Assalamu'alaikum wr.wb.
?
Saya mau tanya berkaitan dengan artikel dibawah
ini.
Yang saya tanyakan banyak sekali jama'ah(yg akidahnya lurus)
yang saya ketahui mengaku sebagai jama'ah yang bermanhaj salaf. Walaupun ada
yang mengaku salaf dan ia mengatakan jama'ah lain bukan salaf, yaa.. ada yang
mengatakan?ini lah,itulah, dll, dsb.
1. Apakah Sebenarnya Rasulullah, para sahabat dan ulama salaf
mengajari hal tersebut?
Ini yang membuat saya bingung ada yang mengaku salaf tapi kok
tidak seperti Rasul, sahabat dan ulama salaf dalam berdakwah dan menyikapi
sesama muslim walaupun ada sedikit perbedaan pendapat.
2.?Saya mau tanya apakah di sini sudah ada jama'ah yang
benar-benar salaf?
Mohon jawaban dari ikhwan sekalian.
?
Wassalamu'alaikum wr.wb.
toggle quoted message
Show quoted text
----- Original Message -----
Sent: Wednesday, January 19, 2000 11:10
PM
Subject: [assunnah] Masalah-masalah
Penting Dalam Islam [Masalah - 19 = Mengapa Harus Salafi ?]
?MENGAPA HARUS SALAFI ?
?
oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al-Albani
?
?
?
MUQADIMAH
?
Masih banyak di antara kita yang
mempertanyakan apa itu Salafi, dan mengapa harus Salafi .?. Sebagian kaum
muslimin malahan menilai bahwa kata-kata Salafi menunjukkan sikap fanatik,
bahkan lebih jauh lagi dikatakan sebagai sikap ta'assub terhadap kelompok
tertentu serta mengecilkan orang lain, dan yang lebih parah lagi adalah ;
mereka mengatakan bahwa Salafi merupakan istilah baru dalam
Islam.
?
Benarkah persangkaan tersebut...! Dibawah
ini kami nukilkan jawaban dari Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
rahimahullah di majalah Al-Ashalah edisi 9/Th.II/15 Sya'ban 1414H dan dimuat
di majalah As-Sunnah edisi 09/th.III/1419H-1999. Mengenai pertanyaan yang
ditujukan kepada beliau, yang tidak jauh berbeda dengan permasalahan di
atas.
?
?
MENGAPA HARUS
SALAFI..?
?
Pertanyaan yang ditujukan kepada
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, adalah sebagai berikut
:
?
"Mengapa perlu menamakan diri dengan Salafiyah,
apakah itu termasuk dakwah Hizbiyyah, golongan, madzhab atau kelompok baru
dalam Islam ..?"
?
Jawaban beliau adalah sebagai berikut
:
?
Sesungguhnya kata "As-Salaf" sudah lazim dalam terminologi
bahasa Arab maupun syariat Islam. Adapun yang menjadi bahasan kita kali ini
adalah aspek syari'atnya. Dalam riwayat yang shahih, ketika menjelang wafat,
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Sayidah Fatimah
radyillahu 'anha :
"Artinya : Bertakwalah
kepada Allah dan bersabarlah, sebaik-baik "As-Salaf" bagimu adalah
Aku".
Dalam kenyataannya di kalangan para ulama sering
menggunakan istilah "As-Salaf". Satu contoh penggunaan "As-Salaf" yang biasa
mereka pakai dalam bentuk syair untuk menumpas bid'ah :
"Dan setiap kebaikan itu
terdapat dalam mengikuti orang-orang? Salaf".
"Dan setiap kejelekan itu
terdapat dalam perkara baru yang diada-adakan orang Khalaf".
Namun ada sebagian orang yang mengaku berilmu, mengingkari
nisbat (penyandaran diri) pada istillah SALAF karena mereka menyangka bahwa
hal tersebut tidak ada asalnya. Mereka berkata : "Seorang muslim tidak boleh
mengatakan "saya seorang salafi". Secara tidak langsung mereka beranggapan
bahwa seorang muslim tidak boleh mengikuti Salafus Shalih baik dalam hal
aqidah, ibadah ataupun ahlaq".
?
Tidak diragukan lagi bahwa pengingkaran mereka ini, (kalau
begitu maksudnya) membawa konsekwensi untuk berlepas diri dari Islam yang
benar yang dipegang para Salafus Shalih yang dipimpin Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
:
"Artinya : Sebaik-baik
generasi adalah generasiku, kemudian sesudahnya, kemudian sesudahnya".
(Hadits Shahih Riwayat Bukhari, Muslim).
Maka tidak boleh seorang muslim berlepas diri (bara') dari penyandaran
kepada Salafus Shalih. Sedangkan kalau seorang muslim melepaskan diri dari
penyandaran apapun selain Salafus Shalih, tidak akan mungkin seorang ahli
ilmupun menisbatkannya kepada kekafiran atau kefasikan.
?
Orang yang mengingkari istilah ini, bukankah dia juga menyandarkan diri
pada suatu madzhab, baik secara akidah atau fikih ..?. Bisa jadi ia seorang
Asy'ari, Maturidi, Ahli Hadits, Hanafi, Syafi'i, Maliki atau Hambali semata
yang masih masuk dalam sebutan Ahlu Sunnah wal Jama'ah.
?
Padahal orang-orang yang bersandar kepada madzhab Asy'ari
dan pengikut madzhab yang empat adalah bersandar kepada pribadi-pribadi yang
tidak maksum. Walau ada juga ulama di kalangan mereka yang benar. Mengapa
penisbatan-penisbatan kepada pribadi-pribadi yang tidak maksum ini tidak
diingkari ..?
?
Adapun orang yang berintisab kepada Salafus Shalih, dia
menyandarkan diri kepada ISHMAH (kemaksuman/terjaga dari kesalahan) secara
umum. Rasul telah mendiskripsikan tanda-tanda Firqah Najiah yaitu komitmennya
dalam memegang sunnah Nabi dan para sahabatnya. Dengan demikian siapa yang
berpegang dengan manhaj Salafus Shalih maka yakinlah dia berada atas petunjuk
Allah 'Azza wa Jalla.
?
Salafiyah merupakan predikat yang akan memuliakan dan memudahkan
jalan menuju "Firqah Najiyah". Dan hal itu tidak akan didapatkan bagi orang
yang menisbatkan kepada nisbat apapun selainnya. Sebab nisbat kepada selain
Salafiyah tidak akan terlepas dari dua perkara :
- Pertama, menisbatkan diri kepada pribadi yang tidak maksum.
- Kedua, menisbatkan diri kepada orang-orang yang mengikuti
manhaj pribadi yang tidak maksum.
Jadi tidak terjaga dari kesalahan, dan ini berbeda dengan
ISHMAH para shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, yang mana Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan supaya kita berpegang teguh
terhadap sunnahnya dan sunnah para sahabat setelahnya.
?
Kita tetap terus dan senantiasa menyerukan agar pemahaman
kita terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah selaras dengan manhaj para sahabat,
sehingga tetap dalam naungan ISHMAH (terjaga dari kesalahan) dan tidak
melenceng maupun menyimpang dengan pemahaman tertentu yang tanpa pondasi dari
Al-Kitab dan As-Sunnah.
?
Mengapa sandaran terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah belum
cukup ..?
?
Sebabnya kembali kepada dua hal, yaitu hubungannya
dengan dalil syar'i dan fenomena Jama'ah Islamiyah yang
ada.
?
Berkenan dengan sebab pertama.
Kita dapati dalam nash-nash yang berupa perintah untuk
menta'ati hal lain disamping Al-Kitab dan As-Sunnah sebagaimana dalam firman
Allah :
"Artinya : Dan taatilah
Allah, taatilah Rasul dan Ulil Amri diantara kalian".
(An-Nisaa : 59).
Jika ada Waliyul Amri yang dibaiat kaum Muslimin maka
menjadi wajib ditaati seperti keharusan taat terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah.
Walau terkadang muncul kesalahan dari dirinya dan bawahannya. Taat kepadanya
tetap wajib untuk menepis akibat buruk dari perbedaan pendapat dengan
menjunjung tinggi syarat yang sudah dikenal yaitu :
"Artinya : Tidak ada
ketaatan kepada mahluk di dalam bemaksiat kepada Al-Khalik". (Lihat
As-Shahihah No. 179).
"Artinya : Dan barang siapa
yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan
yang bukan jalan orang-orang mukmin. Kami biarkan mereka berkuasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan dia ke dalam
Jahannan dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali". (An-Nisaa :
115).
Allah Maha Tinggi dan jauh dari main-main. Tidak disangkal lagi,
penyebutan SABIILIL MU'MINIIN (Jalan kaum mukminin) pasti mengandung hikmah
dan manfa'at yang besar. Ayat itu membuktikan adanya kewajiban penting yaitu
agar ittiba' kita terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah harus sesuai dengan
pemahaman generasi Islam yang pertama (generasi sahabat). Inilah yang
diserukan dan ditekankan oleh dakwah Salafiyah di dalam inti dakwah dan manhaj
tarbiyahnya.
?
Sesungguhnya Dakwah Salafiyah benar-benar akan menyatukan umat. Sedangkan
dakwah lainnya hanya akan mencabik-cabiknya. Allah berfirman :
"Artinya : Dan hendaklah kamu
bersama-sama orang-orang yang benar". (At-Taubah : 119).
Siapa saja yang memisahkan antara Al-Kitab dan As-Sunnah dengan
As-Salafus Shalih bukanlah seorang yang benar selama-lamanya.
?
Adapun berkenan dengan sebab kedua. Bahwa
kelompok-kelompok dan golongan-golongan (umat Islam) sekarang ini sama sekali
tidak memperhatikan untuk mengikuti jalan kaum mukminin yang telah disinggung
ayat di atas dan dipertegas oleh beberapa hadits.
?
Diantaranya hadits tentang firqah yang berjumlah tujuh
puluh tiga golongan, semua masuk neraka kecuali satu. Rasul mendeskripsikannya
sebagai :
"Dia (golongan itu) adalah
yang berada di atas pijakanku dan para sahabatku hari ini".
Hadits ini senada dengan ayat yang menyitir tentang jalan
kaum mukminin. Di antara hadits yang juga senada maknanya adalah, hadits
Irbadl bin Sariyah, yang di dalamnya memuat :
"Artinya : Pegangilah
sunnahku dan sunnah Khulafair Rasyidin sepeninggalku".
Jadi di sana ada dua sunnah yang harus di ikuti : sunnah
Rasul dan sunnah Khulafaur Rasyidin.
?
Menjadi keharusan atas kita -generasi mutaakhirin- untuk
merujuk kepada Al-Kitab dan As-Sunnah dan jalan kaum mukminin. Kita tidak
boleh berkata : "Kami mandiri dalam memahami Al-Kitab dan As-Sunnah tanpa
petunjuk Salafus As-Shalih".
?
Demikian juga kita harus memiliki nama yang membedakan
antara yang haq dan batil di jaman ini. Belum cukup kalau kita hanya
mengucapkan :"Saya seorang muslim (saja) atau bermadzhab Islam. Sebab semua
firqah juga mengaku demikian baik Syiah, Ibadhiyyah (salah satu firqah dalam
Khawarij), Ahmadiyyah dan yang lain. Apa yang membedakan kita dengan mereka
..?
?
Kalau kita berkata : Saya seorang muslim yang memegangi
Al-Kitab dan As-Sunnah. ini juga belum memadai. Karena firqah-firqah sesat
juga mengklaim ittiba' terhadap keduanya.
?
Tidak syak lagi, nama yang jelas, terang dan membedakan
dari kelompok sempalan adalah ungkapan : "Saya seorang muslim yang konsisten
dengan Al-Kitab dan As-Sunnah serta bermanhaj Salaf", atau disingkat "Saya
Salafi".
?
Kita harus yakin, bersandar kepada Al-Kitab dan As-Sunnah
saja, tanpa manhaj Salaf yang berperan sebagai penjelas dalam masalah metode
pemahaman, pemikiran, ilmu, amal, dakwah, dan jihad, belumlah
cukup.?
?
Kita paham para sahabat tidak berta'ashub terhadap madzhab
atau individu tertentu. Tidak ada dari mereka yang disebut-sebut sebagai
Bakri, Umari, Utsmani atau Alawi (pengikut Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali).
Bahkan bila seorang di antara mereka bisa bertanya kepada Abu Bakar, Umar atau
Abu Hurairah maka bertanyalah ia. Sebab mereka meyakini bahwa tidak boleh
memurnikan ittiba' kecuali kepada satu orang saja yaitu Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam, yang tidak berkata dengan kemauan nafsunya, ucapannya tiada
lain wahyu yang diwahyukan.
?
Taruhlah misalnya kita terima bantahan para pengkritik itu,
yaitu kita hanya menyebut diri sebagai muslimin saja tanpa penyandaran kepada
manhaj Salaf ; padahal manhaj Salaf merupakan nisbat yang mulia dan benar.
Lalu apakah mereka (pengkritik) akan terbebas dari penamaan diri dengan
nama-nama golongan madzhab atau nama-nama tarekat mereka .? Padahal sebutan
itu tidak syar'i dan salah?..!?.
?
Allah adalah Dzat Maha pemberi petunjuk menuju jalan lurus.
Wallahu al-Musta'in.
?
Demikianlah jawaban kami. Istilah Salaf bukan menunjukkan
sikap fanatik atau ta'assub pada kelompok tertentu, tetapi menunjukkan pada
komitmennya untuk mengikuti Manhaj Salafus Shalih dalam memahami Al-Qur'an dan
As-Sunnah.
?
Wallahu Waliyyut-Taufiq.
?
?
Insya Allah menyusul
:
- Nasihat Perkawinan oleh Yazid
Abdul Qadir Jawas
?
Post?Message assunnah@... Subscribe assunnah-subscribe@... Unsubscribe
assunnah-unsubscribe@... List?owner
assunnah-owner@...
eGroups.com Home:
- Simplifying group
communications
|
Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokaatuh.. Menaggapi pertanyaan akhi suharyanto..saya ingin sedikit memberikan penjelasan dari apa yang saya ketahui... " As-Salaf " (Ahlu Sunnah Wal Jama'ah), bukanlah sebuah jama'ah atau Firqoh, yang sebagian saudara kita mengistilahkannya, sehingga mereka sebagian menilainya dengan "sebelah mata". As-Salaf adalah sebuah Manhaj yang agung dan Mulia, yang merupakan jalan yang pernah di tempuh oleh Rasululloh, para sahabat, tabi'in & tabiuttabi'in, yang merupakan generasi yang Rasullulloh sebutkan dalam Hadist, adalah generasi terbaik. Siapapun yang mengikuti manhaj ini secara murni dan istiqomah... dia disebut Ahlu sunnah waljamaah. Jadi untuk menilai "Salaf", tidak bisa dengan melihat tingkah lakunya orangnya, karena setiap pribadi yang mengaku salaf, tidak menjamin dia istiqomah dalam merealisasikannya.....semua perbuatan dan tingkah laku seseorang muslim tidak selalu sesuai sunnah, adakalanya dia melenceng dari sunnah karena kejahilannya. Artikel dari Syekh Nashiruddin ini, menurut saya, hanya ingin menjelaskan kepada kaum Muslimin apa itu "As-Salaf". Bukan berarti Fanatik Hizbiyah. Manhaj Salaf tidak mengenal Jama'ah-jama'ah, yang ada hanya satu, yaitu "Al-Jama'ah", yang Rasullulloh SAW sebutkan dalam hadist. Wallahu'alam.... sekian penjelasan singkat saya, yang masih dalam tahap belajar... saya yakin akhi Suharyanto lebih 'Alim dari saya. Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokaatuh.. Al-Faqir Muhammad Luqman.H From: "Suharyanto" <suharyanto@...> Reply-To: assunnah@... To: <assunnah@...> Subject: [assunnah] Re: Masalah-masalah Penting Dalam Islam [Masalah - 19 = Mengapa Harus Salafi ?] Date: Wed, 19 Jan 2000 15:22:45 +0700
Assalamu'alaikum wr.wb.
Saya mau tanya berkaitan dengan artikel dibawah ini. Yang saya tanyakan banyak sekali jama'ah(yg akidahnya lurus) yang saya ketahui mengaku sebagai jama'ah yang bermanhaj salaf. Walaupun ada yang mengaku salaf dan ia mengatakan jama'ah lain bukan salaf, yaa.. ada yang mengatakan ini lah,itulah, dll, dsb. 1. Apakah Sebenarnya Rasulullah, para sahabat dan ulama salaf mengajari hal tersebut? Ini yang membuat saya bingung ada yang mengaku salaf tapi kok tidak seperti Rasul, sahabat dan ulama salaf dalam berdakwah dan menyikapi sesama muslim walaupun ada sedikit perbedaan pendapat. 2. Saya mau tanya apakah di sini sudah ada jama'ah yang benar-benar salaf? Mohon jawaban dari ikhwan sekalian.
Wassalamu'alaikum wr.wb. ----- Original Message ----- From: Y & R To: assunnah@... Sent: Wednesday, January 19, 2000 11:10 PM Subject: [assunnah] Masalah-masalah Penting Dalam Islam [Masalah - 19 = Mengapa Harus Salafi ?]
MENGAPA HARUS SALAFI ?
oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
------------------------------------------------------------------------------
MUQADIMAH
Masih banyak di antara kita yang mempertanyakan apa itu Salafi, dan mengapa harus Salafi .?. Sebagian kaum muslimin malahan menilai bahwa kata-kata Salafi menunjukkan sikap fanatik, bahkan lebih jauh lagi dikatakan sebagai sikap ta'assub terhadap kelompok tertentu serta mengecilkan orang lain, dan yang lebih parah lagi adalah ; mereka mengatakan bahwa Salafi merupakan istilah baru dalam Islam.
Benarkah persangkaan tersebut...! Dibawah ini kami nukilkan jawaban dari Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah di majalah Al-Ashalah edisi 9/Th.II/15 Sya'ban 1414H dan dimuat di majalah As-Sunnah edisi 09/th.III/1419H-1999. Mengenai pertanyaan yang ditujukan kepada beliau, yang tidak jauh berbeda dengan permasalahan di atas.
MENGAPA HARUS SALAFI..?
Pertanyaan yang ditujukan kepada Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, adalah sebagai berikut :
"Mengapa perlu menamakan diri dengan Salafiyah, apakah itu termasuk dakwah Hizbiyyah, golongan, madzhab atau kelompok baru dalam Islam ..?"
Jawaban beliau adalah sebagai berikut :
Sesungguhnya kata "As-Salaf" sudah lazim dalam terminologi bahasa Arab maupun syariat Islam. Adapun yang menjadi bahasan kita kali ini adalah aspek syari'atnya. Dalam riwayat yang shahih, ketika menjelang wafat, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Sayidah Fatimah radyillahu 'anha : "Artinya : Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah, sebaik-baik "As-Salaf" bagimu adalah Aku". Dalam kenyataannya di kalangan para ulama sering menggunakan istilah "As-Salaf". Satu contoh penggunaan "As-Salaf" yang biasa mereka pakai dalam bentuk syair untuk menumpas bid'ah : "Dan setiap kebaikan itu terdapat dalam mengikuti orang-orang Salaf". "Dan setiap kejelekan itu terdapat dalam perkara baru yang diada-adakan orang Khalaf". Namun ada sebagian orang yang mengaku berilmu, mengingkari nisbat (penyandaran diri) pada istillah SALAF karena mereka menyangka bahwa hal tersebut tidak ada asalnya. Mereka berkata : "Seorang muslim tidak boleh mengatakan "saya seorang salafi". Secara tidak langsung mereka beranggapan bahwa seorang muslim tidak boleh mengikuti Salafus Shalih baik dalam hal aqidah, ibadah ataupun ahlaq".
Tidak diragukan lagi bahwa pengingkaran mereka ini, (kalau begitu maksudnya) membawa konsekwensi untuk berlepas diri dari Islam yang benar yang dipegang para Salafus Shalih yang dipimpin Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam : "Artinya : Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian sesudahnya, kemudian sesudahnya". (Hadits Shahih Riwayat Bukhari, Muslim). Maka tidak boleh seorang muslim berlepas diri (bara') dari penyandaran kepada Salafus Shalih. Sedangkan kalau seorang muslim melepaskan diri dari penyandaran apapun selain Salafus Shalih, tidak akan mungkin seorang ahli ilmupun menisbatkannya kepada kekafiran atau kefasikan.
Orang yang mengingkari istilah ini, bukankah dia juga menyandarkan diri pada suatu madzhab, baik secara akidah atau fikih ..?. Bisa jadi ia seorang Asy'ari, Maturidi, Ahli Hadits, Hanafi, Syafi'i, Maliki atau Hambali semata yang masih masuk dalam sebutan Ahlu Sunnah wal Jama'ah.
Padahal orang-orang yang bersandar kepada madzhab Asy'ari dan pengikut madzhab yang empat adalah bersandar kepada pribadi-pribadi yang tidak maksum. Walau ada juga ulama di kalangan mereka yang benar. Mengapa penisbatan-penisbatan kepada pribadi-pribadi yang tidak maksum ini tidak diingkari ..?
Adapun orang yang berintisab kepada Salafus Shalih, dia menyandarkan diri kepada ISHMAH (kemaksuman/terjaga dari kesalahan) secara umum. Rasul telah mendiskripsikan tanda-tanda Firqah Najiah yaitu komitmennya dalam memegang sunnah Nabi dan para sahabatnya. Dengan demikian siapa yang berpegang dengan manhaj Salafus Shalih maka yakinlah dia berada atas petunjuk Allah 'Azza wa Jalla.
Salafiyah merupakan predikat yang akan memuliakan dan memudahkan jalan menuju "Firqah Najiyah". Dan hal itu tidak akan didapatkan bagi orang yang menisbatkan kepada nisbat apapun selainnya. Sebab nisbat kepada selain Salafiyah tidak akan terlepas dari dua perkara : a.. Pertama, menisbatkan diri kepada pribadi yang tidak maksum. b.. Kedua, menisbatkan diri kepada orang-orang yang mengikuti manhaj pribadi yang tidak maksum. Jadi tidak terjaga dari kesalahan, dan ini berbeda dengan ISHMAH para shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, yang mana Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan supaya kita berpegang teguh terhadap sunnahnya dan sunnah para sahabat setelahnya.
Kita tetap terus dan senantiasa menyerukan agar pemahaman kita terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah selaras dengan manhaj para sahabat, sehingga tetap dalam naungan ISHMAH (terjaga dari kesalahan) dan tidak melenceng maupun menyimpang dengan pemahaman tertentu yang tanpa pondasi dari Al-Kitab dan As-Sunnah.
Mengapa sandaran terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah belum cukup ..?
Sebabnya kembali kepada dua hal, yaitu hubungannya dengan dalil syar'i dan fenomena Jama'ah Islamiyah yang ada.
Berkenan dengan sebab pertama. Kita dapati dalam nash-nash yang berupa perintah untuk menta'ati hal lain disamping Al-Kitab dan As-Sunnah sebagaimana dalam firman Allah : "Artinya : Dan taatilah Allah, taatilah Rasul dan Ulil Amri diantara kalian". (An-Nisaa : 59). Jika ada Waliyul Amri yang dibaiat kaum Muslimin maka menjadi wajib ditaati seperti keharusan taat terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah. Walau terkadang muncul kesalahan dari dirinya dan bawahannya. Taat kepadanya tetap wajib untuk menepis akibat buruk dari perbedaan pendapat dengan menjunjung tinggi syarat yang sudah dikenal yaitu : "Artinya : Tidak ada ketaatan kepada mahluk di dalam bemaksiat kepada Al-Khalik". (Lihat As-Shahihah No. 179). "Artinya : Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Kami biarkan mereka berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan dia ke dalam Jahannan dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali". (An-Nisaa : 115). Allah Maha Tinggi dan jauh dari main-main. Tidak disangkal lagi, penyebutan SABIILIL MU'MINIIN (Jalan kaum mukminin) pasti mengandung hikmah dan manfa'at yang besar. Ayat itu membuktikan adanya kewajiban penting yaitu agar ittiba' kita terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah harus sesuai dengan pemahaman generasi Islam yang pertama (generasi sahabat). Inilah yang diserukan dan ditekankan oleh dakwah Salafiyah di dalam inti dakwah dan manhaj tarbiyahnya.
Sesungguhnya Dakwah Salafiyah benar-benar akan menyatukan umat. Sedangkan dakwah lainnya hanya akan mencabik-cabiknya. Allah berfirman : "Artinya : Dan hendaklah kamu bersama-sama orang-orang yang benar". (At-Taubah : 119). Siapa saja yang memisahkan antara Al-Kitab dan As-Sunnah dengan As-Salafus Shalih bukanlah seorang yang benar selama-lamanya.
Adapun berkenan dengan sebab kedua. Bahwa kelompok-kelompok dan golongan-golongan (umat Islam) sekarang ini sama sekali tidak memperhatikan untuk mengikuti jalan kaum mukminin yang telah disinggung ayat di atas dan dipertegas oleh beberapa hadits.
Diantaranya hadits tentang firqah yang berjumlah tujuh puluh tiga golongan, semua masuk neraka kecuali satu. Rasul mendeskripsikannya sebagai : "Dia (golongan itu) adalah yang berada di atas pijakanku dan para sahabatku hari ini". Hadits ini senada dengan ayat yang menyitir tentang jalan kaum mukminin. Di antara hadits yang juga senada maknanya adalah, hadits Irbadl bin Sariyah, yang di dalamnya memuat : "Artinya : Pegangilah sunnahku dan sunnah Khulafair Rasyidin sepeninggalku". Jadi di sana ada dua sunnah yang harus di ikuti : sunnah Rasul dan sunnah Khulafaur Rasyidin.
Menjadi keharusan atas kita -generasi mutaakhirin- untuk merujuk kepada Al-Kitab dan As-Sunnah dan jalan kaum mukminin. Kita tidak boleh berkata : "Kami mandiri dalam memahami Al-Kitab dan As-Sunnah tanpa petunjuk Salafus As-Shalih".
Demikian juga kita harus memiliki nama yang membedakan antara yang haq dan batil di jaman ini. Belum cukup kalau kita hanya mengucapkan :"Saya seorang muslim (saja) atau bermadzhab Islam. Sebab semua firqah juga mengaku demikian baik Syiah, Ibadhiyyah (salah satu firqah dalam Khawarij), Ahmadiyyah dan yang lain. Apa yang membedakan kita dengan mereka ..?
Kalau kita berkata : Saya seorang muslim yang memegangi Al-Kitab dan As-Sunnah. ini juga belum memadai. Karena firqah-firqah sesat juga mengklaim ittiba' terhadap keduanya.
Tidak syak lagi, nama yang jelas, terang dan membedakan dari kelompok sempalan adalah ungkapan : "Saya seorang muslim yang konsisten dengan Al-Kitab dan As-Sunnah serta bermanhaj Salaf", atau disingkat "Saya Salafi".
Kita harus yakin, bersandar kepada Al-Kitab dan As-Sunnah saja, tanpa manhaj Salaf yang berperan sebagai penjelas dalam masalah metode pemahaman, pemikiran, ilmu, amal, dakwah, dan jihad, belumlah cukup.
Kita paham para sahabat tidak berta'ashub terhadap madzhab atau individu tertentu. Tidak ada dari mereka yang disebut-sebut sebagai Bakri, Umari, Utsmani atau Alawi (pengikut Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali). Bahkan bila seorang di antara mereka bisa bertanya kepada Abu Bakar, Umar atau Abu Hurairah maka bertanyalah ia. Sebab mereka meyakini bahwa tidak boleh memurnikan ittiba' kecuali kepada satu orang saja yaitu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, yang tidak berkata dengan kemauan nafsunya, ucapannya tiada lain wahyu yang diwahyukan.
Taruhlah misalnya kita terima bantahan para pengkritik itu, yaitu kita hanya menyebut diri sebagai muslimin saja tanpa penyandaran kepada manhaj Salaf ; padahal manhaj Salaf merupakan nisbat yang mulia dan benar. Lalu apakah mereka (pengkritik) akan terbebas dari penamaan diri dengan nama-nama golongan madzhab atau nama-nama tarekat mereka .? Padahal sebutan itu tidak syar'i dan salah ..!?.
Allah adalah Dzat Maha pemberi petunjuk menuju jalan lurus. Wallahu al-Musta'in.
Demikianlah jawaban kami. Istilah Salaf bukan menunjukkan sikap fanatik atau ta'assub pada kelompok tertentu, tetapi menunjukkan pada komitmennya untuk mengikuti Manhaj Salafus Shalih dalam memahami Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Wallahu Waliyyut-Taufiq.
------------------------------------------------------------------------------
Insya Allah menyusul : a.. Nasihat Perkawinan oleh Yazid Abdul Qadir Jawas
------------------------------------------------------------------------------ Post Message assunnah@... Subscribe assunnah-subscribe@... Unsubscribe assunnah-unsubscribe@... List owner assunnah-owner@... ------------------------------------------------------------------------------
eGroups.com Home: www.egroups.com - Simplifying group communications
------------------------------------------------------------------------ PostMessage assunnah@... Subscribe assunnah-subscribe@... Unsubscribe assunnah-unsubscribe@... Listowner assunnah-owner@...
------------------------------------------------------------------------ -- Talk to your group with your own voice! --
______________________________________________________
|
?MENGAPA HARUS SALAFI ?
?
oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al-Albani
?
?
?
MUQADIMAH
?
Masih banyak di antara kita yang
mempertanyakan apa itu Salafi, dan mengapa harus Salafi .?. Sebagian kaum
muslimin malahan menilai bahwa kata-kata Salafi menunjukkan sikap fanatik,
bahkan lebih jauh lagi dikatakan sebagai sikap ta'assub terhadap kelompok
tertentu serta mengecilkan orang lain, dan yang lebih parah lagi adalah ; mereka
mengatakan bahwa Salafi merupakan istilah baru dalam Islam.
?
Benarkah persangkaan tersebut...! Dibawah
ini kami nukilkan jawaban dari Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
rahimahullah di majalah Al-Ashalah edisi 9/Th.II/15 Sya'ban 1414H dan dimuat di
majalah As-Sunnah edisi 09/th.III/1419H-1999. Mengenai pertanyaan yang ditujukan
kepada beliau, yang tidak jauh berbeda dengan permasalahan di atas.
?
?
MENGAPA HARUS
SALAFI..?
?
Pertanyaan yang ditujukan kepada
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, adalah sebagai berikut
:
?
"Mengapa perlu menamakan diri dengan Salafiyah,
apakah itu termasuk dakwah Hizbiyyah, golongan, madzhab atau kelompok baru dalam
Islam ..?"
?
Jawaban beliau adalah sebagai berikut
:
?
Sesungguhnya kata "As-Salaf" sudah lazim dalam
terminologi bahasa Arab maupun syariat Islam. Adapun yang menjadi bahasan kita
kali ini adalah aspek syari'atnya. Dalam riwayat yang shahih, ketika menjelang
wafat, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Sayidah Fatimah
radyillahu 'anha :
"Artinya : Bertakwalah
kepada Allah dan bersabarlah, sebaik-baik "As-Salaf" bagimu adalah
Aku".
Dalam kenyataannya di kalangan para ulama sering menggunakan
istilah "As-Salaf". Satu contoh penggunaan "As-Salaf" yang
biasa mereka pakai dalam bentuk syair untuk menumpas bid'ah :
"Dan setiap kebaikan itu
terdapat dalam mengikuti orang-orang? Salaf".
"Dan setiap kejelekan itu
terdapat dalam perkara baru yang diada-adakan orang Khalaf".
Namun ada sebagian orang yang mengaku berilmu, mengingkari
nisbat (penyandaran diri) pada istillah SALAF karena mereka menyangka bahwa hal
tersebut tidak ada asalnya. Mereka berkata : "Seorang muslim tidak boleh
mengatakan "saya seorang salafi". Secara tidak langsung mereka
beranggapan bahwa seorang muslim tidak boleh mengikuti Salafus Shalih baik dalam
hal aqidah, ibadah ataupun ahlaq".
?
Tidak diragukan lagi bahwa pengingkaran mereka ini, (kalau
begitu maksudnya) membawa konsekwensi untuk berlepas diri dari Islam yang benar
yang dipegang para Salafus Shalih yang dipimpin Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Artinya : Sebaik-baik
generasi adalah generasiku, kemudian sesudahnya, kemudian sesudahnya".
(Hadits Shahih Riwayat Bukhari, Muslim).
Maka tidak boleh seorang muslim berlepas diri (bara') dari penyandaran
kepada Salafus Shalih. Sedangkan kalau seorang muslim melepaskan diri dari
penyandaran apapun selain Salafus Shalih, tidak akan mungkin seorang ahli
ilmupun menisbatkannya kepada kekafiran atau kefasikan.
?
Orang yang mengingkari istilah ini, bukankah dia juga menyandarkan diri
pada suatu madzhab, baik secara akidah atau fikih ..?. Bisa jadi ia seorang
Asy'ari, Maturidi, Ahli Hadits, Hanafi, Syafi'i, Maliki atau Hambali semata yang
masih masuk dalam sebutan Ahlu Sunnah wal Jama'ah.
?
Padahal orang-orang yang bersandar kepada madzhab Asy'ari dan
pengikut madzhab yang empat adalah bersandar kepada pribadi-pribadi yang tidak
maksum. Walau ada juga ulama di kalangan mereka yang benar. Mengapa
penisbatan-penisbatan kepada pribadi-pribadi yang tidak maksum ini tidak
diingkari ..?
?
Adapun orang yang berintisab kepada Salafus Shalih, dia
menyandarkan diri kepada ISHMAH (kemaksuman/terjaga dari kesalahan) secara umum.
Rasul telah mendiskripsikan tanda-tanda Firqah Najiah yaitu komitmennya dalam
memegang sunnah Nabi dan para sahabatnya. Dengan demikian siapa yang berpegang
dengan manhaj Salafus Shalih maka yakinlah dia berada atas petunjuk Allah 'Azza
wa Jalla.
?
Salafiyah merupakan predikat yang akan memuliakan dan memudahkan
jalan menuju "Firqah Najiyah". Dan hal itu tidak akan didapatkan bagi
orang yang menisbatkan kepada nisbat apapun selainnya. Sebab nisbat kepada
selain Salafiyah tidak akan terlepas dari dua perkara :
- Pertama, menisbatkan diri kepada pribadi yang tidak maksum.
- Kedua, menisbatkan diri kepada orang-orang yang mengikuti manhaj
pribadi yang tidak maksum.
Jadi tidak terjaga dari kesalahan, dan ini berbeda dengan
ISHMAH para shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, yang mana Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan supaya kita berpegang teguh terhadap
sunnahnya dan sunnah para sahabat setelahnya.
?
Kita tetap terus dan senantiasa menyerukan agar pemahaman
kita terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah selaras dengan manhaj para sahabat,
sehingga tetap dalam naungan ISHMAH (terjaga dari kesalahan) dan tidak melenceng
maupun menyimpang dengan pemahaman tertentu yang tanpa pondasi dari Al-Kitab dan
As-Sunnah.
?
Mengapa sandaran terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah belum cukup
..?
?
Sebabnya kembali kepada dua hal, yaitu hubungannya
dengan dalil syar'i dan fenomena Jama'ah Islamiyah yang
ada.
?
Berkenan dengan sebab pertama.
Kita dapati dalam nash-nash yang berupa perintah untuk
menta'ati hal lain disamping Al-Kitab dan As-Sunnah sebagaimana dalam firman
Allah :
"Artinya : Dan taatilah
Allah, taatilah Rasul dan Ulil Amri diantara kalian".
(An-Nisaa : 59).
Jika ada Waliyul Amri yang dibaiat kaum Muslimin maka menjadi
wajib ditaati seperti keharusan taat terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah. Walau
terkadang muncul kesalahan dari dirinya dan bawahannya. Taat kepadanya tetap
wajib untuk menepis akibat buruk dari perbedaan pendapat dengan menjunjung
tinggi syarat yang sudah dikenal yaitu :
"Artinya : Tidak ada
ketaatan kepada mahluk di dalam bemaksiat kepada Al-Khalik". (Lihat
As-Shahihah No. 179).
"Artinya : Dan barang
siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Kami biarkan mereka berkuasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan dia ke dalam
Jahannan dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali". (An-Nisaa :
115).
Allah Maha Tinggi dan jauh dari main-main. Tidak disangkal lagi, penyebutan
SABIILIL MU'MINIIN (Jalan kaum mukminin) pasti mengandung hikmah dan manfa'at
yang besar. Ayat itu membuktikan adanya kewajiban penting yaitu agar ittiba'
kita terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah harus sesuai dengan pemahaman generasi
Islam yang pertama (generasi sahabat). Inilah yang diserukan dan ditekankan oleh
dakwah Salafiyah di dalam inti dakwah dan manhaj tarbiyahnya.
?
Sesungguhnya Dakwah Salafiyah benar-benar akan menyatukan umat. Sedangkan
dakwah lainnya hanya akan mencabik-cabiknya. Allah berfirman :
"Artinya : Dan hendaklah kamu
bersama-sama orang-orang yang benar". (At-Taubah : 119).
Siapa saja yang memisahkan antara Al-Kitab dan As-Sunnah dengan As-Salafus
Shalih bukanlah seorang yang benar selama-lamanya.
?
Adapun berkenan dengan sebab kedua. Bahwa
kelompok-kelompok dan golongan-golongan (umat Islam) sekarang ini sama sekali
tidak memperhatikan untuk mengikuti jalan kaum mukminin yang telah disinggung
ayat di atas dan dipertegas oleh beberapa hadits.
?
Diantaranya hadits tentang firqah yang berjumlah tujuh puluh
tiga golongan, semua masuk neraka kecuali satu. Rasul mendeskripsikannya sebagai
:
"Dia (golongan itu)
adalah yang berada di atas pijakanku dan para sahabatku hari
ini".
Hadits ini senada dengan ayat yang menyitir tentang jalan
kaum mukminin. Di antara hadits yang juga senada maknanya adalah, hadits Irbadl
bin Sariyah, yang di dalamnya memuat :
"Artinya : Pegangilah
sunnahku dan sunnah Khulafair Rasyidin sepeninggalku".
Jadi di sana ada dua sunnah yang harus di ikuti : sunnah
Rasul dan sunnah Khulafaur Rasyidin.
?
Menjadi keharusan atas kita -generasi mutaakhirin- untuk
merujuk kepada Al-Kitab dan As-Sunnah dan jalan kaum mukminin. Kita tidak boleh
berkata : "Kami mandiri dalam memahami Al-Kitab dan As-Sunnah tanpa
petunjuk Salafus As-Shalih".
?
Demikian juga kita harus memiliki nama yang membedakan antara
yang haq dan batil di jaman ini. Belum cukup kalau kita hanya mengucapkan
:"Saya seorang muslim (saja) atau bermadzhab Islam. Sebab semua firqah juga
mengaku demikian baik Syiah, Ibadhiyyah (salah satu firqah dalam Khawarij),
Ahmadiyyah dan yang lain. Apa yang membedakan kita dengan mereka ..?
?
Kalau kita berkata : Saya seorang muslim yang memegangi
Al-Kitab dan As-Sunnah. ini juga belum memadai. Karena firqah-firqah sesat juga
mengklaim ittiba' terhadap keduanya.
?
Tidak syak lagi, nama yang jelas, terang dan membedakan dari
kelompok sempalan adalah ungkapan : "Saya seorang muslim yang konsisten
dengan Al-Kitab dan As-Sunnah serta bermanhaj Salaf", atau disingkat
"Saya Salafi".
?
Kita harus yakin, bersandar kepada Al-Kitab dan As-Sunnah
saja, tanpa manhaj Salaf yang berperan sebagai penjelas dalam masalah metode
pemahaman, pemikiran, ilmu, amal, dakwah, dan jihad, belumlah cukup.?
?
Kita paham para sahabat tidak berta'ashub terhadap madzhab
atau individu tertentu. Tidak ada dari mereka yang disebut-sebut sebagai Bakri,
Umari, Utsmani atau Alawi (pengikut Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali). Bahkan bila
seorang di antara mereka bisa bertanya kepada Abu Bakar, Umar atau Abu Hurairah
maka bertanyalah ia. Sebab mereka meyakini bahwa tidak boleh memurnikan ittiba'
kecuali kepada satu orang saja yaitu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
yang tidak berkata dengan kemauan nafsunya, ucapannya tiada lain wahyu yang
diwahyukan.
?
Taruhlah misalnya kita terima bantahan para pengkritik itu,
yaitu kita hanya menyebut diri sebagai muslimin saja tanpa penyandaran kepada
manhaj Salaf ; padahal manhaj Salaf merupakan nisbat yang mulia dan benar. Lalu
apakah mereka (pengkritik) akan terbebas dari penamaan diri dengan nama-nama
golongan madzhab atau nama-nama tarekat mereka .? Padahal sebutan itu tidak
syar'i dan salah?..!?.
?
Allah adalah Dzat Maha pemberi petunjuk menuju jalan lurus.
Wallahu al-Musta'in.
?
Demikianlah jawaban kami. Istilah Salaf bukan menunjukkan
sikap fanatik atau ta'assub pada kelompok tertentu, tetapi menunjukkan pada
komitmennya untuk mengikuti Manhaj Salafus Shalih dalam memahami Al-Qur'an dan
As-Sunnah.
?
Wallahu Waliyyut-Taufiq.
?
?
Insya Allah menyusul
:
- Nasihat Perkawinan oleh Yazid
Abdul Qadir Jawas
?
|
Assalamau'alaikum wr.wb.
?
Terimakasih kepada saudara Endan.
Alhamdulillah, bertambah lagi ilmu saya dan semua anggota ML
Assunnah.
?
Wassalamu'alaikum wr.wb.
toggle quoted message
Show quoted text
----- Original Message -----
Sent: Friday, January 21, 2000 1:31
AM
Subject: [assunnah] Re: Masalah-masalah
Penting Dalam Islam [Masalah - 19 = Mengapa Harus Salafi ?]
Surat kepada seorang akhi....
Saudaraku Suharyanto, sesungguhnya Al Islam itu adalah satu
dan ditinggalkan oleh Nabi 'alaihi sholatu wa salam dalam keadaan
putih bersih. Tidak ada hal yang mendekatkan kita ke surga dan menjauhkan kita
dari neraka melainkan telah beliau sampaikan. Pendeknya, syariat Ad-Dienul
Islam ini telah sempurna, dan Nabi 'alaihi sholatu wa salam tidak
menghendaki adanya pengurangan atau penambahan sedikit pun di dalamnya,
walaupun kita menyangka hal itu baik.
Kemudian setelah wafatnya beliau 'alaihi sholatu wa
salam, tepatnya selelah wafatnya Kholifatur rosyid 'Umar ibnul Khottob
rodhiallahu ‘anhu, muncullah banyak sekali perselisihan, pengurangan
dan penambahan pada dien ini baik dalam masalah aqidah, ibadah, akhlak, manhaj
dan sebagainya. Sampai-sampai ada sekelompok orang yang mengkafirkan Abu Bakar
Asy-Syiddiq, Umar Ibnul Khottob dan Utsman Ibnu 'Affan rodhiallahu
'alaihim ajma'in, mengingkari taqdir, membuat nama bagi Allah yang Allah
sendiri tidak pernah membuat nama seperti yang mereka buat itu, bahkan ada
yang murtad dari Islam. Dan hal itu semua sudah dikhabarkan oleh Nabi yang
Mulia 'alaihi sholatu wa salam sewaktu beliau masih hidup. Dan hal
ini menjadi tanda-tanda kenabian beliau, bahwa apa yang beliau ucapkan itu
pasti akan terjadi. (Saudaraku bisa merujuk kepada kitab-kitab fiqh dan
hadits, atau majalah As-Sunnah Edisi 1 s.d. 12 tahun pertama, atau bisa
menghubungi ana, Alhamdulillah ana juga punya).
Kemudian muncullah para Ulama dan dan para Imam di kalangan
kaum muslimin rohimahumullah dari masa tabi'in sampai sekarang yang
terus menentang mereka dan memurnikan Ad-Dienul Islam yang sudah sempurna ini,
dan mereka itu akan tetap ada sampai hari kiamat kelak. Maka muncullah
Al-Imam Ahmad Ibnu Hambal rohimahullah dengan mempopulerkan
istilah Ahlu Sunnah Wal-Jama’ah sebagai pembeda antara kaum muslimin
yang berjuang keras untuk tetap menjaga kemurnian Dien ini, semurni
sebagaimana ditinggalkan oleh Nabi Muhammad 'alaihi sholatu wa salam dan
para shahabat beliau (as-salafush sholih) ridwanullahu ‘alaihim ajma’in dan
membedakannya dengan kaum muslimin yang telah terpengaruh dan tercampur aduk
oleh manhaj, aqidah, ibadah dan akhlak yang batil. Istiliah Ahlu Sunnah
Wal-Jama’ah sendiri bukanlah hal yang baru (bid’ah), namun sudah beliau
isyaratkan melalui banyak sekali haditsnya yang shohih. Maka kemudian Al-Imam
Ahmad bin Hambal rohimahullah terkenal dengan Imam Ahlu Sunnah wal
Jama’ah. Selain istilah diatas, para ulama juga mengenal istilah-istilah
lain yang digunakan untuk membedakan orang-orang Islam yang tetap berusaha
menjaga dien ini dari pengurangan dan tambahan (bid’ah) dan iltizam (komitmen)
kepada pemahaman Nabi sholallahu ‘alaihi wasalam serta para shahabatnya
rodhiallahu ‘anhum. Istilah-istilah tersebut juga diambil dari sabda-sabda
Beliau yang mulia sholallahu ‘alaihi wasalam, di antaranya adalah :
- Ahlu Sunnah Wal Jama’ah
- Ahlul Hadits
- As-Salaf (yang berpegang kepada para pendahulu (as-salaf) dari dien
ini).
- Firqotun Naajiyah (golongan yang selamat)
- Thoifah al Manshuroh (kelompok yang ditolong)
- Al Ghuroba (yang terasing)
Maka siapakah Salafi (Ahlu Sunnah Wal-Jama’ah) itu ?
Seorang salafi dialah orang yang berpegang teguh kepada
kemurnian agama ini sesuai dengan pemahaman Nabi dan para shahabat beliau,
yang dia ini akan terlihat ghuraba (asing) di kehidupan yang ramai ini, selalu
berpegang kepada sunnah beliau, berimam dan berjama’ah kepada Nabi dan Ulil
‘Amri (ulama wal umaro yang shohih secara syariat), akan ditolong oleh Allah
(manshuroh) dan akan menjadi golongan yang selamat (naajiyah). Itulah hakikat
seorang Muslim yang sesungguhnya.
Antum bertanya, apakah As-Salafi itu sekarang sudah ada ?
Ya, telah ada dari zaman dulu, dan akan tetap ada hingga hari
kiamat nanti dan akan berjuang bersama Al-Imam Mahdi Al-Muntadzor dan
menjadi tentaranya Nabi Isa ‘alaihi sholatu wasalam untuk memerangi
musuh-musuh Islam.
Dimanakah kelompok As-Salafi itu ?
Mereka ada di mana-mana, di Jakarta, di Bandung, di Jepang,
di Saudi, di manapun. Mereka itu ada yang berjama’ah (karena berjama’ah itu
adalah syariat Islam) namun mereka tidak bertandzim. Mereka ikuti para imam
dan ulama rohimahumullah dan mereka menuntut ilmu kepada para ustadz
hafidzahumullah (semoga Allah menjaga mereka), ta’at, patuh dan ‘ittiba
kepada mereka karena itulah pemimpin mereka, namun tidak menjadikan mereka
sebagai pemimpin tandzim. Ketaatan kepada mereka adalah selama yang
diajarkannya adalah sesuai dengan petunjuk Nabi dan para shahabat (salafush
sholeh) rodhiallahu ‘anhum.
Namun seorang salafi (ahlu sunnah wal jama’ah) juga belum
tentu berjama’ah. Seorang muslim yang tinggal sendirian di atas gunung namun
dia beraqidah, beribadah, berakhlaq dan berpemahaman seperti para salafush
sholih, tidak mengurangi dan menambahnya walau sedikitpun, maka dia termasuk
dari jama’ah ini, walaupun mereka tidak saling mengenal. Silahkan haidtsnya
bisa dilihat pada majalah As-Sunnah.
Kenapa ada orang yang mengaku Salafi tapi tidak berakhlaq
Salaf?
Saudaraku, betapa banyak di negeri ini yang mengaku sebagai
seorang ahlu sunnah wal jama’ah di kampung-kampung tapi aqidahnya, ibadahnya,
adabnya dan manhajnya sangat-sangat jauh dari Nabi ‘alaihi sholatu
wasalam dan shabatnya rodhiallahu ‘anhum. Dan betapa banyak orang
yang mengaku bermazhab Syafi’i, tapi sangat-sangat jauh dari pemahaman Al Imam
Asy Syafi’i rohimahullah. Wazannya (timbangannya) adalah selama dia itu
beraqidah, beribadah, beradab (berakhlaq) dan bermanhaj seperti yang
dicontohkan Rasul dan para shahabatnya, maka dia itu adalah seorang salafi.
Antum bisa menilai diri antum sendiri dan juga dapat menilai orang-orang yang
mengaku salaf tadi.
Apakah antum, wahai saudaraku Suharyanto, seorang
Salafi?
Tentuya kita semua ingin menjadi seorang salafi (ahlu sunnah
wal jama’ah). Dan selama antum beraqidah, beribadah, berakhlah dan
bermanhaj, seperti yang dipahami oleh para salafush sholeh
ridwanullah ‘alaihim jami’an, maka antum adalah seorang salafi.
Mudah-mudahan Allah menunjuki saya dan antum menjadi seorang salafi ahlu
sunnah waljama’ah dan mendapat keselamatan dan pertolongan Allah...Amien Ya
Robbl ‘Alamin....
(Saya menjawab surat antum ini dengan ilmu yang saya miliki,
setelah mendengarkan kaset-kaset serta membaca dari majalah As-Sunnah, dll.
Silakan antum merujuk sendiri kepada majalah tersebut).
Post?Message assunnah@... Subscribe assunnah-subscribe@... Unsubscribe
assunnah-unsubscribe@... List?owner
assunnah-owner@...
eGroups.com Home:
- Simplifying group
communications
|
Surat kepada seorang akhi....
Saudaraku Suharyanto, sesungguhnya Al Islam itu adalah satu dan
ditinggalkan oleh Nabi 'alaihi sholatu wa salam dalam keadaan putih
bersih. Tidak ada hal yang mendekatkan kita ke surga dan menjauhkan kita dari
neraka melainkan telah beliau sampaikan. Pendeknya, syariat Ad-Dienul Islam ini
telah sempurna, dan Nabi 'alaihi sholatu wa salam tidak menghendaki
adanya pengurangan atau penambahan sedikit pun di dalamnya, walaupun kita
menyangka hal itu baik.
Kemudian setelah wafatnya beliau 'alaihi sholatu wa salam,
tepatnya selelah wafatnya Kholifatur rosyid 'Umar ibnul Khottob
rodhiallahu ‘anhu, muncullah banyak sekali perselisihan,
pengurangan dan penambahan pada dien ini baik dalam masalah aqidah, ibadah,
akhlak, manhaj dan sebagainya. Sampai-sampai ada sekelompok orang yang
mengkafirkan Abu Bakar Asy-Syiddiq, Umar Ibnul Khottob dan Utsman Ibnu 'Affan
rodhiallahu 'alaihim ajma'in, mengingkari taqdir, membuat nama bagi
Allah yang Allah sendiri tidak pernah membuat nama seperti yang mereka buat itu,
bahkan ada yang murtad dari Islam. Dan hal itu semua sudah dikhabarkan oleh Nabi
yang Mulia 'alaihi sholatu wa salam sewaktu beliau masih hidup. Dan hal
ini menjadi tanda-tanda kenabian beliau, bahwa apa yang beliau ucapkan itu pasti
akan terjadi. (Saudaraku bisa merujuk kepada kitab-kitab fiqh dan hadits, atau
majalah As-Sunnah Edisi 1 s.d. 12 tahun pertama, atau bisa menghubungi ana,
Alhamdulillah ana juga punya).
Kemudian muncullah para Ulama dan dan para Imam di kalangan
kaum muslimin rohimahumullah dari masa tabi'in sampai sekarang yang
terus menentang mereka dan memurnikan Ad-Dienul Islam yang sudah sempurna ini,
dan mereka itu akan tetap ada sampai hari kiamat kelak. Maka muncullah
Al-Imam Ahmad Ibnu Hambal rohimahullah dengan mempopulerkan
istilah Ahlu Sunnah Wal-Jama’ah sebagai pembeda antara kaum
muslimin yang berjuang keras untuk tetap menjaga kemurnian Dien ini, semurni
sebagaimana ditinggalkan oleh Nabi Muhammad 'alaihi sholatu wa salam dan
para shahabat beliau (as-salafush sholih) ridwanullahu ‘alaihim
ajma’in dan membedakannya dengan kaum muslimin yang telah terpengaruh dan
tercampur aduk oleh manhaj, aqidah, ibadah dan akhlak yang batil. Istiliah
Ahlu Sunnah Wal-Jama’ah sendiri bukanlah hal yang baru
(bid’ah), namun sudah beliau isyaratkan melalui banyak sekali haditsnya
yang shohih. Maka kemudian Al-Imam Ahmad bin Hambal rohimahullah terkenal dengan
Imam Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Selain istilah diatas, para ulama
juga mengenal istilah-istilah lain yang digunakan untuk membedakan orang-orang
Islam yang tetap berusaha menjaga dien ini dari pengurangan dan tambahan
(bid’ah) dan iltizam (komitmen) kepada pemahaman Nabi sholallahu
‘alaihi wasalam serta para shahabatnya rodhiallahu ‘anhum.
Istilah-istilah tersebut juga diambil dari sabda-sabda Beliau yang mulia
sholallahu ‘alaihi wasalam, di antaranya adalah :
- Ahlu Sunnah Wal Jama’ah
- Ahlul Hadits
- As-Salaf (yang berpegang kepada para pendahulu (as-salaf) dari dien
ini).
- Firqotun Naajiyah (golongan yang selamat)
- Thoifah al Manshuroh (kelompok yang ditolong)
- Al Ghuroba (yang terasing)
Maka siapakah Salafi (Ahlu Sunnah Wal-Jama’ah) itu ?
Seorang salafi dialah orang yang berpegang teguh kepada
kemurnian agama ini sesuai dengan pemahaman Nabi dan para shahabat beliau, yang
dia ini akan terlihat ghuraba (asing) di kehidupan yang ramai ini, selalu
berpegang kepada sunnah beliau, berimam dan berjama’ah kepada Nabi dan
Ulil ‘Amri (ulama wal umaro yang shohih secara syariat), akan ditolong
oleh Allah (manshuroh) dan akan menjadi golongan yang selamat (naajiyah). Itulah
hakikat seorang Muslim yang sesungguhnya.
Antum bertanya, apakah As-Salafi itu sekarang sudah ada ?
Ya, telah ada dari zaman dulu, dan akan tetap ada hingga hari
kiamat nanti dan akan berjuang bersama Al-Imam Mahdi Al-Muntadzor dan
menjadi tentaranya Nabi Isa ‘alaihi sholatu wasalam untuk memerangi
musuh-musuh Islam.
Dimanakah kelompok As-Salafi itu ?
Mereka ada di mana-mana, di Jakarta, di Bandung, di Jepang, di
Saudi, di manapun. Mereka itu ada yang berjama’ah (karena berjama’ah
itu adalah syariat Islam) namun mereka tidak bertandzim. Mereka ikuti para imam
dan ulama rohimahumullah dan mereka menuntut ilmu kepada para ustadz
hafidzahumullah (semoga Allah menjaga mereka), ta’at, patuh dan
‘ittiba kepada mereka karena itulah pemimpin mereka, namun tidak
menjadikan mereka sebagai pemimpin tandzim. Ketaatan kepada mereka adalah selama
yang diajarkannya adalah sesuai dengan petunjuk Nabi dan para shahabat (salafush
sholeh) rodhiallahu ‘anhum.
Namun seorang salafi (ahlu sunnah wal jama’ah) juga belum
tentu berjama’ah. Seorang muslim yang tinggal sendirian di atas gunung
namun dia beraqidah, beribadah, berakhlaq dan berpemahaman seperti para salafush
sholih, tidak mengurangi dan menambahnya walau sedikitpun, maka dia termasuk
dari jama’ah ini, walaupun mereka tidak saling mengenal. Silahkan
haidtsnya bisa dilihat pada majalah As-Sunnah.
Kenapa ada orang yang mengaku Salafi tapi tidak berakhlaq
Salaf?
Saudaraku, betapa banyak di negeri ini yang mengaku sebagai
seorang ahlu sunnah wal jama’ah di kampung-kampung tapi aqidahnya,
ibadahnya, adabnya dan manhajnya sangat-sangat jauh dari Nabi ‘alaihi
sholatu wasalam dan shabatnya rodhiallahu ‘anhum. Dan betapa
banyak orang yang mengaku bermazhab Syafi’i, tapi sangat-sangat jauh dari
pemahaman Al Imam Asy Syafi’i rohimahullah. Wazannya (timbangannya)
adalah selama dia itu beraqidah, beribadah, beradab (berakhlaq) dan
bermanhaj seperti yang dicontohkan Rasul dan para shahabatnya, maka dia itu
adalah seorang salafi. Antum bisa menilai diri antum sendiri dan juga dapat
menilai orang-orang yang mengaku salaf tadi.
Apakah antum, wahai saudaraku Suharyanto, seorang
Salafi?
Tentuya kita semua ingin menjadi seorang salafi (ahlu sunnah
wal jama’ah). Dan selama antum beraqidah, beribadah, berakhlah dan
bermanhaj, seperti yang dipahami oleh para salafush sholeh ridwanullah
‘alaihim jami’an, maka antum adalah seorang salafi.
Mudah-mudahan Allah menunjuki saya dan antum menjadi seorang salafi ahlu sunnah
waljama’ah dan mendapat keselamatan dan pertolongan Allah...Amien Ya Robbl
‘Alamin....
(Saya menjawab surat antum ini dengan ilmu yang saya miliki,
setelah mendengarkan kaset-kaset serta membaca dari majalah As-Sunnah, dll.
Silakan antum merujuk sendiri kepada majalah tersebut).
|