Keyboard Shortcuts
ctrl + shift + ? :
Show all keyboard shortcuts
ctrl + g :
Navigate to a group
ctrl + shift + f :
Find
ctrl + / :
Quick actions
esc to dismiss
Likes
- Assunnah
- Messages
Search
Biodata Syaikh Al-Albani
nur hanisah
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Salam sejahtera buat antum semua semoga sentiasa berada di bawah rahmat dan perlindungan Allah.Amin.InshaAllah. Di sini ana ingin meminta kepada antum yang tahu Biodata Syeikh Albani dengan lengkap dan perjalanan hidupnya. Ana selalu mendengar nama beliau di sebut2 di dalam kitab dan asatizah di jamia'h. Harap ada yang sudi membantu sebagai menambah pengetahuan dan ilmu. Wallahua'lam. |
Re: Bolehkah Bertawassul dalam Berdoa?
Abu Salma
Wa'alaikumus salam
toggle quoted message
Show quoted text
Baca On Nov 28, 2007 10:54 AM, Ummu Hanif <ycutt.cute@...> wrote:
Assalamuaalaikum, |
Re: >>Tanya: Masalah safar hari jumaat<<
From: RUHAIDAH BT SAMSUDIN <ruhaidah@...>Alhamdulillah.., Untuk menjawab pertanyaan diatas saya copy dari almanhaj, semoga bermanfaat. HUKUM BEPERGIAN PADA HARI JUMAT Oleh Umar Abdul Munim Salim Tidak ada keterangan dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam yang melarang seseorang mengdakan perjalanan pada hari Jumat. Jadi boleh saja bepergian bila waktu shalat masih belum tiba. [1] Dan ada keterangan-keterangan dari sahabat yang memperkuat hal tersebut. Dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu bahwa dia melihat seorang laki-laki yang sudah tampak siap bepergian, maka berkatalah orang tadi, Hari ini, hari Jumat, dan kalau tidak karena hari Jumat tentu aku sudah keluar. Umar berkata, Sesungguhnya shalat Jumat itu tidak mencegah orang bepergian, maka pergilah selama belum tiba waktu matahari tergelincir.[2] Diriwayatkan dari Nafi pembantu Ibnu Umar, bahwa anak dari Said bin Zaid bin Nufail suatu saat- sedang berada di sebidang tanahnya didaerah Al-Aqiq yang jauhnya beberapa mil dari kota Madinah. Lalu ia bertemu dengan Ibnu Umar di siang hari Jumat, kemudian dia memberitahukan tentang masalahnya, maka pergilah Umar padanya dan meninggalkan shalat Jumat [3] Dan ini adalah pendapat kebanyakan ulama. [4] MUSAFIR DAN SHALAT JUM'AT Tidak ada ketarangan shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau melaksanakan shalat Jum'at saat dalam perjalanan, bahkan riwayat menyebutkan bahwa beliau menjama' (mengumpulkan) dua shalat dhuhur dan ashar- saat di Arafah dan itu terjadi pada hari Jum'at [5] Oleh karena itu ada keterangan-keterangan dari Shahabat yang menguatkannya. Dari Hassan Al-Bashri diriwayatkan bahwa Anas bin Malik menetap di Naisabur selama satu tahun -atau dua tahun- di selalu shalat dua raka'at lalu salam dan dia tidak melaksanakan shalat jum'at [6] Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu berkata "Tidak ada shalat Jum'at bagi Musyafir" [7] [Disalin dari buku Hadyu Nabi Fi Yaumil Jum'ati Wal Yaltihaa Min Shahihil Sunnati, Edisi Indonesia Petunjuk Nabi Tentang Amalan Pada Malam an Siang Hari Jum'at, Penulis Umar Abdul Mun'im Salim, Penerjemah Abu Okasha, Penerbit Pustaka Azzam] __________ Foote Note [1]. Ibnul Mundzir dalam kitab Al-Ausath (4/23) berkata, Saya tidak mengetahui satu keterangan pasti yang melarang bepergian mulai awal siang hari Jumat sampai tergelincir matahari di masa saat iti muadzin mulai mengumandangkan adzannya. Nah, bila muadzin mulai mengumandangkan adzan, maka wajib bagi orang yang mendengarnya untuk pergi ke shalat Juat. Dia tidak bisa lagi menghindar dari suatu kewajiban yang harus dia laksanakan. Bila dia menunda kepergiannya pada hari Jumat sampai wakt Jumat selesai, itulah yang lebih baik. Saya berkata, ada sebuah riwayat yang tidak kuat yang memakruhkan orang bepergian pada hari Jumat. Yaitu riwayat yang dikeluarkan oleh Adz-Dzaruquthni dalam kitab Al-Afrad dari hadits Umar secara marfu : Barangsiapa yang bepergian pada hari Jumat, malaikat mendoakan untuknya, semoga tidak ada yang menyertainya dalam perhalanan. Ibnu Hajar berkata di dalam kitab At-Talkish (2/70), Di dalam sanad hadits ini ada Ibnu Lahiah Saya berkata, Ini menandakan bahwa hadits tersebut tidak termasuk hadits yang pantas dijadikan hujjah, apalagi dalam matannyaada perselisihan dengan riwayat yang lebih kuat. Ada riwayat lain yang senada yaitu dikeluarkan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi dalam kitab Asmaur Ruwah an Malik seperti yang tesebut pula dalam Nailul Authar (4/156) dengan jalur Al-Husain bin Alwan dari Malik dari Az-Zuhri dari Abu Salamah dari Abu Hurairah secara marfu. Barangsiapa yang bepergian pada hari Jumat, dua malaikatnya akan mendoa semoga tidak ada yang menyertai dalam perjalanannya dan semoga hajatnya tidak terpenuhi. Saya berkata, Hadits ini dengan sanad tersebut adalah maudhu sebab Husain bin Alwan itu Taliful Hal (Keadaan/sifatnya tidak baik). Ibnu Main mengatakan dia itu pendusta,dan Ibnul Fallas mengatakan, Dia lemah sekali. Sementara Abi Hatim, An-Nasai dan Adz-Dzaruquthni mengatakan, Dia itu hadits diringgalkan. Bahkan Ibnu Hibban mengatakan, Dia itu pernah membuat hadits palsu. Adz-Dzahabi dalam Al-Mizan (1/53) mengatakan, Dan di antara riwayat yang dia palsukan atas nama Malik lalu Adz-Dzahabi menyebutkan hadits diatas. [2]. Diekeluarkan oleh Abdur Razzaq dalam Al-Mushannaf (3/250) dan Ibnu Syaibah (1/442) secara ringkas- dan Ibnul Mundzir dalam Al-Ausath (4/21) melalui jalur Al-Aswad bin Qays dari ayahnya dari Umar Radhiyallahu anhu sanad hadits ini shahih. Abdur Razaq mempunyai jalur lain lagi untuk hadits ini. Dan telah diriwayatkan pula keterangan tentang kemakruhannya dari Ibnu Umar dan Aisyah Radhiyallahu anha. Adapun hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhu dikeluarkan oleh Ibnul Mundzir (4/22) dengan lafazh. Janganlah kau pergi sehingga engkau shalat Jumat dulu, lalu engkau boleh pergi kalau engkau ingin. Sanad hadits ini lemah, di dalamnya ada Abdul Aziz bin Ubaidillah bin Hamzah Al-Himshy, dia ini haditsnya lemah dan terkadang menyalahi riwayat perawi yang lebih kuat. Dan ternyata keterangan yang pasti dari Ibnu Umar bertentangan dengan pernyataan di atas. Adapun hadits Aisyah Radhiyallahu anha dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah (1/443) dengan sanad yang shahih dari Ath-Tha dari Aisyah, dia berkata, Bila engkau berada pada malam Jumat maka janganlah engkau keluar hingga engkau sahalat Jumat dulu. Dan dari Ath-Tha pula, Ibnul Mundzir mengeluarkan hadits ini dalam Al-Ausath (4/22). Tapi hal ini bertentangan dengan pendapat kebanyakan para shahabat. Diriwayatkan dari Abi Ubaidah, keterangan yang membolehkannya hal ini disebutkan oleh Abdur Razzaq (3/250), dan perawi-perawi yang ada di sanadnya menurut mereka- adalah terpercaya 9tsiqah), hanya saja sanadnya terputus. Hadits ini diriwayatkan dari Abu Ubaidah oleh Shalih bin Kisan, dan periwayatan ini adalah mursal. Wallahu alam Orang yang berpendapat membolehkan lebih sesuai dengan dasar masalah ini, karena memang tidak ada nash shahih yang melarang hari Jumat. Wallahu alam [3]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (1/443) dengan sanad yang shahih [4]. Seperti yang dinukil Asy-Syaukani dalam Nailul Authar (4/157) dan Al-Iraqy dan ibnu Qudamah [5]. Ibnul Mundzir Rahimahullah berkata : "Keterangan yang dapat dijadikan dalil gugurnya kewajiban shalat Jum'at bagi musafir yaitu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam beberapa kali perjalanan-perjalanan beliau -sudah tentu- pernah ada yang bertetapan dengan hari Jum'at. Tetapi tidak ada keterangan yang sampai pada kami bahwa beliau melaksanakan shalat Jum'at sementara beliau dalam perjalanan. Bahkan keterangan yang pasti menunjukkan bahwa beliau melaksnakan shalat dhuhur di Padang Arafah pada saat hari Jum'at. Tindakan ini merupakan bahwa tidak ada shalat Jum'at bagi seorang musafir" [4/20] [6]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Syaibah [1/442], Ibnul Munzdir [4/20] dengan sanad yang shahih [7]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah [1/442], Ibnul Munzdir [4/19] dan Al-baihaqi dalam Al-Kubra [3/184] dengan sanad yang shahih _________________________________________________________________ Try it! Live Search: New search found. |
Re: Bolehkah Bertawassul dalam Berdoa?
From: "Ummu Hanif" <ycutt.cute@...>Wa'alaykumussalam warohmatullohi wabarokaatuhu , Tawassul itu ada 2 , yang disyareatkan ( ( At Tawassulu Al Jaaizu /yang diperbolehkan ) dan tawassul yang dilarang ( At Tawassulu Al mamnuu'u /yang dilarang ). TAWASSUL YANG DISYARI'ATKAN Allah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri KepadaNya." (Al-Maa'idah: 35) Qatadah berkata, "Dekatkanlah dirimu kepadaNya, dengan keta'atan dan amal yang membuatNya ridha." Tawassul yang disyari'atkan adalah tawassul sebagaimana yang diperintahkan oleh Al-Qur'an, diteladankan oleh Rasulullah dan dipraktekkan oleh para sahabat. Di antara tawassul yang disyari'atkan yaitu: 1. Tawassul dengan iman: Seperti yang dikisahkan Allah dalam Al-Qur'an tentang hamba-Nya yang ber-tawassul dengan iman mereka. Allah berfirman, Z "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman (yaitu), 'Berimanlah kamu kepada Tuhanmu', maka kami pun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti." (Ali Imran: 193) 2. Tawassul dengan mengesakan Allah: Seperti do'a Nabi Yunus Alaihis Salam, ketika ditelan oleh ikan Nun. Allah mengisahkan dalam firmanNya: Z "Maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap, 'Bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zhalim. Maka Kami telah memperkenankan do'anya, dan menyelamatkannya dari kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman." (Al-Anbiyaa': 87-88) 3. Tawassul dengan Nama-nama Allah: Sebagaimana tersebut dalam firmanNya, "Hanya milik Allah Asma'ul Husna, maka mohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma'ul Husna itu." (Al-A'raaf: 180) Di antara do'a Rasulullah dengan Nama-namaNya yaitu: - "Aku memohon KepadaMu dengan segala nama yang Engkau miliki." (HR. At-Tirmidzi, hadits hasan shahih) 4. Tawassul dengan Sifat-sifat Allah: Sebagaimana do'a Rasulullah , - "Wahai Dzat Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhlukNya), dengan rahmatMu aku mohon pertolongan." (HR. At-Tirmidzi, hadits hasan) 5. Tawassul dengan amal shalih: Seperti shalat, berbakti kepada kedua orang tua, menjaga hak dan amanah, bersedekah, dzikir, membaca Al-Qur'an, shalawat atas Nabi , kecintaan kita kepada beliau dan kepada para sahabatnya, serta amal shalih lainnya. Dalam kitab Shahih Muslim terdapat riwayat yang mengisahkan tiga orang yang terperangkap di dalam gua. Lalu masing-masing bertawassul dengan amal shalihnya. Orang pertama ber-tawassul dengan amal shalihnya, berupa memelihara hak buruh. Orang kedua dengan baktinya kepada kedua orang tua. Orang yang ketiga bertawassul dengan takutnya kepada Allah, sehingga menggagalkan perbuatan keji yang hendak ia lakukan. Akhirnya Allah membukakan pintu gua itu dari batu besar yang menghalanginya, sampai mereka semua selamat. 6. Tawassul dengan meninggalkan maksiat: Misalnya dengan meninggalkan minum khamr (minum-minuman keras), berzina dan sebagainya dari berbagai hal yang diharamkan. Salah seorang dari mereka yang terperangkap dalam gua, juga bertawassul dengan meninggalkan zina, sehingga Allah menghilangkan kesulitan yang dihadapinya. Adapun umat Islam sekarang, mereka meninggalkan amal shalih dan bertawassul dengannya, lalu menyandarkan diri bertawassul dengan amal shalih orang lain yang telah mati. Mereka melanggar petunjuk Rasulullah dan para sahabatnya. 7. Tawassul dengan memohon do'a kepada para nabi dan orang-orang shalih yang masih hidup dan hadir. Tersebutlah dalam riwayat, bahwa seorang buta datang kepada Nabi . Orang itu berkata, "Ya Rasulullah, berdo'alah kepada Allah, agar Dia menyembuhkanku (sehingga bisa melihat kembali)." Rasulullah menjawab, "Jika engkau menghendaki, aku akan berdo'a untukmu, dan jika engkau menghendaki, bersabar adalah lebih baik bagimu." Ia (tetap) berkata, "Do'akanlah." Lalu Rasulullah menyuruhnya berwudhu secara sempurna, lalu shalat dua rakaat, selanjutnya beliau menyuruhnya berdo'a dengan mengatakan, "Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepadaMu, dan aku menghadap kepadaMu dengan (perantara) NabiMu, seorang Nabi yang membawa rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap dengan (perantara)mu kepada Tuhanku dalam hajatku ini, agar dipenuhiNya untukku. Ya Allah jadikanlah ia pemberi syafa'at kepadaku, dan berilah aku syafa'at (pertolongan) di dalamnya." la berkata, "Laki-laki itu kemudian melakukannya, sehingga ia sembuh." (HR. Ahmad, hadits shahih) Hadits di atas mengandung pengertian bahwa Rasulullah berdo'a untuk laki-laki buta tersebut dalam keadaan beliau masih hidup. Maka Allah mengabulkan do'anya. Rasulullah memerintahkan orang tersebut agar berdo'a untuk dirinya. Menghadap kepada Allah untuk meminta kepadaNya agar Dia menerima syafa'at NabiNya . Maka Allah pun menerima do'anya. Do'a ini khusus ketika Nabi masih hidup. Dan tidak mungkin berdo'a dengannya setelah beliau wafat. Sebab para sahabat tidak melakukan hal itu. Juga, orang-orang buta lainnya tidak ada yang mendapatkan manfa'at dengan do'a itu, setelah terjadinya peristiwa tersebut. TAWASSUL YANG DILARANG Tawassul yang dilarang adalah tawassul yang tidak ada dasarnya dalam agama Islam. Di antara tawassul yang dilarang yaitu: 1. Tawassul dengan orang-orang mati, meminta hajat dan memohon pertolongan kepada mereka, sebagaimana banyak kita saksikan pada saat ini. Mereka menamakan perbuatan tersebut sebagai tawassul, padahal sebenarnya tidak demikian. Sebab tawassul adalah memohon kepada Allah dengan perantara yang disyari'atkan. Seperti dengan perantara iman, amal shalih, Asmaa'ul Husnaa dan sebagainya. Berdo'a dan memohon kepada orang-orang mati adalah berpaling dari Allah. Ia termasuk syirik besar. Allah berfirman, "Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfa'at dan tidak (pula) memberi madharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim". (Yunus: 106) Orang-orang zhalim dalam ayat di atas berarti orang-orang musyrik. 2. Tawassul dengan kemuliaan Rasulullah . Seperti ucapan mereka, "Wahai Tuhanku, dengan kemuliaan Muhammad, sembuhkanlah aku." Ini adalah perbuatan bid'ah. Sebab para sahabat tidak melakukan hal tersebut. Adapun tawassul yang dilakukan oleh Umar bin Khaththab dengan do'a paman Rasulullah , Al-Abbas adalah semasa ia masih hidup. Dan Umar tidak bertawassul dengan Rasulullah setelah beliau wafat. Sedangkan hadits, - "Bertawassullah kalian dengan kemuliaanku." Hadits tersebut sama sekali tidak ada sumber aslinya. Demikian menurut Ibnu Taimiyah. Tawassul bid'ah ini bisa menyebabkan pada kemusyrikan. Yaitu jika ia mempercayai bahwa Allah membutuhkan perantara. Sebagaimana seorang pemimpin atau penguasa. Sebab dengan demikian ia menyamakan Tuhan dengan makhlukNya. Abu Hanifah berkata, "Aku benci memohon kepada Allah, dengan selain Allah." Demikian seperti disebutkan dalam kitab Ad-Durrul Mukhtaar. 3. Meminta agar Rasulullah mendo'akan dirinya setelah beliau wafat, seperti ucapan mereka, "Ya Rasulullah do'akanlah aku", ini tidak diperbolehkan. Sebab para sahabat tidak pernah melakukannya. Juga karena Rasulullah bersabda, "Jika seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang mendo'akan kepada (orang tua)-nya." (HR. Muslim) Dikutip dari buku : Jalan Golongan yang selamat Oleh Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu Hafidzahullah . Allahu ta'ala a'lam bish showab. |
Re: [assunah]>>Tanya : Di mana tempat qurban yang lebih baik?<<
From:"Nuryanto, Arief" <Arief.Nuryanto@...>Alhamdulillah.., Dengan disunnahkannya menyembelih sendiri dan disunnahkannya ikut makan daging dari hewan kurban dan menghadiahkan serta menyedekahkanya. Maka kurban dilakukan di tempat kita berada (di derahnya). Akan tetapi, apabila ada hajat dan manfaat yang lebih besar untuk dikirim misalnya ke negeri yang sedang mengalami kelaparan atau tertimpa bencana- maka diperbolehkan. Sedangkan amalan sebagian kaum muslimin yang mewajibkan pengumpulan kurban mereka dari jauh ke satu tempat tertentu atau lembaga tertentu dengan meninggalkan daerahnya yang membutuhkan kurban tersebut, maka yang seperti ini tidak ada dasarnya dalam syariat. Lengkapnya saya ringkaskan dari almanhaj, semoga bermanfaat. Wallahu 'alam KESEPULUH Disunnahkan seorang muslim untuk bersentuhan langsung dengan hewan kurbannya (menyembelihnya sendiri) dan dibolehkan serta tidak ada dosa baginya untuk mewakilkan pada orang lain dalam menyembelih hewan kurbannya. [16] KESEBELAS Disunnahkan bagi keluarga yang menyembelih kurban untuk ikut makan dari hewan kurban tersebut dan menghadiahkannya serta bersedekah dengannya. Boleh bagi mereka untuk menyimpan daging kurban tersebut, berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. "Artinya : Makanlah kalian, simpanlah dan bersedekahlah" [17] __________ Foote Note [16]. Aku tidak mengetahui adanya perselisihan dalam permasalahan ini di antara ulama, lihat point ke 13. [17]. Diriwayatkan oleh Bukhari (5569), Muslim (1971) Abu Daud (2812) dan selain mereka dari Aisyah radhiyallahu 'anha. Adapun riwayat larangan untuk menyimpan daging kurban masukh (dihapus), lihat 'Fathul Bari' (10/25-26) dan "All'tibar" (120-122). Lihat Al-Mughni HUKUM MENGIRIM KURBAN KE LUAR NEGERI Oleh Ustadz Kholid Syamhudi Lc Pengertian Mengirim Kurban Ke Luar Negeri Maksudnya adalah seorang mengirimkan sejumlah uang ke suatu negeri langsung atau melalui yayasan sosial atau organisasi atau yang sejenisnya, lalu yayasan itu bekerja sama dengan yayasan atau perorangan di negeri yang dituju untuk membelikan hewan kurban sekaligus menyembelihnya dan membagi-bagikannya kepada kaum muslimin di negeri yang dituju. Hukumnya [1] Para ulama berselisih tentang hukum mengirim kurban ini ; sebagian mereka membolehkan sebagiannya tidak membolehkan[2]. Pendapat yang rajah, ialah pendapat yang membolehkan berdalil dengan keabsahan wakalah (perwakilan) dalam kurban sebagaimana dalam hadits-hadits berikut. [1]. Hadits Ali bin Abi Thalib, beliau berkata. Artinya Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan aku untuk menyedekahi jilal dan kulit unta yang telah aku sembelih [Diriwayatkan Al-Bukhari No. 1.592] [2]. Hadits Jabir bin Abdillah, belaiu berkata : Artinya :Aku menyaksikan bersama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam shalat Idul Adha di mushalla (tanah lapang). Ketika selesai khutbahnya, Beliau turun dari mimbarnya, lalu dibawakan seekor kambiang dan Rasulullah menyembelihnya dengan tanganntya langsung dan berkata : Bismillah wa Allahu Akbar, hadza anni wa amman lam yudhahi min ummati (Bismillah Allahu Akbar, ini dariku dan dari umatku yang belum menyembelih), [3] [3]. Hadits Urwah bin Abi Al-Jad Al-Bariqi, beliau berkata. Artinya : Sesungguhnya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam memberinya satu dinar untuk membeli seekor kambing, lalu ia membeli untuk Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dua kambing dengan uang tersebut. Maka ia jual seekor dengan harga satu dinar dan membawa satu ekor kambing dan satu dinar kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Lalu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mendoakannya dengan barokah : Dia (urwah ini), seandainya membeli debu tentu akan untung juga Sufyan berkata : Membeli seekor kambing untuk Nabi, nampaknya untuk kurban [4] [4]. Hadits Ali bin Abi Thalib, beliau berkata. Artinya : Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan aku untuk mengurus hewan kurbannya dan untuk menyedekahkan daging, kulit dan jilalnya dan sedikitpun tidak mengambil darinya untuk diberikan (sebagai upah) jagalnya (orang yang memotongnya) untuk tidak memberi orang-orang memotongnya (jagalnya) sedikitpun darinya. Rasulullah berkata : Kami yang memberinya dari harta kami {Muttafaq Alaih] Hadits-hadits yang tersebut di atas, semua menunjukkan sahnya wakalah dalam kurban. Dan wakalah diperbolehkan, sekaipun kepada orang yang jauh. Wallahu alam. [5]. Hadits Amrah, beliau berkata : Sesungguhnya Ibnu Ziyad menulis surat kepada Aisyah, bahwa Abdullah bin Abbas berpendapat, orang yang memberikan hadyu diharamkan padanya apa yang diharamkan bagi orang yang haji sampai menyembelih hadyunya, dan saya telah mengirim hadyu saya. Maka saya mohon kepada Anda (Aisyah) untuk menulis untuk saya pendapat Anda tentang hal ini. Amrah berkata : Aisyah telah berkata, Tidak seperti yang disampaikan Ibnu Abbas. Saya telah melepas qalaid hadyu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dengan tangan saya, kemudian Rasulullah menandainya dengan tangannya, kemudian mengirimnya bersama bapakku (Abu Bakr), lalu tidak diharamkan kepada Rasulullah sesuatu yang Allah halalkan baginya sampai disembelih hadyunya [Hadits Riwayat Muslim] Sudah dimaklumi, ketika mengirim hadyu tersebut bersama Abu Bakr, saat itu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam sedang berada di Madinah sebagaimana disebutkan dalam sebagian lafazh hadits. Wallahu alam. Pendapat inilah yang dirajihkan Syaikh Salim bin Id Al-Hilali [5] dan Prof Dr Abdullah bin Muhammad Ath-Thayar [6]. Namun, pada asalnya kurban itu disembelih oleh orang yang berkurban di daerahnya. Akan tetapi, apabila ada hajat dan manfaat yang lebih besar untuk dikirim misalnya ke negeri yang sedang mengalami kelaparan atau tertimpa bencana- maka diperbolehkan. Sedangkan amalan sebagian kaum muslimin yang mewajibkan pengumpulan kurban mereka dari jauh ke satu tempat tertentu atau lembaga tertentu dengan meninggalkan daerahnya yang membutuhkan kurban tersebut, maka yang seperti ini tidak ada dasarnya dalam syariat. Demikian pembahasan ini, mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu alam [Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun VIII/1425H/2004M, Penulis Ustadz Kholid Syamhudi Lc. Penerbit Yayasan Lajnah istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo] __________ Foote Note [1]. Permasalahan ini diangkat dari makalah Abu Bakar Al-Baghdadi, Juzun Fil Adh-hiyah Wa Hukmi Ikhrajiha An Baladi Al-Mudhahi, Majalah Al-Himah, tanpa edisi, halaman 50-55 dan risalah Prof Dr Abdullah bin Muhammad Ath-Thayar, Ahkam Al-Idain Wa Asyara Dzil Hijjah, Cetakan Pertama, Tahun 1413H, Dar Al-Ashimah, Riyadh, halaman 88 dengan sedikit perubahan dan tambahan dari penulis. [2]. Lihat Ahkam Al-Idain Wa Asyara Dzil Hijjah, halaman. 88 [3] Syaikh Al-Albani berkata : Hadits shahih diriwayatkan Abu Dawud (2810) dan At-Tirmidzi (1/287). Lihat Irwa Al-Ghalil (4/349), No. 1.138 [4]. Diriwayatkan Al-Buakhri No 3.320 [5]. Wawancara Penulis dengan beliau pada hari selasa 7 Desember 2004M di Institut Teknologi Surabaya (ITS) [6]. Ahkam Al-Idain Wa Asyara Dzil Hijjah, op.cit. halaman. 88 _________________________________________________________________ Windows Live Spaces is here! Its easy to create your own personal Web site. |
Re: Tanya : Obat beralkohol
Waalaikum salaam
ada pendapat ulama yang menyatakan bahwa sesuatu yang haram boleh dihalalkan jika memang kondisinya darurot dan mendesak. dalam kasus antum ini kondisinya tidak mendesak dan darurot sebab tanpa minum obh antum tidak akan meninggal bukan? jadi alkohol yang ada jelas haramnya dan jangan antum konsumsi lagi obh semacam itu. lebih baik antum minum obat batuk yang alcohol free yang sudah ada di pasaran meskipun agak mahal atau antum tawakal saja dan berobat dengan pengobatan herbal seperti madu dan habatus sauda walau efeknya mungkin agak lama tapi ini lebih mencocoki sunnah dan bebas dari syubhat. "Salim" <salim@...> 11/28/2007 10:52 AM Assalamualaikum Saya minta tolong dijelaskan tentang hukum meminum obat (OBH misalnya) yang mengandung alkohol atau methanol? Saya sering sekali membeli OBH yang ternyata ada kandungan Alkohol-nya. Salim |
Re: >>Tanya : Kurban Satu Kambing untuk satu Keluarga?<<
From:"Bayu" <bapra_z@...>Alhamdulillah.., Untuk menjawab pertanyaan diatas, saya ringkaskan dari almanhaj. KURBAN SAH UNTUK BERAPA ORANG ? Satu kurban berupa kambing cukup untuk seorang dari ahli baitnya (keluarganya) dan kaum muslimin yang ia kehendaki, baik masih hidup ataupun sudah wafat. Telah diriwayatkan bahwa ketika Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menyembelih kurbannya, beliau berkata : Artinya : Ya Allah, terimalah dari Muhammad, keluarda Muhammad dan umat Muhammad Sepertujuh untuk unta atau sapi mencukupi dari orang yang cukup untuk satu kambing. Seandainya seorang muslim menyembelih sepertujuh unta atau sapi untuknya dan keluarganya, maka itu adalah sah, dan seandainya untuk tujuh orang brserikat menyembelih kurban atau hadyu, satu unta atau satu sapi, maka itupun sah. ORANG YANG DISYARIATKAN BERKURBAN Pada asalnya kurban itu disyariatkan untuk oang yang masih hidup, berdasarkan riwayat yang mengatakan bahwa beliau telah menyembelih hewan kurban untuk diri dan kelaurganya. Adapun perbuatan sebagian orang yang mendahulukan kurban untuk mayit atas diri dan keluarganya sebagai shadaqah dari mereka, maka amalan ini tidak mempunyai dasar menurut apa yang kami ketahui. Namun, seandainya ia berkurban untuk diri dan keluarganya lalu memasukkan orang-orang yang telah meninggal dunia bersama mereka atau menyembelih kurban untuk mayit secara sendirian sebagai shadaqah darinya, maka hal itu tidak mengapa dan ia mendapat pahala, insya Allah Adapun kurban untuk orang yang telah meninggal dunia yang merupakan wasiat (orang yang mati) kepadanya, maka ini wajib dilaksanakan, walaupun ia belum berkurban untuk dirinya sendiri, karena ia diperintahkan untuk melaksanakan wasiat tersebut [2]. KURBAN DILAKUKAN PALING SEDIKIT SEEKOR KAMBING Berdasarkan hadits yang terdahulu. Al-Mahally berkata :"onta dan sapi cukup untuk tujuh orang. Sedangkan seekor kambing mencukupi untuk satu orang. Tapi apabila mempunyai keluarga, maka (dengan seekor kambing itu) mencukupi untuk keseluruhan mereka. Demikian pula dikatakan bagi setiap orang diantara tujuh orang yang ikut serta dalam penyembelihan onta dan sapi. Jadi berkurban hukumnya sunnah kifayah (sudah mencukupi keseluruhan dengan satu kurban) bagi setiap keluarga, dan sunnah 'ain (setiap orang) bagi yang tidak memiliki rumah (keluarga). Menurut (ulama) Hanafiah, seekor kambing tidak mencukupi melainkan untuk seorang saja. Sedangkan sapi dan onta tidak mencukupi melainkan untuk tiap tujuh orang. Mereka tidak membedakan antara yang berkeluarga dan tidak. Menurut mereka berdasarkan penakwilan hadits itu maka berkurban tidaklah wajib kecuali atas orang-orang yang kaya. Dan tidaklah orang tersebut dianggap kaya menurut keumuman di zaman itu kecuali orang yang memiliki rumah. Dan dinisbatkannya kurban tersebut kepada keluarganya dengan maksud bahwa mereka membantunya dalam berkurban dan mereka memakan dagingnya serta mengambil manfa'atnya.[14] Dan dibenarkan mengikutsertakan tujuh orang pada satu onta atau sapi, meskipun mereka adalah dari keluarga yang berbeda-beda. Ini merupakan pedapat para ulama. Dan mereka mengqiyaskan kurban tersebut dengan al-hadyu. [15] Dan tidak ada kurban untuk janin (belum lahir). Ini adalah perkataan ulama. [16] KETUJUH Termasuk petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa satu kambing mencukupi sebagai kurban dari seorang pria dan seluruh keluarganya walaupun jumlah mereka banyak. Sebagaimana yang dikatakan oleh Atha' bin Yasar [12] : Aku bertanya kepada Abu Ayyub Al-Anshari : "Bagaimana hewan-hewan kurban pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ?" Ia menjawab : "Jika seorang pria berkurban dengan satu kambing darinya dan dari keluarganya, maka hendaklah mereka memakannya dan memberi makan yang lain" [13] _________________________________________________________________ Check it out! Windows Live Spaces is here! Its easy to create your own personal Web site. |
Re: >>Bolehkah Bertawassul dalam Berdoa?<<
On Nov 28, 2007 6:54 AM, Ummu Hanif <ycutt.cute@...> wrote:
Assalamuaalaikum,Wa'alaykumus salaam warahmatullah, Bolehkah Bertawassul dalam Berdoa?Ada beberapa jenis tawassul sehingga perlu diperjelas tawassul yang dimaksud. Jenis-jenis tawassul yang disyari'atkan adalah: 1. bertawassul dengan Asmaa-ul Husna (lihat QS. 7:180). 2. bertawassul dengan amal shalih sebagaimana dalam hadits orang-orang yang terperangkap di dalam gua. 3. bertawassul dengan meminta seseorang yang shalih dan masih hidup untuk berdoa baginya sebagaimana para shahabat meminta Rasulullah Shallallahu 'alayhi wa Sallam untuk berdoa bagi mereka dan Amirul Mu-minin 'Umar bin al-Khaththab radhiyallahu 'anhu kepada al-'Abbas bin 'Abdil Muththalib radhiyallahu 'anhu untuk meminta hujan kepada Allah Ta'ala (lihat: ) Syaikh al-Albani rahimahullah memiliki kitab yang membahas masalah tawassul secara luas. -- Ahmad Ridha bin Zainal Arifin bin Muhammad Hamim (l. 1400 H/1980 M) TAWASUL DENGAN PERANTARA PARA NABI DAN ORANG-ORANG SHALIH Oleh Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta Pertanyaan. Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Bolehkan seorang muslim bertawasul kepada Allah dengan (perantara) para nabi dan orang-orang shalih ? Saya telah mendengar pendapat sebagian ulama bahwa bertawasul dengan (perantaraan) para wali tidak apa-apa karena do'a (ketika) bertawassul itu sebenarnya ditujukkan kepada Allah. Akan tetapi, saya mendengar ulama yang lain justru berpendapat sebaliknya. Apa sesungguhnya hukum syariat dalam permasalahan ini ? Jawaban Wali Allah adalah siapa saja yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Taala dan bertaqwa kepadaNya dengan mengerjakan segala yang diperintahkan oleh Nya Subhanahu wa Ta'ala dan meninggalkan segala yang dilarangNya. Pemimpin mereka adalah para nabi dan rasul 'alaihimus salam. Allah berfirman. "Artinya : Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa". [Yunus : 62-63] Tawassul kepada Allah dengan (perantaraan) para waliNya ada beberapa macam. Pertama. Seseorang memohon kepada wali yang masih hidup agar mendoakannya supaya mendapatkan kelapangan rezeki, kesembuhan dari penyakit, hidayah dan taufiq, atau (permintaan-permintaan) lainnya. Tawassul yang seperti ini dibolehkan. Termasuk dalam tawassul ini adalah permintaan sebagian sahabat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam agar beristsiqa (meminta hujan) ketika hujan lama tidak turun kepada mereka. Akhirnya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memohon kepada Allah agar menurunkan hujan, dan Allah mengabulkan doa beliau itu dengan menurunkan hujan kepada mereka. Begitu pula, ketika para sahabat Radhiyallahu 'anhum beristisqa dengan perantaraan Abbas Radhiyallahu 'anhu pada masa kekhalifahan Umar Radhiyallahu 'anhu. Mereka meminta kepadanya agar berdoa kepada Allah supaya menurunkan hujan. Abbas pun lalu berdoa kepada Allah dan diamini oleh para sahabat Radhiyallahu 'anhum yang lain. Dan kisah-kisah lainnya yang terjadi pada masa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan setelahnya berupa permintaan seorang muslim kepada saudaranya sesame muslim agar berdoa kepada Allah untuknya supaya mendatangkan manfaat atau menghilangkan bahaya. Kedua. Seseorang menyeru Allah bertawassul kepadaNya dengan (perantaraan) rasa cinta dan ketaatannya kepada nabiNya, dan dengan rasa cintanya kepada para wali Allah dengan berkata, 'Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepadaMu agar Engkau memberiku ini (menyebutkan hajatnya)'. Tawassul yang seperti ini boleh karena merupakan tawassul dari seorang hamba kepada rabbnya dengan (perantaraan) amal-amal shalihnya. Termasuk tawassul jenis ini adalah kisah yang shahih tentang tawassul tiga orang, yang terjebak dalam sebuah goa, dengan amal-amal shalih mereka. [Hadits Riwayat Imam Ahmad II/116. Bukhari III/51,69. IV/147. VII/69. dan Muslim dengan Syarah Nawawi XVII/55] Ketiga. Seseorang meminta kepada Allah dengan (perantaraan) kedudukan para nabi atau kedudukan seorang wali dari wali-wali Allah dengan berkata -misalnya- 'Ya Allah, sesunguhnya aku meminta kepadaMu dengan kedudukan nabiMu atau dengan kedudukan Husain'. Tawassul yang seperti ini tidak boleh karena kedudukan wali-wali Allah dan lebih khusus lagai kekasih kita Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, sekalipun agung di sisi Allah, bukanlah sebab yang disyariatkan dan bukan pula suatu yang lumrah bagi terkabulnya sebuah doa. Karena itulah ketika mengalami musim kemarau, para sahabat Radhiayallahu 'anhum berpaling dari tawassul dengan kedudukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika berdoa meminat hujan dan lebih memilih ber-tawassul dengan doa paman beliau, Abbas Radhiyallahu 'anhu, padahal kedudukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berada diatas kedudukan orang selain beliau. Demikian pula, tidak diketahui bahwa para sahabat Radhiyallahu 'anhum ada yang ber-tawassul dengan (perantraan) Nabi setelah beliau wafat, sementara mereka adalah generasi yang paling baik, manusia yang paling mengetahui hak-hak Nabi Shallalalhu 'alaihi wa sallam, dan yang paling cinta kepada beliau. Keempat. Seorang hamba meminta hajatnya kepada Allah dengan bersumpah (atas nama) wali atau nabiNya atau dengan hak nabi atau wali dengan mengatakan, 'Ya Allah, sesungguhnya aku meminta ini (menyebutkan hajatnya) dengan (perantaraan) waliMu si-Fulan atau dengan hak nabiMu Fulan', maka yang seperti ini tidak boleh. Sesungguhnya bersumpah dengan makhluk terhadap makhluk adalah terlarang, dan yang demikian terhadap Allah Sang Khaliq adalah lebih keras lagi larangannya. Tidak ada hak bagi makhluk terhadap Sang Khaliq (pencipta) hanya semata-mata karena ketaatannya kepadaNya Subahanhu wa Ta'ala sehingga dengan itu dia boleh bersumpah dengan para nabi dan wali kepada Allah atau ber-tawassul dengan mereka. Inilah yang ditampakkan oleh dalil-dalil, dan dengannya aqidah Islamiyah terjaga dan pintu-pintu kesyirikan tertutup. [Fatawa Li Al- Lajnah Ad-Da'imah 1/498-500, Pertanyaan ke-2 dari Fatwa no. 1328 Di susun oleh Syaikh Ahmad Abdurrazzak Ad-Duwaisy, Darul Asimah Riyadh. Di salin ulang dari Majalah Fatawa edisi 3/I/Dzulqa'dah 1423H] |
Re: tanya : Biografi Imam Al-Barbahaari
anang dwicahyo
Imam Al- Barbahari rahimahullah-
Sang Pembasmi Bidah dan Ahlul Bidah Oleh Ustadz Muhammad Ali Ishmah Al-Medani Keras, tegas, tidak kompromi dengan bidah dan ahlul bidah, serta kokoh membela sunnah. Itulah Imam al-Barbahari, profil kita di edisi kali ini. Mari kita mengenalnya lebih dekat. Nama, Kunyah dan Nasabnya Beliau adalah seorang imam, panutan, mujahid, syaikh dari madzhab Hanbali dan tokoh mereka di masanya. Kunyah beliau adalah Abu Muhammad, sedangkan nama beliau adalah al-Hasan bin Ali bun Khalaf dan nisbah beliau adalah Al-Barbahari. Nisbah ini diambil dari kata barbahar yang artinya perkakas yang dibawa dari Hindia. Tempat Lahir dan Perkembangan Beliau Sumber-sumber data yang ada pada kami tidak menyebutkan sedikitpun tentang kelahiran dan perkembangannya. Akan tetapi, kita ketahui bahwa beliau lahir di Baghdad dan tumbuh di sana. Beliau memiliki pengaruh dan terkenal di sana, di kalangan orang awam, terlebih legi di kalangan khusus mereka. Al-Barbahari bergaul dengan sahabat-sahabat Imam Ahlus Sunnah wal Jamaah lainnya, Imam ahmad bin Hanbal rahimahullah. Beliau juga mengambil ilmu dari mereka. Dan karena mayoritas orang-orang Baghdad berpaham sunni, maka hal tersebut pun berpengaruh kepada beliau. Guru-Guru dan Perjalanan Beliau Menuntut Ilmu Sumber yang ada menceritakan bahwa beliau adalah orang yang sangat antusias dalam menuntut ilmu. Kebanyakan beliau mengambil ilmu dari murid-murid senior Imam Ahmad bin Hanbal. Akan tetapi tidak mendapatkan keterangan siapa saja yang menjadi guru beliau, kecuali dua orang saja, yaitu: hmad bin Muhammad bin Al-Hajjaj bin Abdul Aziz Abu Bakr Al-Marwazi. Beliau seorang Imam, faqih dan muhaddits yang tinggal di Baghdad dan juga pengikut Imam Anmad. Beliau wafat sekitar Jumadil Ila tahun 275 H. Sahl bin Abdillah bin Yunus At-Tustari Abu Ahmad. Beliau adalah seorang imam, abid (ahli ibadah) dan zahid (ahli zuhud). Beliau memiliki petuah-petuah, nasihat-nasihat, dan karamah-karamah. Belay wafat di bulah Muharram tahun 283 H dengan usia kurang lebih 80 tahun. Kedudukan Intelektual dan Pujian Ulama Terhadap Beliau Belaiu adalah seorang imam yang berwibawa dan selalu berkata benar. Beliau adalah dai sunnah dan mengikuti atsar, memiliki pengaruh dan kehormatan di sisi sultan. Majelis beliau dipenuhi dengan halaqah-halaqah hadits, atsar dan fiqih. Dihadiri mayoritas ulama hadits dan fiqih. Abu Abdillah Al-Faqih menyatakan: Bila engkau mendapati seorang penduduk Baghdad mencintai Abul Hasan bin Basyar dab Abu Muhammad Al-Barbahari, ketahuilah dia adalah Ahlus Sunnah. Imam Adz-Dzahabi dalam Al-Ibar dan As-Siyar menyatakan: Beliau adalah seorang yang faqih dan seorang syaikh dari madzhab Hanbali di Irak. Ucapan dan keadaan beliau memiliki pengaruh yang besar, kemuliaan yang sempurna, mengajak kepada atsar, tidak merasa takut cercaan orang yang mengolok dalam membela agama Allah Ibnul Jauzi menyatakan, Beliau memliki ilmu yang banyak, zuhudkeras terhadap ahlul bidah. Ibnu Katsir menyatakan, Beliau adalah seorang yang alim lagi zuhud, ahli fiqih madzhab hanbali, pemberi nasihatBeliau keras terhadap ahlul bidah dan maksiat, memiliki pengaruh yang besar, dia dimuliakan oleh orang-orang khusus dan awam. Zuhud dan Waranya Abu Hasan bin Basyar menyatakan: Beliau meninggalkan warisan ayahnya sebanyak 70.000 dirham kerena waranya. Kata Ibnu Abi Ali, Barbahari memiliki banyak mujahadah (kesungguhan) dan kedudukan dalam agama. Sikap Beliau Terhadap Ahli Bidah Beliau keras dan tegas terhadap ahlul bidah. Menyerang mereka dengan tangan dan lisan. Dalam seluruh hal ini, beliau mengikuti dan menempuh jalan para Imam Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam menyikapi ahlul bidah. Beliau sangat antusias untuk menjaga kemurnian agama ini dan menjauhi seluruh bidah yang menempel padanya.seperti bidah Jahmiyah, Mutazilah (rasionalis), Asyariyah, Sufiyah, Syiah, Rafidhah, dan lain-lain. Hal ni diungkapkan dalam karyanya seperti berikut: Jauhilah olehmu bidah-bidah yang kecil, karena nantinya akan menjadi besar. Dalam Syarhus Sunnah beliau mengatakan: Ketahuilah, bahwa keluar dari jalan lurus ada dua bentuk. Pertama, seseorang tergelincir dari jalan ini sedangkan dia tidak mengingkan kecuali kebaikan. Maka jangan diikuti kekeliruannya. Kedua, seorang yang menentang kebenaran dan menentang orang-orang dahulu (salaf), orang tersebut sesat dan menyesatkan Jika engkau mendengar seseorang menyerang atsar dan tidak mau menerimanya, atau mengingkari sedikit saja hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka ragukanlah keislamannya karena jelek pendapat dan madzhabnya Ketahuilah, tidaklah sebuah bidah datang sama sekali- kecuali karena keinginan, kehinaan, dan mengikuti teriakan orang yang berteriak Perhatikanlah ucapan beliau ketika menyifati ahlul bidah: Permisalan ahlul bidah seperti kalajengking. Dia menyembunyikan kepalanya dan tubuhnya di dalam tanah dan mengeluarkan ekornya. Bila mereka sudah kokoh beru menyengat. Begitulah ahlul bidah. Mereka bersembunyi di antara manusia. Bila telah kokoh, beru mereka mempropagandakan apa yang mereka inginkan. Sikap keras beliau terhadap mereka karena semangat beliau terhadap sunnah. Murid-Murid Beliau Banyak orang yang menuntut ilmu dan mengambil faidah dari beliau, diantaranya: Seorang imam, panutan dan ahli fiqih, Abu Abdillah bin Ubaidillah bin Muhammad al-Ukbari, yang dikenal dengan dengan nama Ibnu Baththah. Wafat pada bulan Muharram tahun 387 H (Al-Ibar 2/171 dan As-Siyar 16/529) Seorang imam, panutan, yang berbicara dengan hikmah, Muhammad bin Ahmad bin Ismail al-Baghdadi Abul Husain bin Samun, seorang pemberi nasihat, benyak memiliki keistimewaan yang mengagumkan. Wafat pada pertengahan Dzulqadah 387 H. Ahmad bin Kamil bin Khalaf bin Syarah bin Abu Bakr. Muhammad bin Muhammad bin Utsman Abu Bakr. Dan lain-lain. Petikan dari Ucapan Beliau dan Syairnya Ibnu Baththah berkata: Aku pernah mendengar Al-barbahari berkata: Bermajelis untuk saling memberi nasihat berarti membuka pintu faidah, dan bermajlis untuk berdebat berarti berarti menutup pintu faidah. Syair beliau: Barangsiapa yang jiwanya merasa puas dengan bekalnya. dia merasa cukup dan menjadi muttabi alangkah indahnya sikap qanaah berapa banyak yang rendah menjadi tinggi jiwa seseorang akan menjadi sempit bila kehilangan bekalnya. Kalau dia bersabar dengan Rabb-nya, niscaya menjadi lapang. Di antara karya beliau yang terkenal adalah Syarhus Sunnah. Ujian yang Menimpa Beliau dan Wafatnya Beliau memiliki pengaruh dan wibawa di kalangan masyarakat umum khusus memiliki pengaruh yang besar di sisi penguasa. Tapi, ahlul bidah terus menerus memusuhi beliau. Mereka berhimpun mempengaruhi sultan dan membakarnya. Hingga khalifah Al-Qahir memerintahkan seorang menterinya, Ibnu Muqilah di tahun 321 H. untuk menangkap beliau dan teman-temannya. Al-Barbahari bersembunyi, sedangkan rekan-rekannya yang senior ditangkap. Mereka digiring menuju Bashrah. Kemudian, Allah menghukum Ibnu Muqilah dengan menjadikan khalifah Al-Qahir balik membencinya. Dia melarikan diri dan jabatannya dicopot oleh Al-Qahir dan rumahnya dibakar. Akhirnya Al-Barnahari kembali kepada keluarganya. Akan tetapi, ahlul bidah terus-menerus menghasut khalifah Ar-Radli hingga diumumkan di Baghdad bahwa semua sahahabat Imam Al-Barbahari dilarang berkumpul, walaupun hanya dua orang. Kemudian, beliau bersembunyi dan wafat dalam keadaan bersembunyi di bulan Rajab tahun 328 H. atau tahun 329 H. menurut penjelasan di Thabaqat Al-Hanabilah 2/44. beliau dikubur di rumah saudara perempuan Tuzun. Ketika beliau dikafankan dan bersama jenasah baliau ada seorang pembantu, dia menshalati beliau sendiri. Saudara perempuan Tuzun tadi melihat dari lubang kamar bahwa di rumah itu penuh dengan orang-orang yang berpakaian putih menshalati beliau. Dia menjadi takut dan mencari si pembantu kemudian dia menceritakan apa yang dilihatnya. Pembantu itupun bersumpah bahwa dia tidak membuka pintu. Pernikahan Beliau Sejarah menyebutkan bahwa di akhir umurnya, beliau menikah dengan seorang budak. Seorang Allah merahmat beliau, sebagai seorang imam, panutan, sunni dan pedang yang terus terhunus terhadap ahlul bidah dan orang zindiq. Sumber Riwayat Beliau Thabaqat Al-Hanabilah, Ibnu Abi Yala 2/18-45. Al-Muntadhan, Ibnu Jauzi 14/14-15. Al-Kamil fit-Tarikh, Ibnul Atsir 8/278. Al-Ibar fi Khabariman Ghabar, Adz-Dzahabi 2/33. As-Siyar, Adz-Dzahabi 15/90-95. Tarikhul Islam, Adz-Dzahabi hal.258-260. Al-Bidayah, Ibnu Katsir 11/213-214. Al-Wafi, Ash-Shafadi 12/146-147. Miratul Jinan, Al-Yafii 2/286-287. Syadzarat Adz-Dzahab, Ibnul Maad 2/319-323. Al-Minhal Ahmad, Ulaimi 2/26-39. Al-Manaqibul Imam Ahmad, Ibnul Jauzi, hal 512-513. Al-Maqshadul Arsyad, Ibnu Muflih 1/228-230. Jamiul Jayasy, Yusuf Abdul Hadi 4/8113. Al-Alam, Az-Zarkali 2/201. Mujamul Muallifin, Ridha Kahalah 3/253. Tarikh Turats Arabi, Sazkin 1/3/234-235. Maraji: Syarhus Sunnah hal. 13-12. Siyar Alamin Nubala 15/90-95. Al-Ansab, As-Samani 1/307-308. (Disalin dari Majalah Salafy, Edisi XVIII/ SHAFAR/ 1418/1997)) Sumber: ==== dafiq amin <kang_dave2000@...> wrote: ikhwani, Ada yang tahu biografi imam al-Barbahaari pengarang syarhussunnah? mohon pencerahannya... Syukron, akhukum Abu Najwa-Batam |
Re: Tanya Software / tools multimedia
Said Mirza
wa'alaikum salam warahmatullah wabarakatuh,
toggle quoted message
Show quoted text
Mungkin arabic learning sources pada web site di bawah ini bisa membantu. (Gunakan IE untuk melihat) Pelajarannya cukup interactive dan disertai terjemahan bahasa Indonesianya. wassalamu'alaikum warahmatullah, Mirza On Nov 27, 2007 9:18 AM, hendri <hendri@...> wrote:
Assalammu'alaikum warohmatullaahi wa barokaatuh Jazaakumullahu khoiron.. |
Re: Tanya : Di mana tempat qurban yang lebih baik?
wa alaikumus salam wr wb:
1. Pertama, qurban itu hukumnya sunnah muakkadah (sangat ditekankan banget); 2. Sunnahnya, qurban disembelih sendiri. Namun jika tidak bisa, baik karena belum biasa atau takut darah dan sebagainya, maka boleh saja diwakilkan. 3. Tempat, sebenarnya terkait manfaat dan kemubadziran. Sebenarnya siapapun boleh makan daging qurban, muslim kaya, muslim miskin, bahkan orang kafir pun boleh. (Lihat fatwa Lajnah daimah, Ibn Baaz). Namun anda pasti akan dibilang tidak ukhuwah jika makan daging qurban sampai berlebihan padahal tiap minggu makan daging namun dii kanan kiri anda ada tetangga yang miskin papa, kere, dan jelata, apalagi saudara anda semuslim yang kena musibah. Mereka butuh bantuan, bantulah mereka dengan apa yang anda mampu, seperti doa, dana, pakaian, makanan, daging qurban, kalau anda mampu sekali maka buatkan mereka rumah, tentu itu lebih bagus.Bukankah salafus shalih adalah orang-orang yang paling pertama berbuat baik kepada muslim yang lain? wallahu a'lam "Nuryanto, Arief" <Arief.Nuryanto@...> wrote: Assalaamu'alaikum warahmatullah Ikhwah fillah, mo nanya : Kalo kita mau berqurban, di manakah tempat berqurban yang lebih baik? apakah di kampung halaman, atau di tempat tinggal di perantauan, atau di tempat bencana / daerah2 miskin ? Barakallohu fikum -Arief- |
Re: Tanya :Kajian Ahad di Surabaya
Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh
toggle quoted message
Show quoted text
Antum bisa datang ke kajian rutin ma'had Assunnah setiap sabtu dan ahad pagi jam 8:30 - dhuhur di masjid Ahmad Yani (depan Poltek ITS) *Kajian Rutin Ma'had Assunnah* *Sabtu:* 08.30-10.00 At Tauhid, Kaidah hidup bertauhid, *Oleh Ust.Ridwan Abdul Aziz* 10.00- 11.30 Ushulus Sunnah, Bagaimana Metode memahami Sunnah *Oleh Ust. Chusnul Yaqin,Lc* *Minggu:* 08.30- 10.00 Taysirrul Allam, Pandual Fiqih dalam Islam *Oleh Ust. M. Nur Yasin* 10.00-11.30 Hadist Arbain An-Nawawi, Khasanah ilmu-ilmu Islam *Oleh Ust. Abdurrahman Thayyib,Lc* *Tempat: Masjid A. Yani, Depan PENS ITS CP:* Ikhwan: 085 645 301501 Akhwat: 085 645 607830 *By. Divisi Ma'had FSMS* Abdullah On Nov 28, 2007 8:09 AM, anang dwicahyo <dcanang@...> wrote:
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh, |
mohon bantuan tentang waris
Doddy Darmajana
Assalamualaikum warohmatullohi wabarokatuh
Apakah surat wasiat (surat pesan) dari orang yang sudah meninggal dengan membagi harta waris kepada anaknya, (berdasar kebijaksanaan sendiri oleh pewaris/ yang meninggal) dapat dilaksanakan atau dapat dipatuhi oleh ahli waris. Atau warisan tetap harus dibagikan sesuai dengan hukum islam. Sebagai ilustrasi, Seorang ayah mempunyai 4 anak,terdiri 1 laki-laki dan 3 orang perempuan. Almarhum meninggalkan surat wasiat yang isinya membagi tanah+rumah peninggalannya seperti apa yang tertulis pada surat wasiat. Si anak tidak tahu apa pembagian itu sudah sesuai dengan hukum islam. Bila diperiksa dengan cara memperkirakan harga jual masih memerlukan waktu dan rumah2 tersebut masih ditinggali oleh masing2 ahli waris. Mohon bantuan untuk menyelesaikan persoalan ini. Jazakumulloh khoiron. Doddy A. D. ____________________________________________________________________________________ Never miss a thing. Make Yahoo your home page. |
Re: >>Tanya : tuntunan sunnah setelah kelahiran<<
aa_teds ibnu rachman
From: iswanto -
Sent: Sunday, November 25, 2007 10:30 PM assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. ana ingin bertanya : ana akan menjadi seorang ayah alhamdulillah. ana tidak tau tentang tuntunan sunnah setelah bayi lahir, yang ana tau hanyalah tentang qishos, bagaimana dengan ari2 si jabang bayi? apa yang harus kulakukan sebagai seorang ayah yang baru. Mohon pencerahannya. sekian. Wassalamu'alaikum warahmtullahi wabarakatuh ======= HARI PERTAMA DARI KELAHIRAN ANAK Oleh Salim bin Ali bin Rasyid Asy-Syubli Abu Zur'ah Muhammad bin Khalifah bin Muhammad Ar-Rabah. Sumber : SUNNAHNYA TAHNIK Pengertian tahnik secara bahasa dan syr'i adalah mengunyah sesuatu dan meletakkanya di mulut bayi. Maka dikatakan engkau mentahnik bayi, jika engkau mengunyah kurma kemudian menggosokkannya di langit-langit mulut bayi Dianjurkan agar yang melakukan tahnik adalah orang yang memiliki keutamaan, dikenal sebagai orang yang baik dan berilmu. Dan hendaklah ia mendo'akan kebaikan (barakah) bagi bayi tersebut. Dalil tentang tahnik ini disebutkan dalam beberapa hadits di antaranya. Dari Abu Musa al-Asy'ari Radhiyallahu 'anhu, ia berkata. "Artinya : Lahir seorang anakku maka aku membawanya ke hadapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam maka beliau memberinya nama Ibrahim. Beliau mentahniknya dengan kurma dan mendo'akan barakah untuknya. Kemudian beliau menyerahkan bayi itu kepadaku" [1] Dari Asma binti Abi Bakar Ash-Shiddiq ketika ia sedang mengandung Abdullah bin Az-Zubair di Makkah, ia berkata. "Artinya : Aku keluar dalam keadaan hamil menuju kota Madinah. Dalam perjalanan aku singggah di Quba dan di sana aku melahirkan. Kemudian aku mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan meletakkan anakku di pangkuan beliau. Beliau meminta kurma lalu mengunyahnya dan meludahkannya ke mulut bayi itu, maka yang pertama kali masuk ke kerongkongannya adalah ludah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Setelah itu beliau mentahniknya denan kurma dan mendo'akan barakah baginya. Lalu Allah memberikan barakah kepadanya (bayi tersebut)" [2] Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu ia berkata : "Aku pergi membawa Abdullah bin Abi Thalhah kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika ia baru dilahirkan. Aku mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang ketika itu sedang mencat seekor untanya dengan ter. Beliau bersabda kepadaku "Adakah kurma bersamamu?" Aku jawab, "Ya (ada)" Beliau lalu mengambil bebeberapa kurma dan memasukkannya ke dalam mulut beliau, lalu mengunyahnya sampai lumat. Kemudian beliau mentahniknya, maka bayi itu membuka mulutnya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian memasukkan kurma yang masih tersisa di mulut beliau ke maulut bayi tersebut, maka mulailah bayi itu menggerak-gerakan ujung lidahnya (merasakan kurma tersebut). Melihat hal itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Kesukaan orang Anshar adalah kurma". Lalu beliau menamakannya Abdullah" [3] Hadits-hadits di atas kiranya cukup untuk menerangkan sunnahnya tahnik ini dan kiranya cukup untuk menghasung kita bersegera melaksanakannya. Berkata Imam Nawawi dalam Syarhu Muslim (14/372) : "Dalam hadits-hadits ini ada faidah, di antaranya : dianjurkan mentahnik anak yang baru lahir, dan ini merupakan sunnah dengan ijma'. Hendaknya yang mentahnik adalah orang yang shalih dari kalangan laki-laki atau wanita. Tahnik dilakukan dengan kurma dan ini mustahab, namun andai ada yang mentahnik dengan selain kurma maka telah terjadi perbuatan tahnik, akan tetapi tahnik dengan kurma lebih utama. Faidah lain diantaranya menyerahkan pemberian nama untuk anak kepada orang yang shalih, maka ia memilihkan untuk si anak nama yang ia senangi" [Dinukil dengan sedikit perubahan] Akan tetapi tidak ada diriwayatkan dari sunnah kecuali tahnik denan kurma sebagaimana telah lewat penyebutannya tentang tahnik Ibrahim bin Abi Musa, Abdullah bin Az-Zubair dan Abdullah bin Abu Thalhah, maka tidak pantas mengambil yang lain. HIKMAH TAKNIK Ulama telah berbicara tantang hikmah yang terkandung dalam tahnik dan ada beberapa pendapat yang mereka sebutkan dan mereka berselisih (berbeda pendapat tentang hikmahnya). Namun tidak ada satu pun dari mereka yang memiliki sandaran dalil syar'i. Berkata Imam Al-Aini dalam Umdatul Qari : "Bila engkau bertanya apa hikmah tahnik? Aku jawab : Berkata sebagian mereka : Tahnik dilakukan sebagai latihan makan bagi bayi hingga ia kuat. Sungguh aneh ucapan ini dan betapa lemahnya . dimana letaknya waktu makan bagi bayi dibanding waktu tahnik yang dilakukan ketika anak baru dilahirkan, sedangkan secara umum anak baru dapat makan-makanan setelah berusia kurang lebih dua tahun. Sebenarnya hikmah tahnik adalah untuk pengharapan kebaikan bagi si anak dengan keimanan, karena kurma adalah buah dari pohon yang disamakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan seorang mukmin dan juga karena manisnya. Lebih-lebih bila yang mentahnik itu seorang yang memiliki keutamaan, ulama dan orang shalih, karena ia memasukkan air ludahnya ke dalam kerongkongan bayi. Tidaklah engkau lihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala mentahnik Abdullah bin Az-Zubair, dengan barakah air ludah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam Abdullah telah menghimpun keutamaan dan kesempurnaan yang tidak dapat digambarkan. Dia seorang pembaca Al-Qur'an, orang yang menjaga kemuliaan diri dalam Islam dan terdepan dalam kebaikan.[4] Kami katakan : Ini adalah ludahnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adapun selain beliau maka tidak boleh bertabarruk dengan air ludahnya. Ilmu kedokteran telah menetapkan faedah yang besar dari tahnik ini, yaitu memindahkan sebagian mikroba dalam usus untuk membantu pencernaan makanan. Namun sama saja, apakah yang disebutkan oleh ilmu kedokteran ini benar atau tidak benar, yang jelas tahnik adalah sunnah mustahab yang pasti dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, inilah pegangan kita bukan yang lainnya dan tidak ada nash yang menerangkan hikmahnya. Maka Allah lah yang lebih tahu hikmahnya. [Disalin dari kitab Ahkamul Maulud Fi Sunnatil Muthahharah edisi Indonesia Hukum Khusus Seputar Anak Dalam Sunnah Yang Suci, hal 31-36 Penerbit Pustaka Al-Haura] __________ Foote Note [1]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (5467 Fathul Bari) Muslim (2145 Nawawi), Ahmad (4/399), Al-Baihaqi dalam Al-Kubra (9/305) dan Asy-Syu'ab karya beliau (8621, 8622) [2]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (5469 Fathul Bari), Muslim (2146, 2148 Nawawi), Ahmad (6247) dan At-Tirmidzi (3826) [3]. Dikeluarkan oleh Al-bukhari (5470 Fathul Bari), Muslim (2144 Nawawi), Abu Daud (4951), Ahmad (3/105-106) dan lafadh ini menurut riwayat Ahmad dan diriwayatkan juga oleh Al-baihaqi dalam Asy-Syu'ab (8631) [4]. Umdatul Qari bi Syarhi Shahih Al-Bukhari (21/84) oleh Al-Aini KABAR GEMBIRA DENGAN KELAHIRAN ANAK Oleh Salim bin Ali bin Rasyid Asy-Syubli Abu Zur'ah Muhammad bin Khalifah bin Muhammad Ar-Rabah Sumber : JERITAN PERTAMA KETIKA BAYI BARU LAHIR Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata : Bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Artinya : Jeritan anak ketika dilahirkan adalah (karena) tusukan dari syaitan" [1] Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda. "Artinya : Tidak ada seorang anakpun yang lahir melainkan syaitan menusuknya hingga menjeritlah si anak akibat tusukan syaithan itu kecuali putra Maryam (Isa) dan ibunya (Maryam)" Kemudian Abu Hurairah berkata : Bacalah bila kalian mau (ayat yang berbunyi). "Artinya : Dan aku meminta perlindungan untuknya kepada-Mu dan juga untuk anak keturunannya dari syaitah yang terkutuk" [2] Anak kecil ini belum mengenal dunia sedikitpun, namun syaitan sudah menyatakan permusuhan dengan menusuknya. [3] Lalu bagaimana keadaan si anak jika ia telah dapat berbicara dan merasakan segala sesuatu. Bagaimana keadaannya jika telah bergerak syahwatnya untuk mencari dunia atau selainnya. Maka penyesatan dan upaya penyimpangan yang dilakukan syaitan ini harus dihalangi, karena itulah syari'at datang untuk melindungi manusia sejak mudanya, bahkan sejak lahir ke dunia ini hingga nanti menemui Tuhannya. Kami akan mengumpulkan semua tahapan kehidupan manusia secara ringkas. Sejak anak manusia belum melewati tujuh hari pertama dari umurnya, penetap syaria'at telah menerangkan jalan-jalan penjagaan bagi anak tersebut dan menjelaskan perkara-perkara yang seharusnya dilakukan sepanjang tujuh hari (dari awal kelahiran anak) Maka siapa yang mencintai anaknya dan ingin menjaganya dari syaitan, hendaklah ia mengikuti metodenya sayyidil mursalin dan beliau bagi kita adalah sebaik-baik pemberi nasihat. Beliau sebagaimana diceritakan oleh Abu Dzar Al-ghifari Radhiyallahu 'anhu : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggalkan kami dalam keadaan tidak ada seekor burungpun yang membolak-balikkan sayapnya di udara melainkan beliau sebutkan ilmunya kepada kami". Abu Dzar Radhiyallahu anhu berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Artinya : Tidak ada sesuatu yang dapat mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka kecuali telah diterangkan pada kalian" [4] Termasuk upaya penjagaan terhadap anak dari gangguan syaithan adalah doa seorang suami ketika mendatangi istrinya. "Artinya : Dengan nama Allah, Ya Allah jauhkanlah kami dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari apa yang Engkau rezkikan kepada kami" Maka bila Allah tetapkan lahirnya anak dari hubungan keduanya itu maka syaitan tidak akan membahayakannya selamanya" [5] KABAR GEMBIRA DENGAN KELAHIRAN ANAK Al-Qur'an telah menyebutkan kabar gembira tentang kelahiran anak dalam banyak ayat dalam rangka mengajarkan kaum muslimin tentang kebiaasaan ini, karena padanya ada pengaruh yang penting untuk menumbuhkan kasih sayang dan cinta di hati-hati kaum muslimin. [6] Allah Ta'ala berfirman. "Artinya : Wahai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira padamu dengan kelahiran seorang anak yang bernama Yahya" [Maryam : 7] "Artinya : Maka berilah kabar gembira padanya dengan kelahiran anak yang sangat penyabar" [Ash-Shafaat : 101] "Artinya : Mereka (para malaikat) berkata : Janganlah kamu merasa takut, sesungguhnya kami memberi kabar gembira kepadamu dengan (kelahiran seorang) anak laki-laki (yang akan menjadi) orang yang alim" [Al-Hijr : 53] "Artinya : Kemudian malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya) : 'Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang saleh" [Ali-Imran : 39] Seharusnya kita kaum muslimin mencintai kebaikan bagi saudara-saudara kita. Kita turut bahagia dengan kebahagiaan mereka dan turut sedih dengan kesedihan mereka. jika kita memang orang muslim yang sebenar-benarnya, maka kita merasa seperti satu jasad. Bila salah satu anggotanya merasa sakit, maka semua anggota lainnya terpanggil untuk bergadang dan merasa demam. Sebagaimana hal ini dimisalkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya. Akan tetapi di mana kita dari hal yang demikian itu ? Sementara permusuhan dan kebencian telah menyala-nyala di kalangan kaum muslimin sendiri dan hasad menjalar di tengah mereka dan kebaikan telah menipis. Hanya kepada Allahlah tempat mengadu. UCAPAN SELAMAT DAN KETERANGAN SALAF TENTANGNYA Tidak ada satu haditspun dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam masalah mengucapkan selamat bagi keluarga yang kelahiran. Yang ada hanyalah atsar yang diriwayatkan dari tabi'in, di antaranya. [1]. Dari Al-Hasan Al-Bashri Rahimahullah. Ada seseorang bertanya kepadanya tentang ucapan selamat tersebut ; "Bagaimana cara aku mengucapkannya ?" Kata Al-Hasan : Ucapkanlah. "Semoga Allah menjadikannya barakah atas kalian dan atas ummat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam" [7] [2]. Dari Hammad bin Ziyad ia berkata : "Ayyub As-Sikhtiyani bila memberi ucapan selamat kepada seseorang yang kelahiran anak ia berkata : "Semoga Allah menjadikannya barakah atas kalian dan atas ummat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam" [8] Atsar semisal ini jauh lebih baik dibanding ucapan selamat yang banyak diamalkan manusia pada hari ini. Namun bersamaan dengan itu kita tidak boleh melazimkan ucapan selamat ini (seperti tersebut dalam atsar di atas), berbeda bila ada satu hadits (yang shahih) yang menerangkan tentangnya. Dan kita tidak menjadikan ucapan tersebut seperti dzikir-dzikir yang tsabit dalam As-Sunnah (yakni kita tidak terus menerus mengamalkannya karena tidak ada satu hadits pun yang menyebutkan hal ini, -pent). Siapa yang engucapkannya kadang-kadang maka tidak apa-apa dan siapa yang tidak mengucapkannya maka tidak ada masalah. [Disalin dari kitab Ahkamul Maulud Fi Sunnatil Muthahharah edisi Indonesia Hukum Khusus Seputar Anak Dalam Sunnah Yang Suci, hal 31-36 Penerbit Pustaka Al-Haura] __________ Foote Note [1]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (3248), Muslim (15/128 Nawawi) dan At-Thabrani dalam As-Shaghir (29), dan riwayat yang lain darinya dan Ibnu HIbban (6150-6201-6202) [2]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (3/110 -As-Sindi), Muslim (15/128 Nawawi) dan Abu Ya'la 5971] [3]. Lihat Syrahu Shahih Muslim oleh Imam An-Nawawi tentang hadits ini (15/129-130) [4]. Dikeluarkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (1647) dan Ash-Shaghir (1/268), Ahmad dalam Al-Musnad (5/153-162) baris pertama darinya [5]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (9/228 Fathul Bari), Muslim (10/1434 Nawawi) dan selain keduanya. [6]. Dinukil dari kitab Ukhti Muslimah Kaifa Tastaqbilin Mauludikil Jadid, penulis Nasyat Al-Mishri [7]. Hadits hasan. Dikeluarkan oleh At-Thabrani dalam Kitab Ad-Du'a (2/1243) dengan sanad yang rijalnya (rawi-rawinya) tsiqah (orang kepercayaan) selain syaikhnya (gurunya) At-Thabrani yakni Yahya bin Utsman bin Shalih, kata Al-Hafidh tentangnya : "Ia shaduq, tertuduh tasyayyu' (kesyiah-syiahan), dan sebagian ulama menganggapnya layyin (lemah) karena keadaannya yang meriwayatkan dari selain asalnya". Berkata Ibnu Abi Hatim dalam Al-Jarh wa At-Ta'dil (9/175) : "Aku menulis (hadits) darinya dan juga ayahku, dan mereka memperbincangkannnya". Dalam Al-Mizan, Ad-Dzahabi berkata : "Ia shaduq Insya Allah'.Berkata Al-Mundziri dalam At-Targhib (2/17) : "Dia tsiqah dan padanya ada perbincangan". Kami katakan : orang yang semisal Yahya ini haditsnya tidak turun dari derajat Hasan. [8]. Dikeluarkan oleh At-Thabrani dalam Kitab Ad-Du'a (2/1244) dengan sanad yang lemah. Namun atsar yang lemah ini mendukung atsar sebelumnya. Wallahu a'lam APAKAH DISYARIA'TKAN ADZAN PADA TELINGA BAYI YANG BARU LAHIR ? Oleh Salim bin Ali bin Rasyid Asy-Syubli Abu Zur'ah Muhammad bin Khalifah bin Muhammad Ar-Rabah. Judul di atas dibuat dalam konteks kalimat tanya sebagaimana yang anda lihat untuk menarik perhatian pembaca yang mulia agar mempelajari pembahasan yang dikandung judul tersebut. Karena tidak ada seorang pun yang menulis tentang bab ini kecuali menyebutkan judul sunnahnya adzan pada telinga anak yang baru lahir, padahal tidaklah demikian karena lemahnya hadits-hadits yang diriwayatkan dalam permasalahan ini. [*] _____________________________ [*] Kami telah meneliti sedapat mungkin riwayat-riwayat dan jalan-jalannya, dan berikut ini kami terangkan dalam pembahasan ini, kami katakan : Ada tiga hadits yang diriwayatkan dalam masalah adzan pada telinga bayi ini. Pertama. Dari Abi Rafi maula Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam ia berkata : "Aku melihat Rasulullah mengumandangkan adzan di telinga Al-Hasan bin Ali dengan adzan shalat ketika Fathimah Radhiyallahu 'anha melahirkannya". Dikeluarkan oleh Abu Daud (5105), At-Tirmidzi (4/1514), Al-Baihaqi dalam Al-Kubra (9/300) dan Asy-Syu'ab (6/389-390), Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (931-2578) dan Ad-Du'a karya beliau (2/944), Ahmad (6/9-391-392), Abdurrazzaq (7986), Ath-Thayalisi (970), Al-Hakim (3/179), Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (11/273). Berkata Al-Hakim : "Shahih isnadnya dan Al-Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya". Ad-Dzahabi mengkritik penilaian Al-Hakim dan berkata : "Aku katakan : Ashim Dla'if". Berkata At-Tirmidzi : "Hadits ini hasan shahih". Semuanya dari jalan Sufyan At-Tsauri dari Ashim bin Ubaidillah dari Ubaidillah bin Abi Rafi dari bapaknya. Dan dikeluarkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (926, 2579) dan Al-Haitsami meriwayatkannya dalam Majma' Zawaid (4/60) dari jalan Hammad bin Syua'ib dari Ashim bin Ubaidillah dari Ali bin Al-Husain dari Abi Rafi dengan tambahan. "Artinya : Beliau adzan pada telinga Al-Hasan dan Al-Husain". Rawi berkata pada akhirnya : "Dan Nabi memerintahkan mereka berbuat demikian". Dalam isnad ini ada Hammad bin Syuaib, ia dilemahkan oleh Ibnu Main. Berkata Al-Bukhari tentangnya : "Mungkarul hadits". Dan pada tempat lain Bukhari berkata : Mereka meninggalkan haditsnya". Berkata Al-Haitsami dalam Al-Majma (4/60) : "Dalam sanadnya ada Hammad bin Syua'ib dan ia lemah sekali". Kami katakan di dalam sanadnya juga ada Ashim bin Ubaidillah ia lemah, dan Hammad sendiri telah menyelisihi Sufyan At-Tsauri secara sanad dan matan, di mana ia meriwayatkan dari Ashim dan Ali bin Al-Husain dari Abi Rafi dengan mengganti Ubaidillah bin Abi Rafi dengan Ali bin Al-Husain dan ia menambahkan lafadz : "Al-Husain" dan perintah adzan. Hammad ini termasuk orang yang tidak diterima haditsnya jika ia bersendiri dalam meriwayatkan. Dengan begitu diketahui kelemahan haditsnya, bagaimana tidak sedangkan ia telah menyelisihi orang yang lebih tsiqah darinya dan lebih kuat dlabtnya yaitu Ats-Tsauri. Karena itulah hadits Hammad ini mungkar, pertama dinisbatkan kelemahannya dan kedua karena ia menyelisihi rawi yang tsiqah. Adapun jalan yang pertama yakni jalan Sufyan maka di dalam sanadnya ada Ashim bin Ubaidillah. Berkata Ibnu Hajar dalam At-Taqrib : "Ia Dla'if", dan Ibnu Hajar menyebutkan dalam At-Tahdzib (5/42) bahwa Syu'bah berkata : "Seandainya dikatakan kepada Ashim : Siapa yang membangun masjid Bashrah niscaya ia berkata : 'Fulan dari Fulan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa sanya beliau membagunnya". Berkata Adz-Dzahabi dalam Al-Mizan (2/354) : "Telah berkata Abu Zur'ah dan Abu Hatim : 'Mungkarul Hadits'. Bekata Ad-Daruquthni : 'Ia ditinggalkan dan diabaikan'. Kemudian Daruquthni membawakan untuknya hadits Abi Rafi bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adzan pada telinga Al-Hasan dan Al-Husain" (selesai nukilan dari Al-Mizan). Maka dengan demikian hadits ini dha'if karena perputarannya pada Ashim dan anda telah mengetahui keadaannya. Ibnul Qayyim telah menyebutkan hadits Abu Rafi' dalam kitabnya Tuhfatul Wadud (17), kemudian beliau membawakan dua hadits lagi sebagai syahid bagi hadits Abu Rafi'. Salah satunya dari Ibnu Abbas dan yang lain dari Al-Husain bin Ali. Beliau membuat satu bab khusus dengan judul "Sunnahnya adzan pada telinga bayi". Namun kita lihat keadaan dua hadits yang menjadi syahid tersebut. Hadits Ibnu Abbas dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu'abul Iman (6/8620) dan Muhammad bin Yunus dari Al-Hasan bin Amr bin Saif As-Sadusi ia berkata : Telah menceritakan pada kami Al-Qasim bin Muthib dari Manshur bin Shafih dari Abu Ma'bad dari Ibnu Abbas. "Artinya : Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adzan pada telinga Al-Hasan bin Ali pada hari dilahirkannya. Beliau adzan pada telinga kanannya dan iqamah pada telinga kiri". Kemudian Al-Baihaqi mengatakan pada isnadnya ada kelemahan. Kami katakan : Bahkan haditsnya maudhu' (palsu) dan cacat (ilat)nya adalah Al-Hasan bin Amr ini. berkata tentangnya Al-Hafidh dalam At-Taqrib : "Matruk". Berkata Abu Hatim dalam Al-Jarh wa Ta'dil 91/2/26) tarjumah no. 109 :'Aku mendengar ayahku berkata : Kami melihat ia di Bashrah dan kami tidak menulis hadits darinya, ia ditinggalkan haditsnya (matrukul hadits)". Berkata Ad-Dzahabi dalam Al-Mizan : "Ibnul Madini mendustakannya dan berkata Bukhari ia pendusta (kadzdzab) dan berkata Ar-Razi ia matruk. Sebagaimana telah dimaklumi dari kaidah-kaidah Musthalatul Hadits bahwa hadits yang dla'if tidak akan naik ke derajat shahih atau hasan kecuali jika hadits tersebut datang dari jalan lain dengan syarat tidak ada pada jalan yang selain itu (jalan yang akan dijadikan pendukung bagi hadits yang lemah, -pent) rawi yang sangat lemah lebih-lebih rawi yang pendusta atau matruk. Bila pada jalan lain keadaannya demikian (ada rawi yang sangat lemah atau pendusta atau matruk, -pent) maka hadits yang mau dikuatkan itu tetap lemah dan tidak dapat naik ke derajat yang bisa dipakai untuk berdalil dengannya. Pembahasan haditsiyah menunjukkan bahwa hadits Ibnu Abbas tidak pantas menjadi syahid bagi hadits Abu Rafi maka hadits Abu Rafi tetap Dla'if, sedangkan hadits Ibnu Abbas maudlu. Adapun hadits Al-Husain bin Ali adalah dari riwayat Yahya bin Al-Ala dari Marwan bin Salim dari Thalhah bin Ubaidillah dari Al-Husain bin Ali ia berkata : bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Siapa yang kelahiran anak lalu ia mengadzankannya pada telinga kanan dan iqamah pada telinga kiri maka Ummu Shibyan (jin yang suka mengganggu anak kecil, -pent) tidak akan membahayakannya". Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu'abul Iman (6/390) dan Ibnu Sunni dalam Amalul Yaum wal Lailah (hadits 623) dan Al-Haitsami membawakannya dalam Majma' Zawaid (4/59) dan ia berkata : Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya'la dan dalam sanadnya ada Marwan bin Salim Al-Ghifari, ia matruk". Kami katakan hadits ini diriwayatkan Abu Ya'la dengan nomor (6780). Berkata Muhaqqiqnya : "Isnadnya rusak dan Yahya bin Al-Ala tertuduh memalsukan hadits". Kemudian ia berkata : 'Sebagaimana hadits Ibnu Abbas menjadi syahid bagi hadits Abi Rafi, Ibnul Qayyim menyebutkan dalam Tuhfatul Wadud (hal.16) dan dikelurkan oleh Al-Baihaqi dalam Asy-Syu'ab dan dengannya menjadi kuatlah hadits Abi Rafi. Bisa jadi dengan alasan ini At-Tirmidzi berkata : 'Hadits hasan shahih', yakni shahih lighairihi. Wallahu a'lam (12/151-152). Kami katakan : tidaklah perkara itu sebagaimana yang ia katakan karena hadits Ibnu Abbas pada sanadnya ada rawi yang pendusta dan tidak pantas menjadi syahid terhadap hadist Abu Rafi sebagaimana telah lewat penjelasannya, Wallahu a'lam. Sedangkan haidts Al-Husain bin Ali ini adalah palsu, pada sanadnya ada Yahya bin Al-Ala dan Marwan bin Salim keduanya suka memalsukan hadits sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ad-Dlaifah (321) dan Albani membawakan hadits Ibnu Abbas dalam Ad-Dlaifah nomor (6121). Inilah yang ditunjukkan oleh pembahasan ilmiah yang benar. Dengan demikian hadits Abu Rafi tetap lemah karena hadits ini sebagaimana kata Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam At-Talkhish (4/149) : "Perputaran hadist ini pada Ashim bin Ubaidillah dan ia Dla'if. Syaikh Al-Albani telah membawakan hadits Abu Rafi dalam Shahih Sunan Tirmidzi no. (1224) dan Shahih Sunan Abi Daud no (4258), beliau berkata : "Hadits hasan". Dan dalam Al-Irwa (4/401) beliau menyatakan : Hadits ini Hasan Isya Allah". Dalam Adl-Dla'ifah (1/493) Syaikh Al-Albani berkata dalam keadaan melemahkan hadits Abu Rafi' ini : "At-Tirmidzi telah meriwayatkan dengan sanad yang lemah dari Abu Rafi, ia berkata : "Aku melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adzan dengan adzan shalat pada telinga Al-Husain bin Ali ketika ia baru dilahirkan oleh ibunya Fathimah". Berkata At-Timidzi : "Hadits shahih (dan diamalkan)". Kemudian berkata Syaikh Al-Albani : "Mungkin penguatan hadits Abu Rafi dengan adanya hadits Ibnu Abbas". (Kemudian beliau menyebutkannya) Dikelurkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu'abul Iman. Aku (yakni Al-Albani) katakan : "Mudah-mudahan isnad hadits Ibnu Abbas ini lebih baik daipada isnad hadits Al-Hasan (yang benar hadits Al-Husain yakni hadits yang ketiga pada kami, -penulis) dari sisi hadits ini pantas sebagai syahid terhadap hadits Abu Rafi, wallahu 'alam. Maka jika demikian hadits ini sebagai syahid untuk masalah adzan (pada telinga bayi) karena masalah ini yang disebutkan dalam hadits Abu Rafi', adapaun iqamah maka hal ini gharib, wallahu a'alam. Kemudian Syaikh Al-Albani berkata dalam Al-Irwa (4/401) : 'Aku katakana hadits ini (hadits Abu Rafi) juga telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas degan sanad yang lemah. Aku menyebutkannya seperti syahid terhadap hadits ini ketika berbicara tentang hadits yang akan datang setelahnya dalam Silsilah Al-Hadits Adl-Dla'ifah no (321) dan aku berharap di sana ia dapat menjadi syahid untuk hadits ini, wallahu a'alam. Syaikh Al-Albani kemudian dalam Adl-Dlaifah (cetakan Maktabah Al-Ma'arif) (1/494) no. 321 menyatakan : "Aku katakan sekarang bahwa hadits Ibnu Abbas tidak pantas sebagai syahid karena pada sanadnya ada rawi yang pendusta dan matruk. Maka Aku heran dengan Al-Baihaqi kemudian Ibnul Qayyim kenapa keduanya merasa cukup atas pendlaifannya. Hingga hampir-hampir aku memastikan pantasnya (hadits Ibnu Abbas) sebagai syahid. Aku memandang termasuk kewajiban untuk memperingatkan hal tersebut dan takhrijnya akan disebutkan kemudian (61121)" (selesai ucapan Syaikh). Sebagai akhir, kami telah menyebutkan masalah ini secara panjang lebar untuk anda wahai saudara pembaca dan kami memuji Allah yang telah memberi petunjuk pada Syaikh Al-Albani kepada kebenaran dan memberi ilham padanya. Maka dengan demikian wajib untuk memperingatkan para penuntut ilmu dan orang-orang yang mengamalkan sunnah yang shahihah yang tsabit dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada setiap tempat bahwa yang pegangan bagi hadits Abu Rafi' yang lemah adalah sebagaimana pada akhirnya penelitian Syaikh Al-Albani dalam Ad-Dlaifah berhenti padanya. Dan inilah yang ada di hadapan anda. Dan hadits ini tidaklah shahih seperti yang sebelumnya beliau sebutkan dalam Shahih Sunan Tirmidzi dan Shahih Sunan Abu Daud serta Irwaul Ghalil, wallahu a'lam. Kemudian kami dapatkan syahid lain dalam Manaqib Imam Ali oleh Ali bin Muhammad Al-Jalabi yang masyhur dengan Ibnul Maghazil, tapi ia juga tidak pantas sebagai syahid karena dalam sanadnya ada rawi yang pendusta. [Disalin dari kitab Ahkamul Maulud Fi Sunnatil Muthahharah edisi Indonesia Hukum Khusus Seputar Anak Dalam Sunnah Yang Suci, hal 31-36 Pustaka Al-Haura] Sumber : |
>>Masalah Sajadah<<
ABU AFWAN
Assalamu Alaikum
Saya mendapatkan artikel ini dari milis =========== Sebenarnya Bolehkah Shalat di Atas Sajadah? Fatwa Imam Malik rahimahullah dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya tentang orang yang menghamparkan sajadah di dalam masjid untuk shalat, apakah perbuatan tersebut termasuk bidah atau tidak? Beliau menjawab: Segala puji bagi Allah pencipta semesta alam. Adapun membiasakan shalat di atas sajadah bukanlah kebiasaan generasi salafus salih, baik dari kalangan sahabat ataupan generasi setelah mereka. Justru mereka melakukan shalat langsung di atas tanah (lantai) tanpa tikar atau sajadah. Telah diriwayatkan bahwa Abdurrahman bin Mahdi ketika datang di kota Madinah menziarahi masjid Nabawi. Beliau menghamparkan sajadah untuk shalat di atasnya. Imam Malik rahimahullah (salah satu dari empat imam madzhab yang mengetahui hal itu) meminta petugas keamanan untuk memenjarakannya. Lalu diberitahukanlah kepada beliau bahwa orang tersebut adalah Abdurrahman bin Mahdi (salah seorang ulama). Maka Imam Malik berkata (kepada Abdurraman), Tidakkah engkau mengetahui, wahai Ibnu Mahdi, bahwa menghamparkan sajadah di masjid untuk shalat adalah perkara bidah? Syaikhul Islam berkata, Dan yang lebih parah lagi diantara mereka ada yang menghamparkan sajadah di atas tikar dan karpet di masjid-masjid kaum muslimin. Mereka menambahkan kebidahan baru (yakni menghamparkan sajadah) di atas bidah yang telah ada sebelumnya (yakni menghamparkan tikar dan karpet di masjid. Beliau melanjutkan, Bahkan sebagian mereka ada yang menjadikan sajadah tersebut sebagai tanda kesempurnaan agama seseorang dan beranggapan bahwa orang yang tidak memakai sajadah adalah orang yang kurang agamanya dan kurang perhatiannya terhadap perkara shalat. Sehingga mereka menjadikan perkara bidah tersebut sebagai sesuatu yang lebih utama melebihi petunjuk Rasulullah Dalil-Dalil Bidahnya Sajadah Ketika Shalat di Masjid 1. Maka Nabi shalat bersama kami, sehingga terlihat olehku bekas tanah dan air di kening dan ujung hidung Rasulullah HR. Bukhari, hadits no. 771) 2. Dari Muaqib bahwsannya Nabi berkata kepada seseorang yang meratakan tanah pada tempat sujudnya tiap kali bersujud. Beliau berkata: /Kamu boleh melakukan hal itu tetapi cukup sekali (dalam satu shalat).(HR. Bukhari, hadits no. 1131) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: Hadits-hadits di atas memberikan faedah yang jelas bahwa masjid Rasulullah r atapnya terbuat dari pelepah kurma dan lantai masjidnya tanah. Apabila turun hujan air merembes ke dalam masjid. Dan Rasulullah r ketika shalat, sujud langsung di atas tanah/lantai (tanpa sajadah). Beliau rahimahullah melanjutkan, Jelas sekali dari hadits di atas bahwa para sahabat juga sujud langsung di atas tanah dan kerikil-kerikil (tanpa alas). Rasulullah tidak menyukai mereka yang meratakan tanah tempat sujudnya berulangkali. Beliau hanya membolehkan melakukan sekali. Jika tidak dilakukan, maka itu lebih baik. Kondisi Dibolehkannya Memakai Alas Ketika Sujud Dalam kondisi tertentu, seseorang yang shalat di dalam masjid boleh sujud tidak langsung ke lantai berdasarkan beberapa atsar: 1. Kami dulu pernah shalat bersama Rasulullah r dalam kondisi panas yang sangat. Jika salah seorang diantara kami tidak tahan menempelkan dahinya di tanah (lantai), maka dia menghamparkan bagian bajunya ke lantai lalu sujud di atasnya. (HR. Muslim, hadits no. 983) 2. Dari Maimunah radiallahuanha, dia berkata: Rasulullah pernah shalat di atas khumrah. (HR. Bukhari, hadits no. 368) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: Al-Khumrah menurut ahli bahasa adalah sejenis tikar kecil yang terbuat dari pelepah kurma dan dianyam dengan tali dan benang. Besar khumrah tersebut adalah sekira cukup untuk meletakan hidung dan wajah dan kalau lebih besar dari itu maka dinamakan al-hashir (tikar). Sehingga pendapat yang paling adil dalam hal ini adalah bahwa dibolehkan bagi orang yang shalat di masjid menghamparkan kain pada tempat sujud ketika adanya suatu hajat (seperti panas). Adapun dalam kondisi yang normal, maka hal itu adalah merupakan suatu bidah. berulangkali. Beliau hanya membolehkan melakukan sekali. Jika tidak dilakukan, maka itu lebih baik. Memakai Tikar atau Karpet Ketika Shalat di Rumah Syaikhul Islam menjelaskan bahwa para ulama telah sepakat tentang bolehnya shalat di atas tikar dan karpet bahkan di atas kasur ketika shalat di rumah. Hal ini berdasarkan beberapa dalil: 1. Dari Aisyah radiallahuanha, dia berkata: Bahwa Rasulullah bangun dan melakukan shalat malam sedangkan aku berada membujur (di hadapan Rasulullah ) antara dirinya dan kiblat di atas kasur. (HR. Bukhari, hadits no. 485) 2. Dari Abu Said Al-Khudri , dia mendatangi Nabi, dia berkata: Aku melihat Nabi shalat di atas tikar dan sujud di atasnya. (HR. Muslim, hadits no. 807) 3. Dari Ibnu Abbas, dia berkata: Bahwa Rasulullah shalat di atas karpet. (HR. Ibnu Majah hadits no. 1020 dan Ahmad 1/232) Kesimpulan 1. Shalat di masjid tidak disyariatkan menggunakan sajadah, tikar atau karpet jika tidak ada hajat, seperti lantai terlalu panas atau terlalu dingin. 2. Boleh shalat di atas tikar, karpet dan kasur atau khumrah yang sekira cukup untuk wajah ketika di dalam rumah. 3. Rasulullah dan para sahabatnya tidak pernah membuat kain khusus untuk shalat berupa sajadah yang sudah muncul semenjak zaman Imam Malik rahimahullah sampai saat ini. Maka sajadah tersebut sebagaimana kata Imam Malik rahimahullah dan Ibnu Taimiyah rahimahullah adalah merupakan perkara bidah. 4. Menjadi keharusan bagi kita untuk tunduk kepada petunjuk Nabi dan para sahabat walaupun menurut perasaan kita hal itu kurang baik atau kurang sempurna; karena agama ini tidak dibangun di atas akal atau perasaan, akan tetapi dibangun di atas perintah Allah dan petunjuk Rasulullah dan para sahabatnyay. 5. Menjadi keharusan bagi kita untuk mengingatkan kaum muslimin dari bidah sajadah ini. Wallahu mustaan. [Diterjemahkan, diringkas dan disusun dari kitab Fatawa Al-Kubro, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah /II/60-79] |
Tanya : Rutinitas Rasulullah setelah Sholat Wajib
Tri Sulistyawan
Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Sebelumnya saya meminta maaf apabila pertanyaan saya ini sudah pernah dibahas sebelumnya. Saya ingin bertanya mengenai rutinitas yang biasa/umumnya dilakukan Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam ketika selesai sholat wajib, apakah ada doa atau dzikir-dzikir tertentu yang dilakukan Beliau????. Mohon agar disertakan dalil yang menguatkannya. Sekiranya jawabannya akan menggangu lalu lintas milis ini karena mungkin sudah sering dibahas, sudi kiranya agar jawabannya via japri saja. Juga sudi kiranya agar jawabannya bukan berupa link, karena saya tidak bisa browsing internet. Sebelumnya saya ucapkan banyak terima kasih. Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh Salam, Tri Sulistyawan |
Apakah Manhaj Salaf = Islam kaffah
Warsito
Assalamu'alaikum
Ana, baru lagi belajar Islam yang benar, apakah kala belajar Islam dengan manhaj salaf telah belajar Islam kafah, di dalam Al qur'an 2:208 orang yang beriman di perintahkan untuk masuk Islam secara kafah. Setelah belajar sunnah lewat internet, banyak hal - hal yang sudah biasa dilakukan masyarakat ternyata dilarang dalam Islam, bagaimana aplikasinya Islam sunnah berkaitan dengan kemasyarakatan, misalnya : dalam mengelola zis, dalam pergaulan dengan tetangga yang Islamnya cari yang umum, mengingat masyarakat umum menilai Islam bukan dari sisi penampilan luar saja, tetapi lebih kepada aplikasi yang nyata dalam kehidupan sehari - hari. Demikian , mohon maaf jika dalam penyampaiannya tidak / kurang jelas. Wassalamu'alaikum Sito |
to navigate to use esc to dismiss