitab Ad-Du'a (2/1243) dengan sanad yang rijalnya (rawi-rawinya) tsiqah (orang kepercayaan) selain syaikhnya (gurunya) At-Thabrani yakni Yahya bin Utsman bin Shalih, kata Al-Hafidh tentangnya : "Ia shaduq, tertuduh tasyayyu' (kesyiah-syiahan), dan sebagian ulama menganggapnya layyin (lemah) karena keadaannya yang meriwayatkan dari selain asalnya".
Berkata Ibnu Abi Hatim dalam Al-Jarh wa At-Ta'dil (9/175) : "Aku menulis (hadits) darinya dan juga ayahku, dan mereka memperbincangkannnya".

Dalam Al-Mizan, Ad-Dzahabi berkata : "Ia shaduq Insya Allah'.Berkata Al-Mundziri dalam At-Targhib (2/17) : "Dia tsiqah dan padanya ada perbincangan".
Kami katakan : orang yang semisal Yahya ini haditsnya tidak turun dari derajat Hasan.

[8]. Dikeluarkan oleh At-Thabrani dalam Kitab Ad-Du'a (2/1244) dengan sanad yang lemah.
Namun atsar yang lemah ini mendukung atsar sebelumnya. Wallahu a'lam

APAKAH DISYARIA'TKAN ADZAN PADA TELINGA BAYI YANG BARU LAHIR ?

Oleh
Salim bin Ali bin Rasyid Asy-Syubli Abu Zur'ah
Muhammad bin Khalifah bin Muhammad Ar-Rabah.

Judul di atas dibuat dalam konteks kalimat tanya sebagaimana yang anda lihat untuk menarik perhatian pembaca yang mulia agar mempelajari pembahasan yang dikandung judul tersebut. Karena tidak ada seorang pun yang menulis tentang bab ini kecuali menyebutkan judul sunnahnya adzan pada telinga anak yang baru lahir, padahal tidaklah demikian karena lemahnya hadits-hadits yang diriwayatkan dalam permasalahan ini. [*]
_____________________________


[*] Kami telah meneliti sedapat mungkin riwayat-riwayat dan jalan-jalannya, dan berikut ini kami terangkan dalam pembahasan ini, kami katakan :

Ada tiga hadits yang diriwayatkan dalam masalah adzan pada telinga bayi ini.

Pertama.
Dari Abi Rafi maula Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam ia berkata : "Aku melihat Rasulullah mengumandangkan adzan di telinga Al-Hasan bin Ali dengan adzan shalat ketika Fathimah Radhiyallahu 'anha melahirkannya".

Dikeluarkan oleh Abu Daud (5105), At-Tirmidzi (4/1514), Al-Baihaqi dalam Al-Kubra (9/300) dan Asy-Syu'ab (6/389-390), Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (931-2578) dan Ad-Du'a karya beliau (2/944), Ahmad (6/9-391-392), Abdurrazzaq (7986), Ath-Thayalisi (970), Al-Hakim (3/179), Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (11/273). Berkata Al-Hakim : "Shahih isnadnya dan Al-Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya". Ad-Dzahabi mengkritik penilaian Al-Hakim dan berkata : "Aku katakan : Ashim Dla'if". Berkata At-Tirmidzi : "Hadits ini hasan shahih".

Semuanya dari jalan Sufyan At-Tsauri dari Ashim bin Ubaidillah dari Ubaidillah bin Abi Rafi dari bapaknya.

Dan dikeluarkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (926, 2579) dan Al-Haitsami meriwayatkannya dalam Majma' Zawaid (4/60) dari jalan Hammad bin Syua'ib dari Ashim bin Ubaidillah dari Ali bin Al-Husain dari Abi Rafi dengan tambahan.

"Artinya : Beliau adzan pada telinga Al-Hasan dan Al-Husain".

Rawi berkata pada akhirnya : "Dan Nabi memerintahkan mereka berbuat demikian".

Dalam isnad ini ada Hammad bin Syuaib, ia dilemahkan oleh Ibnu Main. Berkata Al-Bukhari tentangnya : "Mungkarul hadits". Dan pada tempat lain Bukhari berkata : Mereka meninggalkan haditsnya".

Berkata Al-Haitsami dalam Al-Majma (4/60) : "Dalam sanadnya ada Hammad bin Syua'ib dan ia lemah sekali".

Kami katakan di dalam sanadnya juga ada Ashim bin Ubaidillah ia lemah, dan Hammad sendiri telah menyelisihi Sufyan At-Tsauri secara sanad dan matan, di mana ia meriwayatkan dari Ashim dan Ali bin Al-Husain dari Abi Rafi dengan mengganti Ubaidillah bin Abi Rafi dengan Ali bin Al-Husain dan ia menambahkan lafadz : "Al-Husain" dan perintah adzan. Hammad ini termasuk orang yang tidak diterima haditsnya jika ia bersendiri dalam meriwayatkan. Dengan begitu diketahui kelemahan haditsnya, bagaimana tidak sedangkan ia telah menyelisihi orang yang lebih tsiqah darinya dan lebih kuat dlabtnya yaitu Ats-Tsauri. Karena itulah hadits Hammad ini mungkar, pertama dinisbatkan kelemahannya dan kedua karena ia menyelisihi rawi yang tsiqah.

Adapun jalan yang pertama yakni jalan Sufyan maka di dalam sanadnya ada Ashim bin Ubaidillah. Berkata Ibnu Hajar dalam At-Taqrib : "Ia Dla'if", dan Ibnu Hajar menyebutkan dalam At-Tahdzib (5/42) bahwa Syu'bah berkata : "Seandainya dikatakan kepada Ashim : Siapa yang membangun masjid Bashrah niscaya ia berkata : 'Fulan dari Fulan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa sanya beliau membagunnya".

Berkata Adz-Dzahabi dalam Al-Mizan (2/354) : "Telah berkata Abu Zur'ah dan Abu Hatim : 'Mungkarul Hadits'. Bekata Ad-Daruquthni : 'Ia ditinggalkan dan diabaikan'. Kemudian Daruquthni membawakan untuknya hadits Abi Rafi bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adzan pada telinga Al-Hasan dan Al-Husain" (selesai nukilan dari Al-Mizan).

Maka dengan demikian hadits ini dha'if karena perputarannya pada Ashim dan anda telah mengetahui keadaannya.

Ibnul Qayyim telah menyebutkan hadits Abu Rafi' dalam kitabnya Tuhfatul Wadud (17), kemudian beliau membawakan dua hadits lagi sebagai syahid bagi hadits Abu Rafi'. Salah satunya dari Ibnu Abbas dan yang lain dari Al-Husain bin Ali. Beliau membuat satu bab khusus dengan judul "Sunnahnya adzan pada telinga bayi". Namun kita lihat keadaan dua hadits yang menjadi syahid tersebut.

Hadits Ibnu Abbas dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu'abul Iman (6/8620) dan Muhammad bin Yunus dari Al-Hasan bin Amr bin Saif As-Sadusi ia berkata : Telah menceritakan pada kami Al-Qasim bin Muthib dari Manshur bin Shafih dari Abu Ma'bad dari Ibnu Abbas.

"Artinya : Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adzan pada telinga Al-Hasan bin Ali pada hari dilahirkannya. Beliau adzan pada telinga kanannya dan iqamah pada telinga kiri".

Kemudian Al-Baihaqi mengatakan pada isnadnya ada kelemahan.

Kami katakan : Bahkan haditsnya maudhu' (palsu) dan cacat (ilat)nya adalah Al-Hasan bin Amr ini. berkata tentangnya Al-Hafidh dalam At-Taqrib : "Matruk".

Berkata Abu Hatim dalam Al-Jarh wa Ta'dil 91/2/26) tarjumah no. 109 :'Aku mendengar ayahku berkata : Kami melihat ia di Bashrah dan kami tidak menulis hadits darinya, ia ditinggalkan haditsnya (matrukul hadits)".

Berkata Ad-Dzahabi dalam Al-Mizan : "Ibnul Madini mendustakannya dan berkata Bukhari ia pendusta (kadzdzab) dan berkata Ar-Razi ia matruk.

Sebagaimana telah dimaklumi dari kaidah-kaidah Musthalatul Hadits bahwa hadits yang dla'if tidak akan naik ke derajat shahih atau hasan kecuali jika hadits tersebut datang dari jalan lain dengan syarat tidak ada pada jalan yang selain itu (jalan yang akan dijadikan pendukung bagi hadits yang lemah, -pent) rawi yang sangat lemah lebih-lebih rawi yang pendusta atau matruk. Bila pada jalan lain keadaannya demikian (ada rawi yang sangat lemah atau pendusta atau matruk, -pent) maka hadits yang mau dikuatkan itu tetap lemah dan tidak dapat naik ke derajat yang bisa dipakai untuk berdalil dengannya. Pembahasan haditsiyah menunjukkan bahwa hadits Ibnu Abbas tidak pantas menjadi syahid bagi hadits Abu Rafi maka hadits Abu Rafi tetap Dla'if, sedangkan hadits Ibnu Abbas maudlu.

Adapun hadits Al-Husain bin Ali adalah dari riwayat Yahya bin Al-Ala dari Marwan bin Salim dari Thalhah bin Ubaidillah dari Al-Husain bin Ali ia berkata : bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Siapa yang kelahiran anak lalu ia mengadzankannya pada telinga kanan dan iqamah pada telinga kiri maka Ummu Shibyan (jin yang suka mengganggu anak kecil, -pent) tidak akan membahayakannya".

Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu'abul Iman (6/390) dan Ibnu Sunni dalam Amalul Yaum wal Lailah (hadits 623) dan Al-Haitsami membawakannya dalam Majma' Zawaid (4/59) dan ia berkata : Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya'la dan dalam sanadnya ada Marwan bin Salim Al-Ghifari, ia matruk".

Kami katakan hadits ini diriwayatkan Abu Ya'la dengan nomor (6780).

Berkata Muhaqqiqnya : "Isnadnya rusak dan Yahya bin Al-Ala tertuduh memalsukan hadits". Kemudian ia berkata : 'Sebagaimana hadits Ibnu Abbas menjadi syahid bagi hadits Abi Rafi, Ibnul Qayyim menyebutkan dalam Tuhfatul Wadud (hal.16) dan dikelurkan oleh Al-Baihaqi dalam Asy-Syu'ab dan dengannya menjadi kuatlah hadits Abi Rafi. Bisa jadi dengan alasan ini At-Tirmidzi berkata : 'Hadits hasan shahih', yakni shahih lighairihi. Wallahu a'lam (12/151-152).

Kami katakan : tidaklah perkara itu sebagaimana yang ia katakan karena hadits Ibnu Abbas pada sanadnya ada rawi yang pendusta dan tidak pantas menjadi syahid terhadap hadist Abu Rafi sebagaimana telah lewat penjelasannya, Wallahu a'lam.

Sedangkan haidts Al-Husain bin Ali ini adalah palsu, pada sanadnya ada Yahya bin Al-Ala dan Marwan bin Salim keduanya suka memalsukan hadits sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ad-Dlaifah (321) dan Albani membawakan hadits Ibnu Abbas dalam Ad-Dlaifah nomor (6121). Inilah yang ditunjukkan oleh pembahasan ilmiah yang benar. Dengan demikian hadits Abu Rafi tetap lemah karena hadits ini sebagaimana kata Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam At-Talkhish (4/149) : "Perputaran hadist ini pada Ashim bin Ubaidillah dan ia Dla'if.

Syaikh Al-Albani telah membawakan hadits Abu Rafi dalam Shahih Sunan Tirmidzi no. (1224) dan Shahih Sunan Abi Daud no (4258), beliau berkata : "Hadits hasan". Dan dalam Al-Irwa (4/401) beliau menyatakan : Hadits ini Hasan Isya Allah".

Dalam Adl-Dla'ifah (1/493) Syaikh Al-Albani berkata dalam keadaan melemahkan hadits Abu Rafi' ini : "At-Tirmidzi telah meriwayatkan dengan sanad yang lemah dari Abu Rafi, ia berkata :

"Aku melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adzan dengan adzan shalat pada telinga Al-Husain bin Ali ketika ia baru dilahirkan oleh ibunya Fathimah".

Berkata At-Timidzi : "Hadits shahih (dan diamalkan)".

Kemudian berkata Syaikh Al-Albani : "Mungkin penguatan hadits Abu Rafi dengan adanya hadits Ibnu Abbas". (Kemudian beliau menyebutkannya) Dikelurkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu'abul Iman.

Aku (yakni Al-Albani) katakan : "Mudah-mudahan isnad hadits Ibnu Abbas ini lebih baik daipada isnad hadits Al-Hasan (yang benar hadits Al-Husain yakni hadits yang ketiga pada kami, -penulis) dari sisi hadits ini pantas sebagai syahid terhadap hadits Abu Rafi, wallahu 'alam. Maka jika demikian hadits ini sebagai syahid untuk masalah adzan (pada telinga bayi) karena masalah ini yang disebutkan dalam hadits Abu Rafi', adapaun iqamah maka hal ini gharib, wallahu a'alam.

Kemudian Syaikh Al-Albani berkata dalam Al-Irwa (4/401) : 'Aku katakana hadits ini (hadits Abu Rafi) juga telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas degan sanad yang lemah. Aku menyebutkannya seperti syahid terhadap hadits ini ketika berbicara tentang hadits yang akan datang setelahnya dalam Silsilah Al-Hadits Adl-Dla'ifah no (321) dan aku berharap di sana ia dapat menjadi syahid untuk hadits ini, wallahu a'alam.

Syaikh Al-Albani kemudian dalam Adl-Dlaifah (cetakan Maktabah Al-Ma'arif) (1/494) no. 321 menyatakan : "Aku katakan sekarang bahwa hadits Ibnu Abbas tidak pantas sebagai syahid karena pada sanadnya ada rawi yang pendusta dan matruk. Maka Aku heran dengan Al-Baihaqi kemudian Ibnul Qayyim kenapa keduanya merasa cukup atas pendlaifannya. Hingga hampir-hampir aku memastikan pantasnya (hadits Ibnu Abbas) sebagai syahid. Aku memandang termasuk kewajiban untuk memperingatkan hal tersebut dan takhrijnya akan disebutkan kemudian (61121)" (selesai ucapan Syaikh).

Sebagai akhir, kami telah menyebutkan masalah ini secara panjang lebar untuk anda wahai saudara pembaca dan kami memuji Allah yang telah memberi petunjuk pada Syaikh Al-Albani kepada kebenaran dan memberi ilham padanya. Maka dengan demikian wajib untuk memperingatkan para penuntut ilmu dan orang-orang yang mengamalkan sunnah yang shahihah yang tsabit dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada setiap tempat bahwa yang pegangan bagi hadits Abu Rafi' yang lemah adalah sebagaimana pada akhirnya penelitian Syaikh Al-Albani dalam Ad-Dlaifah berhenti padanya. Dan inilah yang ada di hadapan anda. Dan hadits ini tidaklah shahih seperti yang sebelumnya beliau sebutkan dalam Shahih Sunan Tirmidzi dan Shahih Sunan Abu Daud serta Irwaul Ghalil, wallahu a'lam.

Kemudian kami dapatkan syahid lain dalam Manaqib Imam Ali oleh Ali bin Muhammad Al-Jalabi yang masyhur dengan Ibnul Maghazil, tapi ia juga tidak pantas sebagai syahid karena dalam sanadnya ada rawi yang pendusta.

[Disalin dari kitab Ahkamul Maulud Fi Sunnatil Muthahharah edisi Indonesia Hukum Khusus Seputar Anak Dalam Sunnah Yang Suci, hal 31-36 Pustaka Al-Haura]

Sumber :


>>Masalah Sajadah<<

ABU AFWAN
 

Assalamu Alaikum

Saya mendapatkan artikel ini dari milis ===========

Sebenarnya Bolehkah Shalat di Atas Sajadah?

Fatwa Imam Malik rahimahullah dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya tentang orang yang menghamparkan sajadah di dalam masjid untuk shalat, apakah perbuatan tersebut termasuk bidah atau tidak?

Beliau menjawab:
Segala puji bagi Allah pencipta semesta alam. Adapun membiasakan shalat di atas sajadah bukanlah kebiasaan generasi salafus salih, baik dari kalangan sahabat ataupan generasi setelah mereka. Justru mereka melakukan shalat langsung di atas tanah (lantai) tanpa tikar atau sajadah.

Telah diriwayatkan bahwa Abdurrahman bin Mahdi ketika datang di kota Madinah menziarahi masjid Nabawi. Beliau menghamparkan sajadah untuk shalat di atasnya. Imam Malik rahimahullah (salah satu dari empat imam madzhab yang mengetahui hal itu) meminta petugas keamanan untuk memenjarakannya. Lalu diberitahukanlah kepada beliau bahwa orang tersebut adalah Abdurrahman bin Mahdi (salah seorang ulama). Maka Imam Malik berkata (kepada Abdurraman), Tidakkah engkau mengetahui, wahai Ibnu Mahdi, bahwa menghamparkan sajadah di masjid untuk shalat adalah perkara bidah?

Syaikhul Islam berkata, Dan yang lebih parah lagi diantara mereka ada yang menghamparkan sajadah di atas tikar dan karpet di masjid-masjid kaum muslimin. Mereka menambahkan kebidahan baru (yakni menghamparkan sajadah) di atas bidah yang telah ada sebelumnya (yakni menghamparkan tikar dan karpet di masjid.

Beliau melanjutkan, Bahkan sebagian mereka ada yang menjadikan sajadah tersebut sebagai tanda kesempurnaan agama seseorang dan beranggapan bahwa orang yang tidak memakai sajadah adalah orang yang kurang agamanya dan kurang perhatiannya terhadap perkara shalat. Sehingga mereka menjadikan perkara bidah tersebut sebagai sesuatu yang lebih utama melebihi petunjuk Rasulullah

Dalil-Dalil Bidahnya Sajadah Ketika Shalat di Masjid

1. Maka Nabi shalat bersama kami, sehingga terlihat olehku bekas tanah dan air di kening dan ujung hidung Rasulullah HR. Bukhari, hadits no. 771)

2. Dari Muaqib bahwsannya Nabi berkata kepada seseorang yang meratakan tanah pada tempat sujudnya tiap kali bersujud. Beliau berkata: /Kamu boleh melakukan hal itu tetapi cukup sekali (dalam satu shalat).(HR. Bukhari, hadits no. 1131)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: Hadits-hadits di atas memberikan faedah yang jelas bahwa masjid Rasulullah r atapnya terbuat dari pelepah kurma dan lantai masjidnya tanah. Apabila turun hujan air merembes ke dalam masjid. Dan Rasulullah r ketika shalat, sujud langsung di atas tanah/lantai (tanpa sajadah).

Beliau rahimahullah melanjutkan, Jelas sekali dari hadits di atas bahwa para sahabat juga sujud langsung di atas tanah dan kerikil-kerikil (tanpa alas). Rasulullah tidak menyukai mereka yang meratakan tanah tempat sujudnya berulangkali. Beliau hanya membolehkan melakukan sekali. Jika tidak dilakukan, maka itu lebih baik.

Kondisi Dibolehkannya Memakai Alas Ketika Sujud

Dalam kondisi tertentu, seseorang yang shalat di dalam masjid boleh sujud tidak langsung ke lantai berdasarkan beberapa atsar:

1. Kami dulu pernah shalat bersama Rasulullah r dalam kondisi panas yang sangat. Jika salah seorang diantara kami tidak tahan menempelkan dahinya di tanah (lantai), maka dia menghamparkan bagian bajunya ke lantai lalu sujud di atasnya. (HR. Muslim, hadits no. 983)

2. Dari Maimunah radiallahuanha, dia berkata: Rasulullah pernah shalat di atas khumrah. (HR. Bukhari, hadits no. 368)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: Al-Khumrah menurut ahli bahasa adalah sejenis tikar kecil yang terbuat dari pelepah kurma dan dianyam dengan tali dan benang. Besar khumrah tersebut adalah sekira cukup untuk meletakan hidung dan wajah dan kalau lebih besar dari itu maka dinamakan al-hashir (tikar).

Sehingga pendapat yang paling adil dalam hal ini adalah bahwa dibolehkan bagi orang yang shalat di masjid menghamparkan kain pada tempat sujud ketika adanya suatu hajat (seperti panas). Adapun dalam kondisi yang normal, maka hal itu adalah merupakan suatu bidah. berulangkali. Beliau hanya membolehkan melakukan sekali. Jika tidak dilakukan, maka itu lebih baik.

Memakai Tikar atau Karpet Ketika Shalat di Rumah

Syaikhul Islam menjelaskan bahwa para ulama telah sepakat tentang bolehnya shalat di atas tikar dan karpet bahkan di atas kasur ketika shalat di rumah. Hal ini berdasarkan beberapa dalil:

1. Dari Aisyah radiallahuanha, dia berkata: Bahwa Rasulullah bangun dan melakukan shalat malam sedangkan aku berada membujur (di hadapan Rasulullah ) antara dirinya dan kiblat di atas kasur. (HR. Bukhari, hadits no. 485)

2. Dari Abu Said Al-Khudri , dia mendatangi Nabi, dia berkata: Aku melihat Nabi shalat di atas tikar dan sujud di atasnya. (HR. Muslim, hadits no. 807)

3. Dari Ibnu Abbas, dia berkata: Bahwa Rasulullah shalat di atas karpet. (HR. Ibnu Majah hadits no. 1020 dan Ahmad 1/232)

Kesimpulan
1. Shalat di masjid tidak disyariatkan menggunakan sajadah, tikar atau karpet jika tidak ada hajat, seperti lantai terlalu panas atau terlalu dingin.

2. Boleh shalat di atas tikar, karpet dan kasur atau khumrah yang sekira cukup untuk wajah ketika di dalam rumah.

3. Rasulullah dan para sahabatnya tidak pernah membuat kain khusus untuk shalat berupa sajadah yang sudah muncul semenjak zaman Imam Malik rahimahullah sampai saat ini. Maka sajadah tersebut sebagaimana kata Imam Malik rahimahullah dan Ibnu Taimiyah rahimahullah adalah merupakan perkara bidah.

4. Menjadi keharusan bagi kita untuk tunduk kepada petunjuk Nabi dan para sahabat walaupun menurut perasaan kita hal itu kurang baik atau kurang sempurna; karena agama ini tidak dibangun di atas akal atau perasaan, akan tetapi dibangun di atas perintah Allah dan petunjuk Rasulullah dan para sahabatnyay.

5. Menjadi keharusan bagi kita untuk mengingatkan kaum muslimin dari bidah sajadah ini.

Wallahu mustaan.

[Diterjemahkan, diringkas dan disusun dari kitab Fatawa Al-Kubro, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah /II/60-79]


Tanya : Rutinitas Rasulullah setelah Sholat Wajib

Tri Sulistyawan
 

Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Sebelumnya saya meminta maaf apabila pertanyaan saya ini sudah pernah
dibahas sebelumnya. Saya ingin bertanya mengenai rutinitas yang
biasa/umumnya dilakukan Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam ketika
selesai sholat wajib, apakah ada doa atau dzikir-dzikir tertentu yang
dilakukan Beliau????. Mohon agar disertakan dalil yang menguatkannya.
Sekiranya jawabannya akan menggangu lalu lintas milis ini karena mungkin
sudah sering dibahas, sudi kiranya agar jawabannya via japri saja. Juga
sudi kiranya agar jawabannya bukan berupa link, karena saya tidak bisa
browsing internet.

Sebelumnya saya ucapkan banyak terima kasih.

Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Salam,


Tri Sulistyawan


Apakah Manhaj Salaf = Islam kaffah

Warsito
 

Assalamu'alaikum

Ana, baru lagi belajar Islam yang benar, apakah kala belajar Islam dengan manhaj salaf telah belajar Islam kafah, di dalam Al qur'an 2:208 orang yang beriman di perintahkan untuk masuk Islam secara kafah.

Setelah belajar sunnah lewat internet, banyak hal - hal yang sudah biasa dilakukan masyarakat ternyata dilarang dalam Islam, bagaimana aplikasinya Islam sunnah berkaitan dengan kemasyarakatan, misalnya : dalam mengelola zis, dalam pergaulan dengan tetangga yang Islamnya cari yang umum, mengingat masyarakat umum menilai Islam bukan dari sisi penampilan luar saja, tetapi lebih kepada aplikasi yang nyata dalam kehidupan sehari - hari.

Demikian , mohon maaf jika dalam penyampaiannya tidak / kurang jelas.

Wassalamu'alaikum

Sito


Bolehkah Bertawassul dalam Berdoa?

 

Assalamuaalaikum,

Bolehkah Bertawassul dalam Berdoa?

Salam


Tanya : Obat beralkohol

Salim
 

Assalamualaikum
Saya minta tolong dijelaskan tentang hukum meminum obat (OBH misalnya) yang
mengandung alkohol atau methanol? Saya sering sekali membeli OBH yang
ternyata ada kandungan Alkohol-nya.

Salim


Re: Tanya Software / tools multimedia

Naufal
 

Wa`alaykumussalam warahmatullahi wabarakatuh

Sekedar informasi mengenai software belajar bhs arab, sekitar setahun yg
lalu (2006) saya pernah dapat iklan software belajar bahasa arab "Arabic
Language Learning Software, An intuitive new 'web-based' Arabic and Qur'anic
Learning Tool" dari situs Troid.org (lihat attchment)

Sebuah program learning tool yg dilengkapi 27 bahasa termasuk bahasa
indonesia. Tapi saat ini saya lihat di link yg ada di iklan tsb produk itu
udh ngga ada.
Kalau ada yg tahu informasi mengenai produk tsb, mungkin antum bisa
memanfaatkan software itu.

Atau, kalau boleh saya sumbang saran, mengenai materi pelajaran bhs arab
antum bisa mengambil materi dari yg pelajarannya
sudah tersusun dgn baik secara berurutan.
Materi pelajaran2 yg sudah disusun berurutan itu antum buat dlm bentuk
presentasi atau dlm bentuk website yg sama utk ditampilkan di masing2
komputer peserta kursus, tapi mungkin tambahan yg perlu dilakukan adalah
merubah content bahasa pengantarnya dari bahasa inggris ke bahasa indonesia.

----- Original Message -----
From: "hendri" <hendri@...>
To: <assunnah@...>
Sent: Tuesday, November 27, 2007 7:18 AM
Subject: [assunnah] Tanya Software / tools multimedia


Assalammu'alaikum warohmatullaahi wa barokaatuh

Mau Tanya mungkin ada ihkwan sekalian yang memiliki software atau
multimedia tools untuk belajar bahasa Arab bagi pemula dan lanjutan
lengkap dengan buku panduannya dan metode pengajarannya.
Mime-Version: 1.0
Content-Transfer-Encoding: 7bit
Content-Type: text/plain; charset=UTF-8

Ana berencana untuk membuat tempat kursus gratis bahasa arab dan
bahasa inggris dengan sistem multimedia ( 10 Komputer ).
Jika ada yang memiliki mohon anan di beritahu harga nya dan harus
beli di mana.



Jazaakumullahu khoiron..


Wassalaamu'alaykum warohmatullaahi wa barokaatuhn - 0815 1818 057


Re: >>Tanya : Sholat berjamaah di kantor<<

 

--- edwar oktaviano <eoktaviano@...> wrote:
Assalamu'alaikum wrahmatullahi wa barakatuh
Ana mau tanya, boleh kah kita sholat berjamaah di
kantor, karena jarak masjid yang lumayan jauh..,
mohon penjelasan beserta dalil nya
jazakumullahu khairan
Abu Fahri
akhi,
Hukum shalat berjamaah adalah wajib,fardhu 'ain, di
mesjid berdasarkan ijma ulama. Hal ini berdasarkan
hadits ttg seorang laki2 tua yang meminta ijin kepada
rasululloh tuk sholatdi rumah, rasululloh
salallohu'alihi wasallam bertanya: Apa engkau
mendengar adzan? jawab laki2 tua itu:ya
rasululloh.rasul berkata:Maka engkau wajib datang ke
mesjid.(HR:Muslim dalam kitab shohihnya).
detailnya silahkan rujuk ke

HUKUM SHALAT DI RUMAH BAGI ORANG YANG RUMAHNYA JAUH DARI MASJID

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz


Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Saya tinggal di sebuah rumah yang letaknya jauh dari masjid. Dan saya merasa berat jika harus naik mobil untuk pergi ke masjid. Jika saya jalan kaki, kadang-kadang saya ketinggalan jamaah. Dan perlu diketahui bahwa saya mendengar adzan dari rumah lewat pengeras suara. Dalam keadaan seperti ini, bolehkah saya shalat di rumah atau di rumah tetangga dengan berjamaah bersama tiga atau empat orang ? Berikan fatwa kepada kami, semoga Allah Subhanahu wa Taala membalas anda dengan kebaikan.

Jawaban
Anda wajib shalat bersama saudara-saudara anda kaum muslimin di masjid dengan berjamaah, apabila anda mendengar adzan dari rumah anda tanpa pengeras suara dan tidak ada sesuatu yang menghalangi suara adzan tersebut. Jika rumah anda jauh dari masjid sehingga anda tidak mendengar suara adzan yang tidak memakai pengeras suara, maka anda boleh shalat di rumah atau di rumah tetangga. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam kepada seorang laki-laki buta ketika minta izin kepada beliau untuk shalat di rumah. Kata beliau : Apakah kamu mendengar suara adzan?. Orang itu menjawab : Ya. Lalu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda : Kalau begitu engkau wajib datang ke masjid. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahihnya dan lafalnya terdapat dalam soal di atas (-pent).

Juga berdasarkan sebuah hadits riwayat Ibnu Majah, Ad-Daruquthni, Ibnu Hibban dan Al-Hakim dengan sanad shahih yang menyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda.

Artinya : Barangsiapa yang mendengar panggilan adzan, kemudian dia tidak datang ke masjid, maka tidak ada shalat baginya kecuali jika ada udzur.

Walaupun rumah anda jauh dari masjid, tapi anda tetap shalat berjamaah di masjid, dengan berjalan kaki, meskipun meletihkan, atau anda naik mobil, maka hal itu lebih baik dan lebih utama bagi anda. Allah Subhanahu wa Taala akan menulis langkah-langkah anda ketika anda pergi ke masjid dan ketika anda pulang, dengan syarat anda ikhlas dan berniat hanya karena Allah Subhanahu wa Taala. Hal ini berdasarkan sebuah hadits, bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berkata kepada seorang laki-laki yang rumahnya jauh dari masjid Nabawi tapi dia tidak pernah ketinggalan shalat berjamaah bersama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepada orang itu.

Artinya : Kenapa engkau tidak membeli seekor himar yang bisa engkau kendarai ketika engkau pergi ke masjid, terutama ketika cuaca sangat panas atau diwaktu malam yang gelap?. Orang itu menjawanb : Aku tidak ingin rumahku dekat dengan masjid, karena aku ingin langkah-langkah kakiku dicatat, yaitu ketika aku pergi ke masjid dan ketika aku pulang ke rumah. Lalu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepadanya : Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Taala telah mengumpulkan (memenuhi) semua keinginanmu itu [HR Muslim]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Juz Tsani, Penulis Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Edisi Indonesia Fatawa bin Baaz, Penerjemah Abu Abdillah Abdul Aziz, Penerbit At-Tibyan Solo]


Bls: >>Tanya: Sajadah=Sutroh?<<

SARJONO PRANOTO
 

Dari: "Nanang, Ruli" <Ruli.Nanang@...>
Terkirim: Selasa, 27 November, 2007 4:40:47
Assalamu'alaikum warokhmatulloh,
Maaf bila pertanyaan ini pernah dibahas sebelumnya, mohon bantuannya,
1. Apakah sajadah yang dibentangkan untuk sholat bisa dikatakan sutrah?
2. Bagaimana hukumnya tidur di dalam mesjid? Misal selepas sholat Dzuhur
sambil menunggu jam masuk kerja.
Wassalamu'alaikum.
Jazakumullohu khoiron,
Ruli
================
waalaikumsalam warohmatullohiwabarokatuh,
akhi Ruli, kebetulan ana lg ngikuti kajian "akhthoil mushallin" (kitab tulisan syaikh Mansyur Hasan Salman) tiap mlm Ahad, mengenai sajadah yg ada di masjid, maka ini tdk bs dijadikan sbg sutrah, krn dulu Nabi n para sahabat menjadikan tombak & tiang masjid sebagai sutrah, dan minimal tinggi sutrah adalah setinggi pelana kuda, demikian yg ana dpt dari kajian tsb (afwan tdk disertai dalil2) n mudah2an artikel tsb dpt membantu.

KESALAHAN ORANG-ORANG YANG SHALAT DALAM MENGHADAP SUTRAH

Oleh
Syaikh Abu 'Ubaidah Masyhur bin Hasan bin Salman

.....
.....
Ibnu Khuzaimah berkata: "Dalil dari pengabaran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam- tersebut, bahwa sesungguhnya yang beliau inginkan dengan sutrah seperti pelana adalah panjangnya bukan lebarnya, yang tegak lagi kokoh. Di antaranya terdapat riwayat dari Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-, bahwa beliau menancapkan tombak kecil untuknya, lalu beliau shalat menghadap kepadanya. Padahal lebarnya tombak itu kecil tidak seperti lebarnya pelana."[36]

Dia berkata juga: "Perintah Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam- membuat sutrah (pembatas) dengan anak panah di dalam shalat, maka hal itu sesuatu yang nyata dan tetap, bahwa beliau -Shallallahu 'alaihi wa sallam- menginginkan dalam perintah tersebut adalah sesuatu yang ukuran panjangnya sama seperti pelana, bukan panjang dan lebarnya secara keseluruhan."[37]

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka: Tidak boleh membuat sutrah dengan garis dalam keadaan dia mampu membuat dengan lainnya, meskipun sutrah itu berupa: tongkat, barang, kayu, atau tanah. Walaupun dia harus mengumpulkan batu-batuan, lalu menyusunnya, sebagaimana yang dilakukan oleh Salamah bin al-Akwa` -radhiyallahu 'anhu-.

Dan yang sangat pantas disebutkan adalah: Hadits tentang menjadikan garis sebagai sutrah adalah dha'if. Telah didha'ifkan oleh Sufyan bin Uyainah, asy-Syafi'i, al-Baghawy dan lainnya. Ad-Daruquthni berkata: "Tidak sah dan tidak tetap." Asy-Syafi'i berkata dalam Sunan Harmalah: "Seorang yang shalat tidak boleh membuat garis di depannya, kecuali ada hadits yang tetap tentang hal itu, maka hadits itu diikuti."

Malik telah berkata dalam al-Mudawanah: "Garis itu bathil." Dan hadits itu telah dilemahkan oleh ulama yang datang di masa akhir, seperti Ibnu Shalah, an-Nawawi, al-Iraqi serta yang lainnya.[38]

abu hamzah al pandawany


>>Adab Berhutang : Etika Berhutang<<

 

ADAB BERHUTANG : ETIKA BERHUTANG

Oleh
Ustadz Armen Halim Naro Lc


ETIKA BERHUTANG
[1]. Hutang tidak boleh mendatangkan keuntungan bagi si pemberi hutang
Kaidah fikih berbunyi : Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba. Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan. Sedangkan menambah setelah pembayaran merupakan tabiat orang yang mulia, sifat asli orang dermawan dan akhlak orang yang mengerti membalas budi.

Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah- berkata : Hendaklah diketahui, tambahan yang terlarang untuk mengambilnya dalam hutang adalah tambahan yang disyaratkan. (Misalnya), seperti seseorang mengatakan saya beri anda hutang dengan syarat dikembalikan dengan tambahan sekian dan sekian, atau dengan syarat anda berikan rumah atau tokomu, atau anda hadiahkan kepadaku sesuatu. Atau juga dengan tidak dilafadzkan, akan tetapi ada keinginan untuk ditambah atau mengharapkan tambahan, inilah yang terlarang, adapun jika yang berhutang menambahnya atas kemauan sendiri, atau karena dorongan darinya tanpa syarat dari yang berhutang ataupun berharap, maka tatkala itu, tidak terlarang mengambil tambahan. [6]

[2]. Kebaikan (seharusnya) dibalas dengan kebaikan
Itulah makna firman Allah Subhanahu wa Taala yang tertera dalam surat Ar-Rahman ayat 60, semestinya harus ada di benak para penghutang, Dia telah memperoleh kebaikan dari yang memberi pinjaman, maka seharusnya dia membalasnya dengan kebaikan yang setimpal atau lebih baik. Hal seperti ini, bukan saja dapat mempererat jalinan persaudaraan antara keduanya, tetapi juga memberi kebaikan kepada yang lain, yaitu yang sama membutuhkan seperti dirinya. Artinya, dengan pembayaran tersebut, saudaranya yang lain dapat merasakan pinjaman serupa.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata.
Artinya : Nabi mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia tertentu.orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, Berikan kepadanya kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata : Berikan kepadanya, Dia pun menjawab, Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah Subhanahu wa Taala membalas dengan setimpal. Maka Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian [7]

Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu anhu ia berkata.
Aku mendatangi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam di masjid, sedangkan beliau mempunyai hutang kepadaku, lalu beliau membayarnya dam menambahkannya [8]

[3]. Berhutang dengan niat baik
Jika seseorang berhutang dengan tujuan buruk, maka dia telah zhalim dan melakukan dosa. Diantara tujuan buruk tersebut seperti.
a). Berhutang untuk menutupi hutang yang tidak terbayar
b). Berhutang untuk sekedar bersenang-senang
c). Berhutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah hutang agar mau memberi.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda : Barangsiapa yang mengambil harta orang (berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah Subhanahu wa Taala akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya, maka Allah Subhanahu wa Taala akan membinasakannya [9]

Hadits ini hendaknya ditanamkan ke dalam diri sanubari yang berhutang, karena kenyataan sering membenarkan sabda Nabi diatas [10] Berapa banyak orang yang berhutang dengan niat dan azam untuk menunaikannya, sehingga Allah pun memudahkan baginya untuk melunasinya. Sebaliknya, ketika seseorang berazam pada dirinya, bahwa hutang yang dia peroleh dari seseorang tidak disertai dengan niat yang baik, maka Allah Subhanahu wa Taala membinasakan hidupnya dengan hutang tersebut. Allah Subhanahu wa Taala melelahkan badannya dalam mencari, tetapi tidak kunjung dapat. Dan dia letihkan jiwanya karena memikirkan hutang tersebut. Kalau hal itu terjadi di dunia yang fana, bagaimana dengan akhirat yang baqa (kekal)?

[4]. Hutang tidak boleh disertai dengan jual beli
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang mulia telah melarangnya, karena ditakutkan dari transaksi ini mengandung unsur riba. Seperti, seseorang meminjam pinjaman karena takut riba, maka kiranya dia jatuh pula ke dalam riba dengan melakuan transaksi jual beli kepada yang meminjamkan dengan harga lebih mahal dari biasanya.

[5]. Wajib memabayar hutang
Ini merupakan peringatan bagi orang yang berhutang. Semestinya memperhatikan kewajiban untuk melunasinya. Allah Subhanahu wa Taala memerintahkan agar kita menunaikan amanah. Hutang merupakan amanah di pundak penghutang yang baru tertunaikan (terlunaskan) dengan membayarnya. Allah Subhanahu wa Taala berfirman.

Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimnya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat [An-Nisa : 58]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah : Sekalipun aku memiliki emas sebesar gunung Uhud, aku tidak akan senang jika tersisa lebih dari tiga hari, kecuali yang aku sisihkan untuk pembayaran hutang [HR Bukhari no. 2390]

Orang yang menahan hutangnya padahal ia mampu membayarnya, maka orang tersebut berhak mendapat hukuman dan ancaman, diantaranya.

a). Berhak mendapat perlakuan keras.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata. : Seseorang menagih hutang kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, sampai dia mengucapkan kata-kata pedas. Maka para shahabat hendak memukulnya, maka Nabi Shallallahu alaihi wa salam berkata, Biarkan dia. Sesungguhnya si empunya hak berhak berucap. Belikan untuknya unta, kemudian serahkan kepadanya. Mereka (para sahabat) berkata : Kami tidak mendapatkan, kecuali yang lebih bagus dari untanya. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Belikan untuknya, kemudian berikan kepadanya. Sesungguhnya sebaik-baik kalian ialah yang paling baik dalam pembayaran [11]

Imam Dzahabi mengkatagorikan penundaan pembayaran hutang oleh orang yang mampu sebagai dosa besar dalam kitab Al-Kabair pada dosa besar no. 20

b). Berhak dighibah (digunjing) dan diberi pidana penjara.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah.:
Menunda (pembayaran) bagi orang yang mampu merupakan suatu kezhaliman [12]

Dalam riwayat lain Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda. :
Menunda pembayaran bagi yang mampu membayar, (ia) halal untuk dihukum dan (juga) keehormatannya.

Sufyan Ats-Tsauri berkata, Halal kehormatannya ialah dengan mengatakan engkau telah menunda pebayaran dan menghukum dengan memenjarakannya [13]

c). Hartanya berhak disita
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.

Barangsiapa yang mendapatkan hartanya pada orang yang telah bangkrut, maka dia lebih berhak dengan harta tersebut dari yang lainnya [14]

d). Berhak di-hajr (dilarang melakukan transaksi apapun).
Jika seseorang dinyatakan pailit dan hutangnya tidak bisa ditutupi oleh hartanya, maka orang tersebut tidak diperkenankan melakukan transaksi apapun, kecuali dalam hal yang ringan (sepele) saja.

Hasan berkata, Jika nyata seseorang itu bangkrut, maka tidak boleh memerdekakan, menjual atau membeli [15]

Bahkan Dawud berkata, Barangsiapa yang mempunyai hutang, maka dia tidak diperkenankan memerdekakan budak dan bersedekah. Jika hal itu dilakukan, maka dikembalikan [16]

Kemungkinan wallahu alam- dalam hal ini, hutang yang dia tidak sanggup lagi melunasinya.

[6]. Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berhutang memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman, karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak yang menghutangkan.
Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan memperparah keadaan, dan merubah hutang, yang awalnya sebagai wujud kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.

[7]. Berusaha mencari solusi sebelum berhutang, dan usahakan hutang merupakan solusi terakhir setelah semuanya terbentur.

[8]. Menggunakan uang dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa pinjaman merupakan amanah yang harus dia kembalikan.

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda.
Tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya, hingga dia menunaikannya [17]

[9]. Pelimpahan hutang kepada yang lain diperbolehkan dan tidak boleh ditolak
Jika seseorang tidak sanggup melunasi hutangnya, lalu dia melimpahkan kepada seseorang yang mampu melunasinya, maka yang menghutangkan harus menagihnya kepada orang yang ditunjukkan, sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah :

Menunda pembayaran bagi roang yang mampu merupakan suatu kezhaliman. Barangsiapa yang (hutangnya) dilimpahkan kepada seseorang, maka hendaklah dia menurutinya. [18]

[10]. Diperbolehkan bagi yang berhutang untuk mengajukan pemutihan atas hutangnya atau pengurangan, dan juga mencari perantara (syafaat) untuk memohonnya.
Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu anhu, ia berkata : (Ayahku) Abdullah meninggal dan dia meninggalkan banyak anak dan hutang. Maka aku memohon kepada pemilik hutang agar mereka mau mengurangi jumlah hutangnya, akan tetapi mereka enggan. Akupun mendatangi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam meminta syafaat (bantuan) kepada mereka. (Namun) merekapun tidak mau. Beliau Shallallahu alaihi wa sallam berkata, Pisahkan kormamu sesuai dengan jenisnya. Tandan Ibnu Zaid satu kelompok. Yang lembut satu kelompok, dan Ajwa satu kelompok, lalu datangkan kepadaku. (Maka) akupun melakukannya. Beliau Shallallahu alaihi wa sallam pun datang lalu duduk dan menimbang setiap mereka sampai lunas, dan kurma masih tersisa seperti tidak disentuh. [19]

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]
_________
Foot Note.
[6]. Al-Mulakhkhashul Fiqhi, Shalih Al-Fauzan, KSA, Dar Ibnil Jauzi, Cet.IV, 1416-1995, hal. 2/51
[7]. Shahih Bukhari, kitab Al-Wakalah, no. 2305
[8]. Shahih Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2394
[9]. Shahih Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2387
[10]. Lihat Fathul Bari (5/54)
[11]. Shahih Bukhari, kitab Al-Istqradh, no. 2390
[12]. Ibid, no. 2400, akan tetapi lafazhnya dikeluarkan oleh Abu Dawud, kitab Al-Aqdhiah, no. 3628 dan Ibnu Majah, bab Al-Habs fiddin wal Mulazamah, no. 2427
[13]. Ibid, no. 2401
[14]. Ibid, no. 2402
[15]. Fathul Bari (5/62)
[16]. Ibid (5/54)
[17}. HR Abu Dawud, Al-Buyu, Tirmidzi, Al-buyu dan lain-lain
[18]. HR Bukhari, Al-Hawalah, no. 2288
[19]. HR Bukhari, Al-Istiqradh, no. 2405

_________________________________________________________________
Search from any Web page with powerful protection. Get the FREE Windows Live Toolbar Today!


>>Adab Berhutang : Bolehkah Berhutang?<<

 

ADAB BERHUTANG : BOLEHKAH BERHUTANG?

Oleh
Ustadz Armen Halim Naro Lc



Wahai guru, bagaimana kalau mengarang kitab tentang zuhud ? ucap salah seorang murid kepada Imam Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani. Maka beliau menjawab : Bukankah aku telah menulis kitab tentang jual-beli?

Fenomena yang sering terjadi dewasa ini yaitu banyaknya orang salah persepsi dalam memandang hakikat ke-islaman seseorang. Seringkali seorang muslim memfokuskan keshalihan dan ketakwaannya pada masalah ibadah ritualnya kepada Allah Subhanahu wa Taala, sehingga diapun terlihat taat ke masjid, melakukan hal-hal yang sunat, seperti ; shalat, puasa sunat dan lain sebagainya. Di sisi lain, ia terkadang mengabaikan masalah-masalah yang bekaitan dengan muamalah, akhlak dan jual-beli. Padahal Allah Subhanahu wa Taala telah mengingatkan, agar sebagai muslim, kita harus kaffah. Sebagaimana kita muslim dalam muamalahnya dengan Allah Subhanahu wa Taala, maka seyogyanya juga harus muslim juga dalam muamalahnya dengan manusia. Allah berfirman.

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara kaffah (menyeluruh) [Al-Baqarah : 208]

Oleh karenanya, dialog murid terkenal Imam Abu Hanifah tadi layak dicerna dan dipahami. Seringkali zuhud diterjemahkan dengan pakaian lusuh, makanan sederhana, atau dalam arti kening selalu mengkerut dam mata tertunduk, supaya terlihat sedang tafakkur. Akan tetapi, kalau sudah berhubungan dengan urusan manusia, maka dia tidak menghiraukan yang terlarang dan yang tercela.

Hutang-pihutang merupakan salah satu permasalahan yang layak dijadikan bahan kajian berkaitan dengan fenomena di atas. Hutang-pihutang merupakan persoalan fikih yang membahas permasalahan muamalat. Di dalam Al-Quran, ayat yang menerangkan permasalahan ini menjadi ayat yang terpanjang sekaligus bagian terpenting, yaitu dalam surat Al-Baqarah ayat 282. Demikian pentingnya masalah hutang-pihutang ini, dapat ditunjukkan dengan salah satu hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam tidak mau menshalatkan seseorang yang meninggal, tetapi masih mempunyai tanggungan hutang.

HUTANG HARUS DIPERSAKSIKAN
Allah Subhanahu wa Taala berfirman.
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu [Al-Baqarah : 282]

Mengenai ayat ini, Ibnul Abbas rahimahullah di dalam kitab Ahkam-nya menyatakan : Ayat ini adalah ayat yang agung dalam muamalah yang menerangkan beberapa point tentang yang halal dan haram. Ayat ini menjadi dasar dari semua permasalahan jual beli dan hal yang menyangkut cabang (fikih) [1]

Menurut Ibnu Katsir rahimahullah, ini merupakan petunjuk dariNya untuk hambaNya yang mukmin. Jika mereka bermuamalah dengan transaksi non tunai, hendaklah ditulis, agar lebih terjaga jumlahnya dan waktunya dan lebih menguatkan saksi. Dan di ayat lain, Allah Subhanahu wa Taala telah mengingatkan salah satu ayat : Hal itu lebih adil di sisi Allah dan memperkuat persaksian dan agar tidak mendatangkan keraguan [2]

Firman Allah Subhanahu wa Taala : Maka tulislah maksudnya adalah tanda pembayaran untuk megingat-ingat ketika telah datang waktu pembayarannya, karena adanya kemungkinan alpa dan lalai antara transaksi, tenggang waktu pembayaran, dikarenakan lupa selalu menjadi kebiasaan manusia, sedangkan setan kadang-kadang mendorongnya untuk ingkar dan beberapa penghalang lainnya, seperti kematian dan yang lainnya. Oleh karena itu, disyariatkan untuk melakukan pembukuan hutang dan mendatangkan saksi. [3]

Maka tulislah, secara zhahir menunjukkan, bahwa dia menuliskannya dengan semua sifat yang dapat menjelaskannya di hadapan hakim, apabila suatu saat perkara hutang-pihutang ini diangkat kepadanya. [4]

BOLEHKAH BERHUTANG?
Tidak ada keraguan lagi bahwa menghutangkan harta kepada orang lain merupakan perbuatan terpuji yang dianjurkan syariat,dan merupakan salah satu bentuk realisasi dari hadis Nabi Shallallahu alaihi wa sallam : Baragsiapa yang melapangkan seorang mukmin dari kedurhakaan dunia, maka Allah Subhanahu wa Taala akan melapangkan untuknya kedukaan akhirat

Para ulama mengangkat permasalahan ini, dengan memperbandingkan keutamaan antara menghutangkan dengan bersedekah. Manakah yang lebih utama?

Sekalipun kedua hal tersebut dianjurkan oleh syariat, akan tetapi dalam sudut kebutuhan yang dharurat, sesungguhnya orang yang berhutang selalu berada pada posisi terjepit dan terdesak, sehingga dia berhutang. Sehingga menghutangkan disebutkan lebih utama dari sedekah, karena seseorang yang diberikan pinjaman hutang, orang tersebut pasti membutuhkan. Adapun bersedekah, belum tentu yang menerimanya pada saat itu membutuhkannya.

Ibnu Majah meriwayatkan dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, bahwa beliau berkata kepada Jibril : Kenapa hutang lebih utama dari sedekah? Jibril menjawab, Karena peminta, ketika dia meminta dia masih punya. Sedangkan orang yang berhutang, tidaklah mau berhutang, kecuali karena suatu kebutuhan. Akan tetapi hadits ini dhaif, karena adanya Khalid bin Yazid Ad-Dimasyqi. [5]

Adapun hukum asal berhutang harta kepada orang lain adalah mubah, jika dilakukan sesuai tuntunan syariat. Yang pantas disesalkan, saat sekarang ini orang-orang tidak lagi wara terhadap yang halal dan yang haram. Di antaranya, banyak yang mencari pinjaman bukan karena terdesak oleh kebutuhan, akan tetapi untuk memenuhi usaha dan bisnis yang menjajikan.

Hutang itu sendiri dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, hutang baik. Yaitu hutang yang mengacu kepada aturan dan adab berhutang. Hutang baik inilah yang dilakukan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ; ketika wafat, beliau Shallallahu alaihi wa sallam masih berhutang kepada seorang Yahudi dengna agunan baju perang. Kedua, hutang buruk. Yaitu hutang yang aturan dan adabnya didasari dengan niat dan tujuan yang tidak baik.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]
_________
Foot Note.
[1]. Ahkamul Quran, Ibnul Arabi, Beirut, Darul Marifah, 1/247
[2]. Tafsir Quranil Azhim, 3/316
[3]. Ahkamul Quran, Ibnu Katsir, Madinah, Maktabah Jami Ulum wal Hikam, 1993, 1/247
[4]. Ibid
[5]. Sunan Ibnu Majah, no. 2431

_________________________________________________________________
Search from any Web page with powerful protection. Get the FREE Windows Live Toolbar Today!


tanya : Biografi Imam Al-Barbahaari

 

ikhwani,

Ada yang tahu biografi imam al-Barbahaari pengarang
syarhussunnah? mohon pencerahannya...

Syukron,

akhukum

Abu Najwa-Batam


Tanya :Kajian Ahad di Surabaya

anang dwicahyo
 

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh,

Mohon informasinya ikhwanfillah , adakah kajian Minggu Pagi tanggal 02 Desember 2007, untuk wilayah Surabaya Kota khususnya , atau di Sidoarjo/Gresik.

Jaazakallah khair.


Re: Tanya : Tidak memberitahu berhutang kepada kita

 

Waalaikum salaam
Wallohu'alam berdosa atau tidak tapi kita memang wajib mengingatkan orang
yang berhutang agar ia ingat akan kewajibannya melunasi hutangnya itu,
kecuali jika kita ingin merelakan dan mengikhlaskan utang itu dan
menganggapnya lunas biar diganti oleh Alloh saja karena mungkin ia tidak
mampu melunasi dan meringankan beban sesama muslim.

Permasalahan lupa dan keadaaan tidak sadar secara umum tidak menjadi suatu
beban yang ditangungkan dosanya pada kita seperti halnya lupa kalau rokaat
baru tiga dalam sholat dzuhur atau lupa belum wudhu dan kita tidak mampu
mengingatnya atau tidak sadar sama sekali sampai akhir hayat maka masalah
seperti itu dianggap marfu atau termaafkan dengan dalil sebagai berikut
Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman dalam kitabNya yang agung.
"Artinya : Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau
kami tersalah" [Al-Baqarah : 286]
Telah diriwayatkan degnan shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
bahwa beliau bersabda.
"Artinya : Allah Azza wa Jalla telah berfirman : Sungguh engkau telah
melakukannya"
Dan Dia megabulkan doa hamba-hambaNya yang beriman untuk tidak menghukum
akibat kealpaan.

MENUNDA-NUNDA PEMBAYARAN HUTANG

Oleh
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta


Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Apakah
hukum menunda-nunda pembayaran hutang bagi orang yang mampu? Mohon
penjelasan rinci.

Jawaban
Tidak diperbolehkan bagi orang yang mampu untuk menunda-nunda hutang.
Yaitu penundaan yang dilakukan oleh orang yang mampu membayar apa yang
wajib di tunaikan. Yang demikian itu sesuai dengan apa yang ditegaskan
dari Abu Hurairah Radhiyallahu ¡®anhu, bahwa Nabi Shallallahu ¡®alaihi wa
sallam bersabda.

¡°Artinya : Penundaan pembayaran hutang oleh orang-orang yang mampu adalah
suatu kezhaliman. Dan jika salah seorang diantara kalian diikutkan kepada
orang yang mampu, maka hendaklah dia mengikutinya¡± [Kesahihannya telah
disepakati] [1]

Wabillahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan
kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ¡®alaihi wa
sallam, keluarga dan para shahabatnya.

Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya :
Bagaimanakah hukum menunda-nunda pembayaran hutang ?

Jawaban
Barangsiapa mampu membayar hutang maka diharamkan baginya menunda-nunda
hutang yang wajib dia lunasi jika sudah jatuh tempo. Hal itu didasarkan
pada apa yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ¡®anhu dari Nabi
Shallallahu ¡®alaihi wa sallam, dimana beliau bersabda.

¡°Artinya : Penundaan pembayaran hutang oleh orang-orang yang mampu adalah
suatu kezhaliman. Dan jika salah seorang diantara kalian diikutkan kepada
orang yang mampu, maka hendaklah dia mengikutinya¡± [Kesahihannya telah
disepakati]

Oleh karena itu, barangsiapa memiliki hutang, maka hendaklah dia segera
membayar hak orang-orang yang wajib dia tunaikan. Dan hendaklah dia
bertakwa kepada Allah dalam hal tersebut sebelum maut menjemputnya dengan
tiba-tiba, sementara dia masih tergantung pada hutangnya.

Wabillahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan
kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ¡®alaihi wa
sallam, keluarga dan para shahabatnya.


PELUNASAN HUTANG

Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Ada orang
yang mempunyai hutang dan dia bermaksud untuk melunasinya, tetapi dia
tidak bisa menjumpai orang-orang yang menghutanginya, ada diantaranya yang
sudah meninggal, ada yang pindah ke luar negeri dan tidak pernah kembali
lagi ke negaranya, dan ada juga diantaranya yang lupa sehingga tidak
menyadarinya lagi. Bagaimana hukumnya?

Jawaban
Hak-hak hamba itu harus ditunaikan. Oleh karena itu, orang yang mempunyai
hutang, siapapun juga, hendaklah dia berusaha keras untuk bisa
menjumpainya atau menemui ahli warisnya, jika sudah meninggal dunia. Dan
dalam keadaan dia tidak lagi sanggup menjumpainya atau ahli warisnya atau
sahabatnya, karena orang yang dicarinya sudah pindah ke negeri yang tidak
diketahuinya atau tidak dia ketahui alamatnya, atau lupa namanya secara
keseluruhan, maka hendaklah dia membayarkan hutangnya itu kepada kaum
fakir miskin dengan niat untuk pemiliknya.

Dan jika pemberi hutang itu datang, maka hendaklah dia memberitahukan
kejadian yang sebenarnya, dan jika dia ridha maka selesai sudah
masalahnya, tetapi jika tidak ridha maka dia harus membayarkan hutang itu
kepadanya. Dan orang yang bersedekah itu akan mendapatkan pahalanya, insya
Allah. Dan tanggung jawabnya tidak lepas tanpa itu.

Wabillahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan
kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ¡®alaihi wa
sallam, keluarga dan para shahabatnya.

Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Ada
seorang Yamani yang memiliki sebuah toko di dekat rumah saya. Dan saya
biasa mengambil barang darinya dengan cara berhutang yang selalu saya
lunasi kemudian. Tetapi, saya masih punya hutang padanya 40 riyal. Dan
orang itu kemudian pindah dan saya tidak mengetahui sama sekali alamatnya
sekarang, dan tidak juga mengenal kerabatnya, lalu apa yang harus saya
perbuat dengan 40 riyal ini?

Jawaban
Uang sejumlah 40 riyal itu masih menjadi hutang bagi anda. Sebenarnya,
orang-orang Yaman sering bepergian ke Kerajaan Saudi Arabia dan kembali
lagi ke negeri mereka. Sehingga sangat terbuka kemungkinan untuk dapat
menjumpai pemiliki toko tersebut. Dan jika anda sudah berputus asa dari
upaya menemuinya atau mengetahui tempat tinggalnya, maka anda boleh
menyedekahkan uang tersebut atas nama dirinya. Kemudian jika tiba-tiba
orang itu datang, maka beritahukan perihal yang sebenarnya kepadanya. Jika
dia ridha dengan apa yang anda lakukan maka tidak ada masalah, dan jika
dia tidak ridha maka anda harus membayarkan uang tersebut. Dan pahala
sedekah itu akan menjdai milik anda.

Wabillahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan
kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ¡®alaihi wa
sallam, keluarga dan para shahabatnya.


[Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta, Pertanyaan ke 12
dari Fatwa Nomor 8859, Pertanyaan ke 15 dari Fatwa Nomor 19637, Pertanyaan
ke 2 dari Fatwa Nomor 2235 dan Pertanyaan ke 2 dari Fatwa Nomor 1894.
Disalin dari Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyyah Wal
Ifta, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Jual Beli, Pengumpul dan Penyusun Ahmad
bin Abdurrazzaq Ad-Duwaisy, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi¡¯i]
_________
Foote Note
[1]. HR Malik II/674, Ahmad II/245, 252, 377, 380, 463-465, Al-Bukhari
III/55, 85 Muslim III/1197 nomor 1564, Abu Dawud III/460-461 nomor 3345,
At-Tirmidzi III/600 nomor 1308, An-Nasa¡¯i VII/316 dan 317 nomor 4688 dan
4691, Ibnu Majah II/803 nomor 2403 Ad-Darimi II/261, Abdurrazzaq VIII/316,
317 nomor 15355 dan 15356, Ibnu Abi Syaibah VII/79, Ibnu Hibban XI/435 dan
487 nomor 5053 dan 5090, Ath-Thahawi di dalam kitab Al-Musykil II/412 dan
VII/176-178 nomor 951-953, 2752, 2753, Al-Qudha¡¯i I/60, 61 nomor 42, 43,
Ibnul Jarud II/155 nomor 560, Al-Baihaqi VI/70, Al-Baghawi VIII/210 nomor
2152.

"H. Mubaroq" <harun.mubaroq@...>
Sent by: 11/27/2007 05:24 PM
Assalamu'alaikum

1. Berdosakah kita
bila tidak memberitahu, bahwa seseorang berhutang kepada kita ?
2. Bagaimana bila kita lupa, bahwa seseorang telah berhutang kepada kita /
Jazakallaah khoir
Wassalamu'alaikum warahmatullaah
Harun


Re: Perihal Soft Copy Maktabah Waqfeya

 

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Akhy Abu Umair, Jazakallah khairan atas info yg sangat bermanfaat ini, ana bersama ikhwan2 di mustawa tamhidy ma'had Utsman bin Affan sangat membutuhkan kitab2 tersebut, untuk itu ana bersama email ini berkeinginan memesan softcopy kitab2 tersebut. Kalo antum berkenan bisa sms ke ana : 081808709355,Untuk kabar selanjutnya ana tunggu dari antum . Jazakalloh khoiron atas kebaikan antum

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Abu Shofiyyah Ismail
==========================================
Admin.
Selanjutnya silakan hubungi via japri ke.
Abu Umair As-Sundawy <fnhouse@...>
===========================================


wrote:
Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh,

Melanjutkan topik ini, terutama ikhwah yg tinggal di jakarta dan sekitarnya, bagi yang berminat silahkan menghubungi
Email ini fnhouse@...

Kebetulan saya tidak punya fasilitas untuk menggandakan, jadi rencananya akan dijasakan sepenuhnya kpd rental penggandaan.
Total ada 9 buah DVD.Biaya penggandaan, perkiraan sekitar 100rb rupiah ( hitungan kasar : satu keping DVD-R = 5rb , total 45rb, label DVD seribu/keping = total 9000, biaya jasa penggandaan , kebetulan saya tdk punya, perkiraan per keping 3000~5000rupiah, perkiraan total 40rb) - ¨¤ Total 94 ribu.Belum termasuk ongkos kirim dan biaya print label.

Mengenai waqfeya ini, mukaddimah nya ada di

Salam,
Abu Umair As-Sundawy

Note:Kesembilan DVD adalah seluruh kitab yg ada di waqfeya,kecuali kitab berbahasa inggris.Cek random setiap DVD bisa terbuka.Belum melakukan pengecekan satu persatu file yang ada.Entah error dll, karena sangat banyak file hasil donlodan ini.
Nomer rekening menyusul, setelah pendataan yang berminat.


Re: >>Kajian salaf di Singapura<<

Saat Bedan
 

Wa'alaikum salam,
Ada beberapa tempat kajian salaf diSingapura, 1) dialamat 84, Jalan Eunos, boleh berhubung saudara Idris Hp:94354695 setiap malam Jumaat.
2) Di Toh Guan Road, setiap malam Khamis boleh berhubung dengan saudara Abdul Jabar Hp: 97705468
3) Di Jurong boleh berhubung dengan saudara Shadon Hp: 91463171 setiap malam Rabu dan
4) Di Woodlands Point boleh kontek Saudara Sa'at Hp: 97836317. setiap malam Minggu. Kuliah disampaikan oleh Ustaz Rasul bin Dahri dan kuliah dimulakan ba'da Isyak.

----- Original Message ----
From: ifra <biksuzie@...>
To: assunnah@...
Sent: Tuesday, 27 November 2007 6:16:59
Subject: [assunnah] Kajian salaf di Singapura

Assalammualaikum semua,

Afwan, kelmarin ada yg menanyakan ttg kajian di salafy di di Singapura. Mohon dikongsi informasinya sekali lagi?

jazakallahu khairan kathiran


Re: Tanya masalah Paten

ikhwan nurdin
 

wa alaikum salaam warohmatullohi wabarokatuh
mungkin link ini dapat membantu


akan tetapi berbahasa Arab

Pada tanggal 26/11/07, Raras S <dey42s@...> menulis:


Assalamu'alaikum Warohmatulloh,

Afwan, ada beberapa hal yang ingin ana tanyakan mengenai paten.
1. Adakah Fatwa yang berkenaan tentang Mempatenkan suatu karya ilmiah
atau Hal lain ?
2. Halalkah harta yang kita dapat dari fee tersebut ?
3. Apakah dengan paten mempatenkan sesuatu berarti kita telah
mengikuti cara2 yahudi ?

Jazakalloh Khoir,

Wassalamu'alaikum.

Ummu Abdillah


Tanya : Tidak memberitahu berhutang kepada kita

H. Mubaroq
 

Assalamu'alaikum

1. Berdosakah kita
bila tidak memberitahu, bahwa seseorang berhutang kepada kita ?

2. Bagaimana bila kita lupa, bahwa seseorang telah berhutang kepada kita /

Jazakallaah khoir

Wassalamu'alaikum warahmatullaah


Harun


Kajian salaf di Singapura

ifra
 

Assalammualaikum semua,

Afwan, kelmarin ada yg menanyakan ttg kajian di salafy di di Singapura. Mohon dikongsi informasinya sekali lagi?

jazakallahu khairan kathiran