Keyboard Shortcuts
ctrl + shift + ? :
Show all keyboard shortcuts
ctrl + g :
Navigate to a group
ctrl + shift + f :
Find
ctrl + / :
Quick actions
esc to dismiss
Likes
- Assunnah
- Messages
Search
Re: Masalah shalat Jam'a
farid_fadh
wa'alaikum salam warahmatullah wabarakatuh
toggle quoted message
Show quoted text
Untuk menjawabnya saya nukilkan penjelasan syaikh abdul 'adzim bin badawy dalam kitab fiqh-nya "al-wajiz fi fiqhis sunnati wa kitabil 'azizi" halaman 139 terbitan daaru ibni rajab. beliau membawakan bahwa slah satu sebab dari sebab-sebab menjama' sholat adalah safar. kemudian dibawakan sejumlah hadits sebagai berikut: 1. dari anas berkata: bahwa rasulullah shallallahu alaihi wasallam jika berpergian sebelum matahari tergelincir maka beliau mengakhirkan waktu sholat dhuhur ke waktu sholat ashar kemudian beliau turun (dari tunggangannya) dan menjama' kedua sholat tersebut, Maka jika matahari telah tergelincir sebelum beliau berangkat beliau sholat dhuhur dulu kemudian baru mengendarai tunggangannya. (muttafaq alaihi al-bukhari (2/583/1112), muslim (1/489/704), abu dawud (4/58/1206), an-nasai (1/284)) 2. dari mu'adz radhiallahu anhu: "bahwasanya nabi ketika peperangan tabuk jika beliau berangkat sebelum matahari tergelincir beliau mengakhirkan dhuhur hingga menjamaknya di waktu ashar, dan jika beliau berpergian setelah matahari tergelincir beliau sholat dhuhur dan ashar dengan dijama' kemudian baru berangkat dan seterusnya" (shohih: abu dawud (4/75/1196), at-tirmidzy (2/33/551) wallahu a'lamu bishshowab..ana melihat bahwa antum kemungkinan keluar dari rumah menuju airport setidaknya satu - dua jam sebelum penerbangan sesuai aturan check in. dan wallahua'lam ana memandang ini sudah merupakan bagian dari safar antum, karena ketika itu antum sudah berniat melakukan safar ketika keluar dari rumah antum, dengan demikian antum bisa melakukan jama' dhuhur dan ashar diwaktu dhuhur sesuai hadits di atas. wallahu a'lam. Atau..bagi yang berpendapat bahwa safarnya dimulai saat pesawat tinggal landas. maka tentu tidak bisa menjama' dhuhur dan ashar. akan tetapi jika antum khawatir akan luput waktu asharnya jika menunggu sampai tiba di surabaya..maka sholatlah di atas kendaraan yang antum gunakan,dalam hal ini antum sholat diatas pesawat. wallahua'lam. wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh abu shofiyyah farid fadhillah KFUPM , dhahran, saudi arabia --- In assunnah@..., "udaaf" <udaaf@...> wrote:
|
Re: Tanya : Kitab harus dimiliki orang ber manhaj salaf
Mahafuddin
Semoga manfaat.
________________________________ From: Behalf Of ardizal Sent: 26 Nopember 2007 17:44 To: assunnah@... Subject: [assunnah] Tanya : Kitab harus dimiliki orang ber manhaj salaf assalamu'alaikum ana mohon bantuan ikhwan semua, ana ingin belajar manhaj salaf, kitab- kitab apa saja yang patut ana pelajari? jazakallahu khairan. nb. dalam bahasa arab atau indonesia. |
>>Hukum Seputar Suap Dan Hadiah<<
HUKUM SEPUTAR SUAP DAN HADIAH
Oleh Ustadz Armen Halim Naro Lc Permasalahan harta, seakan-akan sebuah permasalahan yang tidak berkesudahan Sebagai seorang muslim yang menghadirkan akhirat ke dalam kehidupannya, tentu tidak menganggap permasalahan ini sepele atau terlampau menyempitkan ruang geraknya dalam mencari rizki. Sebab bagaimanapun juga, kita tetap butuh harta sebagai bekal, dan tetap waspada terhadap fitnahnya. Bagaimana tidak, pada saat ini kita menyaksikan, banyak orang tidak peduli lagi dalam mencari rizki, apakah dari yang halal atau dari yang haram. Hingga muncul penilaian, bahwa semua kebahagian hidup, keberhasilan, atapun kesuksesan ditentukan dan diukur dengan harta . Pada dasarnya, syariat selalu mendorong naluri manusia untuk berusaha, hal itu tidak saling bertentangan dan tidak boleh dipertentangkan. Imam Mawardi rahimahullah mengelompokkan bidang usaha manusia kepada tiga bidang pokok : pertanian, perdagangan, dan industri.[1]. Dewasa ini, sebagian ulama memasukkan bidang kepegawaian menjadi salah satu bidang usaha yang sangat berharga bagi kebanyakan manusia, disamping tiga pokok usaha yang telah disebutkan Imam Mawardi rahimahullah tersebut. Mencari rizki dengan menjadi pegawai negeri maupun swasta adalah sesuatu yang halal. Akan tetapi, fenomena yang kita saat ini, tidak jarang seorang pegawai menghadapi hal-hal yang haram atau makruh dalam pekerjaannya tersebut. Di antaranya, disebabkan munculnya suap, sogok menyogok atau pemberian uang diluar gaji yang tidak halal mereka terima. Bagaimana tinjauan syariat dalam masalah ini ? : DEFINISI SUAP, HADIAH DAN BONUS Banyak sebutan untuk pemberian sesuatu kepada petugas atau pegawai diluar gajinya, seperti suap, hadiah, bonus, fee dan sebagainya. Sebagian ulama menyebutkan empat pemasukan seorang pegawai, yaitu gaji, uang suap, hadiah dan bonus.[2] Suap, disebut juga dengan sogok atau memberi uang pelicin. Adapun dalam bahasa syariat disebut dengan risywah. Secara istilah disebut memberi uang dan sebagainya kepada petugas (pegawai), dengan harapan mendapatkan kemudahan dalam suatu urusan. [3] Hadiah diambil dari kata bahasa Arab, dan definisinya, pemberian seseorang yang sah memberi pada masa hidupnya, secara kontan tanpa ada syarat dan balasan.[4] Adapun bonus, ia memiliki definisi, yang mendekati makna hadiah, yaitu upah diluar gaji resmi (sebagai tambahan). [5] DALIL TENTANG SUAP DAN HADIAH Suap, hukunya sangat jelas diharamkan oleh Al-Quran dan Sunnah serta Ijma, baik bagi yang memberi maupun yang menerima. Di dalam Al-Quran, Allah Subhanahu wa Taala berfirman : Artinya : Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui [Al-Baqarah : 188] Dalam ,menafsirkan ayat di atas, al Haitsami rahimahullah berkata : Janganlah kalian ulurkan kepada hakim pemberian kalian, yaitu dengan cara mengambil muka dan menyuap mereka, dengan harapan mereka akan memberikan hak orang lain kepada kalian, sedangkan kalian mngetahui hal itu tidak halal bagi kalian.[6] Allah Subhanahu wa Taala berfirman. Artinya : Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan. Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah don ditulikanNya telinga mereka dan dibutakanNya penglihatan mereka [Muhammad : 22-23] Abul Aliyah rahimahullah berkata, Membuat kerusakan di permukaan bumi dengan suap dan sogok.[7]. Dalam mensifati orang-orang Yahudi, Allah Subhanahu wa Taala berfirman : Artinya : Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram [Al-Maidah : 42] Tentang ayat ini, Hasan dan Said bin Jubair rahimahullah menyebutkan di dalam tafsirnya, bahwa yang dimaksud adalah pemakan uang suap, dan beliau berkata: Jika seorang Qodi (hakim) menerima suap, tentu akan membawanya kepada kekufuran.[8] Sedangkan dari Sunnah. Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhu , ia berkata : Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melaknat yang memberi suap dan yang menerima suap.[HR At-Tirmidzi, 1/250; Ibnu Majah, 2313 dan Hakim, 4/102-103; dan Ahmad 2/164,190. Syaikh Al-Albani berkata,Shahih. Lihat Irwa Ghalil 8/244] Dalam riwayat Tsauban, terdapat tambahan hadits: Arroisy (...dan perantara transaksi suap). [HR Ahmad, 5/279 dalam sanadnya ada Laits bin Abi Salim, hafalannya bercampur, dan Syaikhnya, Abul Khattab majhul] Hadits ini menunjukkan, bahwa suap termasuk dosa besar, karena ancamannya adalah Laknat. Yaitu terjauhkan dari rahmat Allah. Al Haitsami rahimahullah memasukkan suap kepada dosa besar yang ke-32. Sedangkan menurut Ijma, telah tenjadi kesepakatan umat tentang haramnya suap secara global, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah, [9] Ibnul Atsir, [10] Shanani rahimahullah. [11] Adapun hadiah, Ia merupakan pemberian yang dianjurkan oleh syariat, sekalipun pemberian itu -menurut pandangan yang memberi- sesuatu yang remeh. Disebutkan dalam hadits, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda : Wahai, wanita muslimah. Janganlah kalian menganggap remeh pemberian seorang tetangga kepada tetangganya, sekalipun ujung kaki kambing. [HR Bukhari, no. 2566. Lihat Fathul Bari, 5/198] Juga dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian saling mencinta. [HR Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 594. Ibnu Hajar berkata,Sanadnya shahih] Tentang anjuran saling memberi hadiah, di kalangan ulama telah terjadi Ijma, karena Ia memberikan pengaruh yang positif di masyarakat; baik bagi yang memberi maupun yang menerima. Bagi yang memberi, itu sebagai cara melepaskan diri dari sifat bakhil, sarana untuk saling menghormati dan sebagainya. Sedangkan kepada yang diberi, sebagai salah satu bentuk memberi kelapangan terhadapnya, hilangnya kecemburuan dan kecurigaan, bahkan mendatangkan rasa cinta dan persatuan dengan sesama. PERBEDAAN ANTARA SUAP DENGAN HADIAH Seorang muslim yang mengetahui perbedaan ini, maka ia akan dapat membedakan jalan yang hendak Ia tempuh, halal ataukah haram. Perbedaan tersebut, di antaranya : 1). Suap adalah, pemberian yang diharamkan syariat, dan ia termasuk pemasukan yang haram dan kotor. Sedangkan hadiah merupakan pemberian yang dianjurkan syariat, dan ia termasuk pemasukan yang halal bagi seorang muslim. 2). Suap, ketika memberinya tentu dengan syarat yang tidak sesuai dengan syariat, baik syarat tersebut disampaikan secara langsung maupun secara tidak langsung. Sedangkan hadiah, pemberiannya tidak bersyarat. 3). Suap, diberikan untuk mencari muka dan mempermudah dalam hal yang batil. Sedangkan hadiah, ia diberikan dengan maksud untuk silaturrahim dan kasih-sayang, seperti kepada kerabat, tetangga atau teman, atau pemberian untuk membalas budi.[12] 4). Suap, pemberiannya dilakukan secara sembunyi, dibangun berdasarkan saling tuntut- menuntut, biasanya diberikan dengan berat hati. Sedangkan hadiah, pemberian terang-terangan atas dasar sifat kedermawanan. 5). Suap -biasanya- diberikan sebelum pekerjaan, sedangkan hadiah diberikan setelahnya. [13] HUKUM PEMBERIAN KEPADA PEGAWAI Pada dasarnya, pemberian seseorang kepada saudaranya muslim merupakan perbuatan terpuji dan dianjurkan oleh syariat. Hanya, permasalahannya menjadi berbeda, jika pemberian tersebut untuk tujuan duniawi, tidak ikhlas mengharapkan ridha Allah semata.Tujuan duniawi yang dimaksud, juga berbeda-beda hukumnya sesuai dengan seberapa jauh dampak dan kerusakan yang ditimbulkan dari pemberian tersebut. Terdapat riwayat yang sangat menarik untuk menggambarkan penmasalahan ini. Dan Abu Hamid as Saidi Radhiyallahu anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengangkat salah seorang dari suku Azad sebagai petugas yang mengambil zakat Bani Sulaim. Orang memanggilnya dengan Ibnul Lutbiah. Ketika datang, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengaudit hasil zakat yang dikumpulkannya. Ia (orang tersebut, Red) berkata,Ini harta kalian, dan ini hadiah, Kemudian Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berkata kepadanya: Kalau engkau benar, mengapa engkau tidak duduk saja di rumah ayah atau ibumu, sampai hadiah itu mendatangimu? Lalu beliau berkhutbah, memanjatkan pujian kepada Allah azza wa jalla , Lalu beliau bersabda : Aku telah tugaskan seseorang dari kalian sebuah pekerjaan yang Allah azza wa Jalla telah pertanggungjawakan kepadaku, Lalu ia datang dan berkata yang ini harta kalian, sedangkan yang ini hadiah untukku. Jika dia benar, mengapa ia tidak duduk saja di rumah ayah atau ibunya, kalau benar hadiah itu mendatanginya. Demi Allah , tidak boleh salah seorang kalian mengambilnya tanpa hak, kecuali dia bertemu dengan Allah dengan membawa unta yang bersuara, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik, lalu beliau Shallallahu alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya hingga nampak ketiaknya, dan berkata: Ya Allah, telah aku sampaikan, (rawi berkata),Aku Lihat langsung dengan kedua mataku, dan aku dengar dengan kedua telingaku. [HR Bukhari, 6979 dan Mustim, 1832] Karena seringnya orang mempermainkan istilah syariat, sehingga sesuatu yang haram dianggapnya bisa menjadi halal. Begitu pula dengan suap. Di-istilahkan dengan bonus atau fee dan sebagainya. Maka, yang terpenting bagi seorang muslim adalah. harus mengetahui bentuk pemberian tersebut dan hukum syariat tentang permasalahan itu. Dalam Pemberian Sesuatu Kepada Pegawai. Terbagi Dalam Tiga Bagian. Pertama : Pemberian Yang Diharamkan Memberi. Maupun Mengambilnya.[14] Kaidahnya, pemberian tersebut bentujuan untuk sesuatu yang batil, ataukah pemberian atas sebuah tugas yang memang wajib dilakukan oleh seorang pegawai. Misalnya pemberian kepada pegawai setelah ia menjabat atau diangkat menjadi pegawai pada sebuah instansi. Dengan tujuan mengambil hatinya tanpa hak, baik untuk kepentingan sekarang maupun untuk masa akan datang, yaitu dengan menutup mata terhadap syarat yang ada untuknya, dan atau memalsukan data, atau mengambil hak orang Lain, atau mendahulukan pelayanan kepadanya daripada orang yang lebih berhak, atau memenangkan perkaranya, dan sebagainya. Diantara permisalan yang juga tepat dalam permasalahan ini adalah, pemberian yang diberikan oleh perusahaan atau toko kepada pegawainya, agar pegawainya tersebut merubah data yang seharusnya, atau merubah masa berlaku barang, atau mengganti nama perusahaan yang memproduksi, dan sebagainya. Kedua : Pemberian Yang Terlarang Mengambilnya, Dan Diberi Keringanan Dalam Memberikannya. Kaidahnya, pemberian yang dilakukan secara terpaksa, karena apa yang menjadi haknya tidak dikerjakan, atau disengaja diperlambat oleh pegawai bersangkutan yang seharusnya memberikan pelayanan. Sebagai misal, pemberian seseorang kepada pegawai atau pejabat, yang ia lakukan karena untuk mengambil kembali haknya, atau untuk menolak kezhaliman terhadap dirinya. Apalagi Ia melihat, jika sang pegawai tersebut tidak diberi sesuatu (uang, misalnya), maka ia akan melalaikan, atau memperlambat prosesnya, atau ia memperlihatkan wajah cemberut dan masam. [15] Syaikhul Islam Ibnu TaImiyyah rahimahullah berkata : Jika seseorang memberi hadiah (dengan maksud) untuk menghentikan sebuah kezhaLiman atau menagih haknya yang wajib, maka hadiah ini haram bagi yang mengambil, dan boleh bagi yang memberi. Sebagaimana Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Sesungguhnya aku seringkali memberi pemberian kepada seseorang, lalu ia keluar menyandang api (neraka), ditanyakan kepada beliau,Ya, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Mengapa engkau memberi juga kepada mereka? Beliau menjawab, Mereka tidak kecuali meminta kepadaku, dan Allah tidak menginginkanku bakhil. [16] Ketiga : Pemberian Yang Diperbolehkan, Bahkan Dianjurkan Memberi Dan Mengambilnya. Kaidahnya, suatu pemberian dengan tujuan mengharapkan ridha Allah Subhanahu wa Taala untuk memperkuat tali silaturahim atau menjalin ukhuwah Islamiah, dan bukan bertujuan memperoleh keuntungan duniawi. Di bawah ini ada beberapa permasalahan, yang hukumnya masuk dalam bagian ini, sekalipun yang afdhal bagi pegawai, tidak menerima hadiah tersebut, sebagai upaya untuk menjauhkan diri dari tuduhan dan sadduz zariah (penghalang) baginya dari pemberian yang haram. 1). Hadiah seseorang yang tidak mempunyai kaitan dengan pekerjaan (usahanya). Sebelum orang tersebut menjabat, ia sudah sering juga memberi hadiah, karena hubungan kerabat atau yang lainnya. Dan pemberian itu tetap tidak bentambah, meskipun yang ia beri sekarang sedang menjabat. 2). Hadiah orang yang tidak biasa memberi hadiah kepada seorang pegawai yang tidak berlaku persaksiannya, seperti Qodi bersaksi untuk anaknya, dan hadiah tersebut tidak ada hubungannya dengan usahanya. 3). Hadiah yang telah mendapat izin dan oleh pemerintahannya atau instansinya. 4). Hadiah atasan kepada bawahannya. 5). Hadiah setelah ia meninggalkan jabatannya, dan yang lain-lain. Demikian penmasalahan hadiah, yang ternyata cukup pelik kita hadapi. Apalah lagi dengan perbuatan ghulul? Ghulul adalah mencuri secara diam-diam. Perbuatan ini, tentu lebih tidak boleh dilakukan. Dalam sebuah hadits disebutkan : Dari Adi bin Amirah Radhiyallahu anhu , ia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda : Barangsiapa yang kami tunjuk untuk sebuah pekerjaan, Lalu ia menyembunyikan sebuah jarum atau lebih, berarti Ia telah berbuat ghulul mencuri secara diam-diam) yang harus ia bawa nanti pada hari kiamat. Dia (Adi) berkata : Tiba-tiba seorang laki-laki Anshar berkulit hitam, ia tegak bendiri seakan-akan aku melihatnya, lalu ia berkata: Ya, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, tawarkan pekerjaan kepadaku, beliau bersabda, Apa gerangan? Dia berkata, Aku mendengar engkau baru saja berkata begini dan begini, Lalu beliau Shallallahu alaihi wa sallam, bersabda, Saya tegaskan kembali. Barangsiapa yang kami tunjuk untuk mengerjakan sesuatu, maka hendaklah ia membawa semuanya, yang kecil maupun yang besar. Apa yang diberikan kepadanya, ia ambil. Dan apa yang dilarang mengambilnya, ia tidak mengambilnya.[HR Muslim, no. 1833] SOLUSI SUAP DAN HADIAH YANG HARAM Permasalahan suap dan pemberian hadiah yang membudaya di masyarakat ini, dikenal di tengah masyarakat seiring dan berkelindan dengan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Perbuatan ini merupakan penyakit yang sudah sangat akut. Penyebab utamanya adalah kebodohan terhadap syariat Islam yang hanif ini, sehingga banyak perintah yang ditinggalkan, dan ironisnya banyak larangan yang dikerjakan. Rizki yang didapatkan tidak halal, ia tidak akan mampu mendatangkan kebahagiaan. Ketika satu kemaksiatan dilakukan, itu berarti menanam dan menebarkan kemaksiatan Lainnya. Dia akan menggeser peran hukum, sehingga peraturan syariat tidak lagi mudah dipraktekkan. Padahal untuk mendapatkan kebahagian, Islam haruslah dijalankan secara kafah (menyeluruh). Secara singkat, solusi memberantas suap maupun penyakit sejenisnya, terbagi dalam dua hal. Pertama : Solusi Untuk Individu Dan Masyarakat. 1). Setiap individu muslim hendaklah memperkuat ketakwaannya kepada Allah Subhanahu wa Taala. Takwa merupakan wasiat Allah Subhanahu wa Taala untuk umat yang terdahulu dan yang kemudian. Dengan takwa ia mengetahui perintahNya lalu melaksanakannya, dan mengetahui laranganNya lalu menjauhinya. 2). Berusaha menanamkan pada setiap diri sifat amanah, dan menghadirkan ke dalam hati besarnya dosa yang akan ditanggung oleh orang yang tidak menunaikan amanah. Dalam hat ini, peran agama memiliki pengaruh sangat besar, yaitu dengan penanaman akhlak yang mulia. 3). Setiap individu selalu belajar memahami rizki dengan benar. Bahwa membahagiakan diri dengan harta bukanlah dengan cara yang diharamkan Allah Subhanahu wa Taala, akan tetapi dengan mencari rizki yang halal dan hidup dengan qanaah, sehingga Allah Subhanahu wa Taala akan memberi berkah pada hartanya, dan Ia dapat berbahagia dengan harta tersebut. 4). Menghadirkan ke dalam hati, bahwa di balik penghidupan ini ada kehidupan yang kekal, dan setiap orang akan diminta pertanggungjawabannya di hadapan Allah Subhanahu wa Taala. Semua perbuatan manusia akan ditanya oleh Allah Subhanahu wa Taala tentang hartanya, dari mana engkau mendapatkannya, dan kemana engkau habiskan? Jika seseorang selamat pada pertanyaan pertama, belum tentu ia selamat pada pertanyaan berikutnya. Kedua : Solusi Untuk Ulil Amri (Pemerintah). 1). Jika ingin membersihkan penyakit masyarakat ini, hendakah memulai dari mereka sendiri. Pepatah Arab mengatakan, rakyat mengikuti agama rajanya. Jika rajanya baik, maka masyarakat akan mengikutinya, dan sebaliknya. 2). Bekerjasama dengan para dai untuk menghidupkan ruh tauhid dan keimanan kepada Allah Subhanahu wa Taala. Jika tauhid telah lurus dan iman telah benar, maka, semuanya akan berjalan sesuai yang diinginkan oleh setiap diri seorang muslim. 3). Jika mengangkat seorang pejabat atau pegawai, hendaklah mengacu kepada dua syarat, yaitu keahlian, dan amanah. Jika kurang salh satu dari dua syarat tersebut, tak mustahil terjadi kerusakan. Kemudian, memberi hukuman sesuai dengan syariat bagi yang melanggarnya. 4). Semua pejabat pemerintah seharusnya mencari penasihat dan bithanah (orang dekat) yang shalih, yang menganjurkannya untuk berbuat baik, dan mencegahnya dari berbuat buruk. Seiring dengan itu, Ia juga menjauhi bithanah yang thalih. Demikian yang dapat dikemukakan dalam permasatalan ini Semoga Allah Subhanahu wa Taala memberi kekuatan kepada kaum Muslimin untuk menegakkan agamanya pada kehidupan ini, sehingga dapat meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Wallahu alam bish showab. [Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183] _________ Foot Note. [1]. Al Hawil Kabir, 19/180. [2]. Lihat Subulussalam, Shanani, 1/216. [3]. Kamus Besar Bahasa Indenesia, hlm. 720, dan semakna dengan defimsi para ulama. Lihat juga Mukhtarush Shihah, hlm. 244 dan Qamus Muhith, 4/336. [4]. Aqrabul Masalik, 5/341,342. [5]. Kamus Besar Bahasa Indenesia, hlm. 154. [6]. Az Zawajir, Haitsami 1/131, senada dengan yang ditafsirkan al Baghawi, Syarhussunnah, 10/88. [7]. Ahkamul Quran, al Qurthubi, 16/208. [8]. Al Mughni, 11/437. [9]. Ibid. [10]. An Nihayah, 2/226. [11]. Subulussalam, 1/216. [12]. Ar-Ruh, Ibnul Qayyim, 1/240. [13]. Lihat pembahasan ini di kitab Hadaya Lil Muwazhzhafin, Dr. al Hasyim, hal 27-29. [14]. Ibid, hlm. 35-79. [15]. Bahkan di banyak kejadian, pemberian seperti itu sudah merupakan hal wajib, sampai-sampai mereka tidak sungkan dan tidak lagi tahu malu dengan menghardik orang yang tidak memberikan uang kepadanya. [16]. Majmu Fatawa, 31/286. Lihat pula pembahasan ini di Fathul Qadir 7/255, Mawahibul Jalil 6/121, al Hawil Kabir, 16/283; Nailul Author, 10/259-261. _________________________________________________________________ Windows Live Spaces is here! Its easy to create your own personal Web site. |
Re: Tanya : Adakah hukum karma
Wa'alaikumsalam warahmatullahiwabarakatuh,
toggle quoted message
Show quoted text
Dalam kajian Syarah Aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah di Radio Rodja hari sabtu pagi tgl. 24 Nov. lalu, ada pertanyaan yg sama mengenai adakah hukum karma dan hukum alam ? Dijawab oleh Ustad Yazid bin Abdul Qadir Jawas, bahwa tidak ada hukum karma atau hukum alam yang ada adalah hukum Allah. Wassalamu'alaikum warahmatullahiwabarakatuh, Melda On 11/24/07, Frida Meutia <frida.mk@...> wrote:
|
Re: >> Tanya : Gadai sawah<<
Kalau misalnya yang dipegang oleh pemberi hutang hanya surat tanah sedangkan
sawah tsb tetap dikelola oleh pemiliknya gimana ? apakah masih dianggap gadai ? On 11/26/07, Saipah Gathers <saipahgathers@...> wrote: MEMANFAATKAN BARANG GADAI Oleh Ustadz Kholid Syamhudi [2]. Pembiayaan, Pemeliharaan, Pemanfaatan Barang Gadai Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (Rahin). Adapun Murtahin, ia tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut, kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya, maka boleh menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam arti pemeliharaan barang tersebut). Pemanfaatan barang gadai tesebut, tentunya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini di dasarkan sabda Rasululloh Shallallahu ¡®alaihi wa sallam ?¨¢??¨®?¨²?? ¨ª??¨²?¨®?? ???¨®? ?¨®??¨® ?¨®?¨²?????? ?¨®¨¢¨®?¨®?? ?¨¢??¨®??? ¨ª??¨²?¨®?? ???¨®? ?¨®??¨® ?¨®?¨²?????? ?¨®?¨®¨¢¨®¨¬ ?¨¢?¨®??¨ª ¨ª¨®?¨²?¨®?? ?¨®¨ª¨®?¨²?¨®?? ?¨®?¨®?¨®???? ¡°Artinya : Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari hewan) diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum, (untuk) memberi nafkahnya. [Hadits Shahih riwayat At-Tirmidzi] Menurut Syaikh Al Basaam, ulama sepakat bahwa biaya pemeliharaan barang gadai dibebankan kepada pemiliknya. Demikian juga pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut juga menjadi miliknya, kecuali pada dua hal, yaitu kendaraan dan hewan yang memiliki air susu yang diperas oleh yang menerima gadai. [25] Penulis kitab Al-Fiqhul Muyassarah mengatakan, manfaat dan pertumbuhan barang gadai menjadi hak pihak penggadai, karena barang itu meupakan miliknya. Ornang lain tidak boleh mengambilnya tanpa seizinnya. Bila ia mengizinkan Murtahin (pemberi hutang) untuk mengambil manfaat barang gadainya tanpa imbalan, dan hutang gadainya dihasilkan dari peminjaman maka tidak boleh, karena itu berarti peminjaman hutang yang menghasilkan manfaat. Akan tetapi, bila barang gadainya berupa kendaraan atau hewan yang memiliki susu perah, maka Murtahin mengendarainya dan memeras susunya, sesuai besarnya nafkah tanpa izin dari penggadai karena sabda Rasulullah. ?¨¢??¨®?¨²?? ¨ª??¨²?¨®?? ???¨®?¨®?¨®???? ???¨®? ?¨®??¨® ?¨®?¨²?????? ?¨®¨¢¨®?¨®?? ?¨¢??¨®??? ¨ª??¨²?¨®?? ???¨®?¨®?¨®???? ???¨®? ?¨®??¨® ?¨®?¨²?????? ?¨®?¨®¨¢¨®¨¬ ?¨¢?¨®??¨ª ¨ª¨®?¨²?¨®?? ?¨®¨ª¨®?¨²?¨®?? ?¨¢??¨®?¨®?¨®?? ¡°Artinya : Ar-Rahn (Gadai) ditunggangi dengan sebab nafkahnya, apabila digadaikan dan susu hewan menyusui diminum dengan sebab nafkah, apabila digadaikan. Dan wajib bagi menungganginya dan meminumnya (untuk) memberinafkah¡± [HR Al Bukhori no. 2512] Demikian madzhab Hanabilah. Adapun mayotitas ulama fiqih dari Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi'iyah mereka memandang Murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang gadai. Pemanfaatan hanyalah hak penggadai dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ¡®alaihi wa sallam ¨¢¨®?? ???¨²???? ?¨®?¨®¨¢¨®¨ª¨²?? ?¨®?¨®???? ¡°Artinya : Ia yang berhak memanfaatkannya dan wajib baginya biaya pemeliharaannya¡± [HR Al daraquthni dan Al Hakim] Mereka tidak mengamalkan hadits pemanfaatan kendaraan dan hewan perah sesuai nafkahnya, kecuali Ahmad dan inilah yang rajih Insya Allah karena hadits shohih tersebut. [26] Ibnul Qayyim rahimahullah memberikan komentar terhadap hadits pemanfaatan kendaraan gadai, bahwa hadits ini dan kaidah dan ushul syari'at menunjukkan, hewan gadai dihormati karena hak Allah. Pemiliknya memiliki hak kepemilikan, dan Murtahin (yang memberikan hutang) memiliki atasnya sebagai hak jaminan. Bila barang gadai tersebut ditangannya, lalu tidak dinaiki dan tidak diperas susunya, tentu kemanfaatannya akan hilang secara sia-sia. Sehingga tuntutan keadilan, analogi (qiyas) dan kemaslahatan penggadai, pemegang barang gadai (Murtahin) dan hewan tersebut, ialah Murtahin mengambil manfaat mengendarai dan memeras susunya, dan menggantikannya dengan menafkahi (hewan tersebut). Bila Murtahin menyempurnakan pemanfaatannya dan menggantinya dengan nafkah, maka dalam hal ini terdapat kompromi dua kemaslahatan dan dua hak.[27] [3]. Pertumbuhan Barang Gadai Pertumbuhan atau pertambahan barang gadai setelah digadaikan adakalanya bergabung dan adakalanya terpisah. Bila tergabung seperti, (bertambah) gemuk, maka ia masuk dalam barang gadai dengan kesepakatan ulama. Sedangkan jika terpisah, maka dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan yang menyepakatinya memandang pertambahan atau pertumbuhan barang gadai yang terjadi setelah barang gadai ditangan Murtahin, maka ikut kepada barang gadai tersebut. Sedangkan Imam Syafi¡¯i dan Ibnu Hazm dan yang menyepatinya memandang, pertambahan atau pertumbuhan bukan ikut barang gadai, tetapi menjadi milik orang yang menggadaikannya. Hanya saja Ibnu Hazm berbeda dengan Syafi¡¯i menyangkut barang gadai yang berupa kendaraan dan hewan menyusui. Ibnu Hazm berpendapat, dalam kendaraan dan hewan yang menyusui, (pertambahan dan pertumbuhannya) milik yang menafkahinya [28] [4]. Perpindahan Kepemilikan Dan Pelunasan Hutang Dengan Barang Gadai Barang gadai tidak berpindah kepemilikannya kepada Murtahin apabila telah selesai masa perjanjiannya, kecuali dengan izin orang yang menggadaikannya (Rahin), dan rahin tidak mampu melunasinya Pada zaman jahiliyah dahulu apabila telah jatuh tempo pembayaran hutang dan orang yang menggadaikan belum melunasi hutangnya kepada pihak yang berpiutang, maka pihak yang berpiutang menyita barang gadai tersebut secara langsung tanpa izin orang yang menggadaikannya. Lalu Islam membatalkan cara yang dzalim ini dan menjelaskan bahwa barang gadai tersebut adalah amanat pemiliknya ditangan pihak yang berpiutang, tidak boleh memaksa orang yang menggadaikannya menjualnya kecuali dalam keadaan tidak mampu melunasi hutangnya tesebut. Bila tidak mampu melunasi saat jatuh tempo, maka barang gadai tersebut dijual untuk membayar pelunasan hutang tersebut. Apa bila ternyata ada sisanya maka sisa tersebut menjadi hak pemilik barang gadai tersebut (orang yang menggadaikan barang tersebut). Sebaliknya, bila harga barang tersebut belum dapat melunasi hutangnya, maka orang yang menggadaikannya tersebut masih menanggung sisa hutangnya.[29] Kesimpulannya, barang gadai adalah milik orang yang menggadaikannya. Namun bila telah jatuh tempo, maka penggadai meminta kepada Murtahin untuk menyelesaikan permasalah hutangnya, dikarenakan hutangnya yang sudah jatuh tempo, harus dilunasi seperti hutang tanpa gadai. Bila Rahin dapat melunasi seluruhnya tanpa (menjual atau memindahkan kepemilikian) barang gadainya, maka Murtahin harus melepas barang tersebut. Adapun bila Rahin tidak mampu melunasi seluruhnya atau sebagiannya, maka wajib bagi orang yang menggadaikan (Ar-Rahin) menjual sendiri barang gadainya atau melalui wakilnya, dengan izin dari Murtahin, dan dalam pembayaran hutnganya didahulukan Murtahin atas pemilik piutang lainnya. Apabila penggadai tersebut enggan melunasi hutangnya dan tidak mau menjual barang gadainya, maka pemerintah boleh menghukumnya dengan penjara, agar ia menjual barang gadainya tersebut. Apabila tidak juga menjualnya maka pemerintah menjual barang gadai tersebut dan melunasi hutang tersebut dari nilai hasil jualnya. Demikianlah pendapat madzhab Syafi'iyah dan Hambaliyah. Adapun Malikiyah, mereka memandang pemerintah boleh menjual barang gadainya tanpa memenjarakannya dan melunasi hutang tersebut dengan hasil penjualannya. Sedangkan Hanafiyah memandang, Murtahin boleh menagih pelunasan hutang kepada penggadai dan meminta pemerintah untuk memenjarakannya, bila tampak pada Ar-Rahin tidak mau melunasinya. Pemerintah (pengadilan) tidak boleh menjual barang gadainya, namun memenjarakannya saja, sampai ia menjualnya dalam rangka menolak kedzoliman.[30] Yang rajih, pemerintah menjual barang gadainya dan melunasi hutangnya dengan hasil penjualan tersebut tanpa memenjarakan sang penggadai tersebut, karena tujuannya adalah membayar hutang, dan tujuan itu terwujud dengan menjual barang gadai tersebut. Juga untuk mencegah adanya dampak negative di masyarakat dan lainnya, jika diberlakukan penjara. Apabila barang gadai tersebut dapat menutupi seluruh hutangnya, maka selesailah hutang tersebut. Namun bila tidak dapat menutupinya, maka penggadai tersebut tetap memiliki hutang sisa, antara nila barang gadai denan hutangnya dan ia wajib melunasinya. Demikianlah keindahan Islam dalam permasalah gadai. Penyelesaian dan pelunasan hutang dilakukan secara adil. Tidak seperti yang dilakukan di tengah masyarakat kebanyakan. Yakni terjadinya tindak kezhaliman yang dilakukan pemilik piutang, dengan cara menyita barang gadai, walau nilainya lebih besar dari hutangnya, bahkan mungkin berlipat-lipat. Perbuatan semacam ini, sangat jelas merupakan perbuatan Jahiliyah dan perbuatan zhalim yang harus dihilangkan. Semoga kita terhindar dari perbuiatan ini. Wallahul Muwaffiq. |
Tanya Software / tools multimedia
Assalammu'alaikum warohmatullaahi wa barokaatuh
Mau Tanya mungkin ada ihkwan sekalian yang memiliki software atau multimedia tools untuk belajar bahasa Arab bagi pemula dan lanjutan lengkap dengan buku panduannya dan metode pengajarannya. Ana berencana untuk membuat tempat kursus gratis bahasa arab dan bahasa inggris dengan sistem multimedia ( 10 Komputer ). Jika ada yang memiliki mohon anan di beritahu harga nya dan harus beli di mana. Jazaakumullahu khoiron.. Wassalaamu'alaykum warohmatullaahi wa barokaatuhn - 0815 1818 057 |
Re: Tanya : Belajar Al-Qur'an
Chandraleka
Assalamu'alaikum wa rahmatullah wa barakatuh ...
toggle quoted message
Show quoted text
Saya kira guru yang ditanyakan oleh saudari EMY tersebut insya Allah tidak masuk dalam kriteria yang dibawakan oleh saudara Rizky Damanhuri. Insya Allah belum masuk dalam kriteria pertama. Untuk kriteria kedua juga belum tentu. Karena yang ditanyakan adalah belajar baca Al Qur'an kepada guru tsb. Boleh jadi guru tersebut memang paham, atau di lingkungan tempat kantornya dialah yang paling paham dari yang lain. Insya Allah belum masuk kriteria ketiga. Karena tidak ada indikasinya. Untuk kriteria keempat, wallahu'alam. Jadi, bagaimana bila ada pandangan yang membolehkan belajar baca Al Qur'an kepada guru tsb dengan syarat : sepanjang guru tersebut tidak mengajak pada kebid'ahannya dan kita bisa aman dari bid'ahnya?? Wassalamu'alaikum Abu Isa Hasan Cilandak al Faqir ila Allah ----- Original Message -----
1a. Re: Tanya : Belajar Al-Qur'an |
Re: >> Tanya : Gadai sawah<<
Assalamu'alaykum Warohmatullahiwabarokaatuh,
toggle quoted message
Show quoted text
Afwan, saya masih kurang faham ttg status sawah ini,sebab dalam hadith hanya ada hewan tunggangan dan penghasil susu,jadi boleh dipakai,jika hewan tidak diperas,kemungkinan sakit, masalah sawah ini, adalah lahan kosong tidak tertanam padi,jika tidak di tanami akan terbengkalai,dengan kesepakatan itulah,si B dengan punya modal membiayai/menanam padi di sawah itu sampai menghasilkan panen. salam umm Ismael. ----- Original Message ----
From: Abu Abdillah <abdullah_abu@...> To: assunnah@... Sent: Monday, November 26, 2007 2:14:34 AM Subject: Re: [assunnah]>> Tanya : Gadai sawah<< From: Saipah Gathers <saipahgathers@...>Alhamdulillah..., Si B (pemberi hutang) tidak boleh mengambil manfaat dari sawah gadai tersebut, karena itu berarti peminjaman hutang yang menghasilkan manfaat. Ringkasnya saya copy dari almanhaj, dan untuk lebih lebih lengkanya silakan merujuknya.Wallahu 'alam MEMANFAATKAN BARANG GADAI Oleh Ustadz Kholid Syamhudi [2]. Pembiayaan, Pemeliharaan, Pemanfaatan Barang Gadai Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (Rahin). Adapun Murtahin, ia tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut, kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya, maka boleh menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam arti pemeliharaan barang tersebut). Pemanfaatan barang gadai tesebut, tentunya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini di dasarkan sabda Rasululloh Shallallahu ¡®alaihi wa sallam ?¨¢??¨®?¨²?? ¨ª??¨²?¨®?? ???¨®? ?¨®??¨® ?¨®?¨²?????? ?¨®¨¢¨®?¨®?? ?¨¢??¨®??? ¨ª??¨²?¨®?? ???¨®? ?¨®??¨® ?¨®?¨²?????? ?¨®?¨®¨¢¨®¨¬ ?¨¢?¨®??¨ª ¨ª¨®?¨²?¨®?? ?¨®¨ª¨®?¨²?¨®?? ?¨®?¨®?¨®???? ¡°Artinya : Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari hewan) diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum, (untuk) memberi nafkahnya. [Hadits Shahih riwayat At-Tirmidzi] Menurut Syaikh Al Basaam, ulama sepakat bahwa biaya pemeliharaan barang gadai dibebankan kepada pemiliknya. Demikian juga pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut juga menjadi miliknya, kecuali pada dua hal, yaitu kendaraan dan hewan yang memiliki air susu yang diperas oleh yang menerima gadai. [25] Penulis kitab Al-Fiqhul Muyassarah mengatakan, manfaat dan pertumbuhan barang gadai menjadi hak pihak penggadai, karena barang itu meupakan miliknya. Ornang lain tidak boleh mengambilnya tanpa seizinnya. Bila ia mengizinkan Murtahin (pemberi hutang) untuk mengambil manfaat barang gadainya tanpa imbalan, dan hutang gadainya dihasilkan dari peminjaman maka tidak boleh, karena itu berarti peminjaman hutang yang menghasilkan manfaat. Akan tetapi, bila barang gadainya berupa kendaraan atau hewan yang memiliki susu perah, maka Murtahin mengendarainya dan memeras susunya, sesuai besarnya nafkah tanpa izin dari penggadai karena sabda Rasulullah. ?¨¢??¨®?¨²?? ¨ª??¨²?¨®?? ???¨®?¨®?¨®???? ???¨®? ?¨®??¨® ?¨®?¨²?????? ?¨®¨¢¨®?¨®?? ?¨¢??¨®??? ¨ª??¨²?¨®?? ???¨®?¨®?¨®???? ???¨®? ?¨®??¨® ?¨®?¨²?????? ?¨®?¨®¨¢¨®¨¬ ?¨¢?¨®??¨ª ¨ª¨®?¨²?¨®?? ?¨®¨ª¨®?¨²?¨®?? ?¨¢??¨®?¨®?¨®?? ¡°Artinya : Ar-Rahn (Gadai) ditunggangi dengan sebab nafkahnya, apabila digadaikan dan susu hewan menyusui diminum dengan sebab nafkah, apabila digadaikan. Dan wajib bagi menungganginya dan meminumnya (untuk) memberinafkah¡± [HR Al Bukhori no. 2512] Demikian madzhab Hanabilah. Adapun mayotitas ulama fiqih dari Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi'iyah mereka memandang Murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang gadai. Pemanfaatan hanyalah hak penggadai dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ¡®alaihi wa sallam ¨¢¨®?? ???¨²???? ?¨®?¨®¨¢¨®¨ª¨²?? ?¨®?¨®???? ¡°Artinya : Ia yang berhak memanfaatkannya dan wajib baginya biaya pemeliharaannya¡± [HR Al daraquthni dan Al Hakim] Mereka tidak mengamalkan hadits pemanfaatan kendaraan dan hewan perah sesuai nafkahnya, kecuali Ahmad dan inilah yang rajih Insya Allah karena hadits shohih tersebut. [26] Ibnul Qayyim rahimahullah memberikan komentar terhadap hadits pemanfaatan kendaraan gadai, bahwa hadits ini dan kaidah dan ushul syari'at menunjukkan, hewan gadai dihormati karena hak Allah. Pemiliknya memiliki hak kepemilikan, dan Murtahin (yang memberikan hutang) memiliki atasnya sebagai hak jaminan. Bila barang gadai tersebut ditangannya, lalu tidak dinaiki dan tidak diperas susunya, tentu kemanfaatannya akan hilang secara sia-sia. Sehingga tuntutan keadilan, analogi (qiyas) dan kemaslahatan penggadai, pemegang barang gadai (Murtahin) dan hewan tersebut, ialah Murtahin mengambil manfaat mengendarai dan memeras susunya, dan menggantikannya dengan menafkahi (hewan tersebut). Bila Murtahin menyempurnakan pemanfaatannya dan menggantinya dengan nafkah, maka dalam hal ini terdapat kompromi dua kemaslahatan dan dua hak.[27] [3]. Pertumbuhan Barang Gadai Pertumbuhan atau pertambahan barang gadai setelah digadaikan adakalanya bergabung dan adakalanya terpisah. Bila tergabung seperti, (bertambah) gemuk, maka ia masuk dalam barang gadai dengan kesepakatan ulama. Sedangkan jika terpisah, maka dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan yang menyepakatinya memandang pertambahan atau pertumbuhan barang gadai yang terjadi setelah barang gadai ditangan Murtahin, maka ikut kepada barang gadai tersebut. Sedangkan Imam Syafi¡¯i dan Ibnu Hazm dan yang menyepatinya memandang, pertambahan atau pertumbuhan bukan ikut barang gadai, tetapi menjadi milik orang yang menggadaikannya. Hanya saja Ibnu Hazm berbeda dengan Syafi¡¯i menyangkut barang gadai yang berupa kendaraan dan hewan menyusui. Ibnu Hazm berpendapat, dalam kendaraan dan hewan yang menyusui, (pertambahan dan pertumbuhannya) milik yang menafkahinya [28] [4]. Perpindahan Kepemilikan Dan Pelunasan Hutang Dengan Barang Gadai Barang gadai tidak berpindah kepemilikannya kepada Murtahin apabila telah selesai masa perjanjiannya, kecuali dengan izin orang yang menggadaikannya (Rahin), dan rahin tidak mampu melunasinya Pada zaman jahiliyah dahulu apabila telah jatuh tempo pembayaran hutang dan orang yang menggadaikan belum melunasi hutangnya kepada pihak yang berpiutang, maka pihak yang berpiutang menyita barang gadai tersebut secara langsung tanpa izin orang yang menggadaikannya. Lalu Islam membatalkan cara yang dzalim ini dan menjelaskan bahwa barang gadai tersebut adalah amanat pemiliknya ditangan pihak yang berpiutang, tidak boleh memaksa orang yang menggadaikannya menjualnya kecuali dalam keadaan tidak mampu melunasi hutangnya tesebut. Bila tidak mampu melunasi saat jatuh tempo, maka barang gadai tersebut dijual untuk membayar pelunasan hutang tersebut. Apa bila ternyata ada sisanya maka sisa tersebut menjadi hak pemilik barang gadai tersebut (orang yang menggadaikan barang tersebut). Sebaliknya, bila harga barang tersebut belum dapat melunasi hutangnya, maka orang yang menggadaikannya tersebut masih menanggung sisa hutangnya.[29] Kesimpulannya, barang gadai adalah milik orang yang menggadaikannya. Namun bila telah jatuh tempo, maka penggadai meminta kepada Murtahin untuk menyelesaikan permasalah hutangnya, dikarenakan hutangnya yang sudah jatuh tempo, harus dilunasi seperti hutang tanpa gadai. Bila Rahin dapat melunasi seluruhnya tanpa (menjual atau memindahkan kepemilikian) barang gadainya, maka Murtahin harus melepas barang tersebut. Adapun bila Rahin tidak mampu melunasi seluruhnya atau sebagiannya, maka wajib bagi orang yang menggadaikan (Ar-Rahin) menjual sendiri barang gadainya atau melalui wakilnya, dengan izin dari Murtahin, dan dalam pembayaran hutnganya didahulukan Murtahin atas pemilik piutang lainnya. Apabila penggadai tersebut enggan melunasi hutangnya dan tidak mau menjual barang gadainya, maka pemerintah boleh menghukumnya dengan penjara, agar ia menjual barang gadainya tersebut. Apabila tidak juga menjualnya maka pemerintah menjual barang gadai tersebut dan melunasi hutang tersebut dari nilai hasil jualnya. Demikianlah pendapat madzhab Syafi'iyah dan Hambaliyah. Adapun Malikiyah, mereka memandang pemerintah boleh menjual barang gadainya tanpa memenjarakannya dan melunasi hutang tersebut dengan hasil penjualannya. Sedangkan Hanafiyah memandang, Murtahin boleh menagih pelunasan hutang kepada penggadai dan meminta pemerintah untuk memenjarakannya, bila tampak pada Ar-Rahin tidak mau melunasinya. Pemerintah (pengadilan) tidak boleh menjual barang gadainya, namun memenjarakannya saja, sampai ia menjualnya dalam rangka menolak kedzoliman.[30] Yang rajih, pemerintah menjual barang gadainya dan melunasi hutangnya dengan hasil penjualan tersebut tanpa memenjarakan sang penggadai tersebut, karena tujuannya adalah membayar hutang, dan tujuan itu terwujud dengan menjual barang gadai tersebut. Juga untuk mencegah adanya dampak negative di masyarakat dan lainnya, jika diberlakukan penjara. Apabila barang gadai tersebut dapat menutupi seluruh hutangnya, maka selesailah hutang tersebut. Namun bila tidak dapat menutupinya, maka penggadai tersebut tetap memiliki hutang sisa, antara nila barang gadai denan hutangnya dan ia wajib melunasinya. Demikianlah keindahan Islam dalam permasalah gadai. Penyelesaian dan pelunasan hutang dilakukan secara adil. Tidak seperti yang dilakukan di tengah masyarakat kebanyakan. Yakni terjadinya tindak kezhaliman yang dilakukan pemilik piutang, dengan cara menyita barang gadai, walau nilainya lebih besar dari hutangnya, bahkan mungkin berlipat-lipat. Perbuatan semacam ini, sangat jelas merupakan perbuatan Jahiliyah dan perbuatan zhalim yang harus dihilangkan. Semoga kita terhindar dari perbuiatan ini. |
Job opportunites in oil and gas (offshore platform project)...
Hardinal, H
¿ªÔÆÌåÓý?Assalamu'alaikum?ikhwati
Fillah,
?
Saya
coba posting kan lowongan berikut, barangkali ada dari??antum? yang berminat dan
cocok.
langsung aja kirim CV ke alamat email dibawah ini (Mr.
Brian Foster), jangan ke email saya.
?
?wassalaamu'alaikum?,
?
Hardinal
Hardinal ?----Original Message-----
From: Brian Foster [mailto:brian.foster@...] Sent: Monday, November 26, 2007 10:09 AM To: Hardinal, H Subject: Job opportunites in oil and gas (offshore platform project)... Dear
Hardinal,
?
My name is Brian Foster, Recruitment Executive for NesOverseas
Malaysia. We are a
UK based recruitment company
specializing in the oil & gas industry. Our client an oil and gas
engineering company is hiring :
?
1)
Instrument Design Engineer?(3 vacancies)? - Malaysia?
??? - 10yrs
experience
??? -?at least
5yrs experience in detailed engineering for offshore
projects.
????
2)
Instrument Designer (3) - Malaysia /
Brunei
??? -?10 yrs experience
??? -?at least 5yrs experience in offshore
projects.
?
3) Project Engineer (2) -
Brunei
????-?10 yrs experience
??? -?ideally
5yrs
experience in offshore
projects. ????- detail engineering / design
experience?
?
4) Lead Instrument Engineer (1)-
Brunei
??? - -?at least 12 yrs
experience
??? -?ideally
5yrs
experience in offshore projects.
????- detail engineering / design
experience? ?
?
? Kind
regards,
Brian Foster brian.foster@...?? Recruitment Executive NES Overseas Ltd Tel: 603-23812200 Fax: 603-23810700 Visit our Web Sites: | | | | | |
Re: >> Tanya : Gadai sawah<<
From: Saipah Gathers <saipahgathers@...>Alhamdulillah..., Si B (pemberi hutang) tidak boleh mengambil manfaat dari sawah gadai tersebut, karena itu berarti peminjaman hutang yang menghasilkan manfaat. Ringkasnya saya copy dari almanhaj, dan untuk lebih lebih lengkanya silakan merujuknya.Wallahu 'alam MEMANFAATKAN BARANG GADAI Oleh Ustadz Kholid Syamhudi [2]. Pembiayaan, Pemeliharaan, Pemanfaatan Barang Gadai Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (Rahin). Adapun Murtahin, ia tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut, kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya, maka boleh menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam arti pemeliharaan barang tersebut). Pemanfaatan barang gadai tesebut, tentunya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini di dasarkan sabda Rasululloh Shallallahu alaihi wa sallam Artinya : Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari hewan) diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum, (untuk) memberi nafkahnya. [Hadits Shahih riwayat At-Tirmidzi] Menurut Syaikh Al Basaam, ulama sepakat bahwa biaya pemeliharaan barang gadai dibebankan kepada pemiliknya. Demikian juga pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut juga menjadi miliknya, kecuali pada dua hal, yaitu kendaraan dan hewan yang memiliki air susu yang diperas oleh yang menerima gadai. [25] Penulis kitab Al-Fiqhul Muyassarah mengatakan, manfaat dan pertumbuhan barang gadai menjadi hak pihak penggadai, karena barang itu meupakan miliknya. Ornang lain tidak boleh mengambilnya tanpa seizinnya. Bila ia mengizinkan Murtahin (pemberi hutang) untuk mengambil manfaat barang gadainya tanpa imbalan, dan hutang gadainya dihasilkan dari peminjaman maka tidak boleh, karena itu berarti peminjaman hutang yang menghasilkan manfaat. Akan tetapi, bila barang gadainya berupa kendaraan atau hewan yang memiliki susu perah, maka Murtahin mengendarainya dan memeras susunya, sesuai besarnya nafkah tanpa izin dari penggadai karena sabda Rasulullah. Artinya : Ar-Rahn (Gadai) ditunggangi dengan sebab nafkahnya, apabila digadaikan dan susu hewan menyusui diminum dengan sebab nafkah, apabila digadaikan. Dan wajib bagi menungganginya dan meminumnya (untuk) memberinafkah [HR Al Bukhori no. 2512] Demikian madzhab Hanabilah. Adapun mayotitas ulama fiqih dari Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi'iyah mereka memandang Murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang gadai. Pemanfaatan hanyalah hak penggadai dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam Artinya : Ia yang berhak memanfaatkannya dan wajib baginya biaya pemeliharaannya [HR Al daraquthni dan Al Hakim] Mereka tidak mengamalkan hadits pemanfaatan kendaraan dan hewan perah sesuai nafkahnya, kecuali Ahmad dan inilah yang rajih Insya Allah karena hadits shohih tersebut. [26] Ibnul Qayyim rahimahullah memberikan komentar terhadap hadits pemanfaatan kendaraan gadai, bahwa hadits ini dan kaidah dan ushul syari'at menunjukkan, hewan gadai dihormati karena hak Allah. Pemiliknya memiliki hak kepemilikan, dan Murtahin (yang memberikan hutang) memiliki atasnya sebagai hak jaminan. Bila barang gadai tersebut ditangannya, lalu tidak dinaiki dan tidak diperas susunya, tentu kemanfaatannya akan hilang secara sia-sia. Sehingga tuntutan keadilan, analogi (qiyas) dan kemaslahatan penggadai, pemegang barang gadai (Murtahin) dan hewan tersebut, ialah Murtahin mengambil manfaat mengendarai dan memeras susunya, dan menggantikannya dengan menafkahi (hewan tersebut). Bila Murtahin menyempurnakan pemanfaatannya dan menggantinya dengan nafkah, maka dalam hal ini terdapat kompromi dua kemaslahatan dan dua hak.[27] [3]. Pertumbuhan Barang Gadai Pertumbuhan atau pertambahan barang gadai setelah digadaikan adakalanya bergabung dan adakalanya terpisah. Bila tergabung seperti, (bertambah) gemuk, maka ia masuk dalam barang gadai dengan kesepakatan ulama. Sedangkan jika terpisah, maka dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan yang menyepakatinya memandang pertambahan atau pertumbuhan barang gadai yang terjadi setelah barang gadai ditangan Murtahin, maka ikut kepada barang gadai tersebut. Sedangkan Imam Syafii dan Ibnu Hazm dan yang menyepatinya memandang, pertambahan atau pertumbuhan bukan ikut barang gadai, tetapi menjadi milik orang yang menggadaikannya. Hanya saja Ibnu Hazm berbeda dengan Syafii menyangkut barang gadai yang berupa kendaraan dan hewan menyusui. Ibnu Hazm berpendapat, dalam kendaraan dan hewan yang menyusui, (pertambahan dan pertumbuhannya) milik yang menafkahinya [28] [4]. Perpindahan Kepemilikan Dan Pelunasan Hutang Dengan Barang Gadai Barang gadai tidak berpindah kepemilikannya kepada Murtahin apabila telah selesai masa perjanjiannya, kecuali dengan izin orang yang menggadaikannya (Rahin), dan rahin tidak mampu melunasinya Pada zaman jahiliyah dahulu apabila telah jatuh tempo pembayaran hutang dan orang yang menggadaikan belum melunasi hutangnya kepada pihak yang berpiutang, maka pihak yang berpiutang menyita barang gadai tersebut secara langsung tanpa izin orang yang menggadaikannya. Lalu Islam membatalkan cara yang dzalim ini dan menjelaskan bahwa barang gadai tersebut adalah amanat pemiliknya ditangan pihak yang berpiutang, tidak boleh memaksa orang yang menggadaikannya menjualnya kecuali dalam keadaan tidak mampu melunasi hutangnya tesebut. Bila tidak mampu melunasi saat jatuh tempo, maka barang gadai tersebut dijual untuk membayar pelunasan hutang tersebut. Apa bila ternyata ada sisanya maka sisa tersebut menjadi hak pemilik barang gadai tersebut (orang yang menggadaikan barang tersebut). Sebaliknya, bila harga barang tersebut belum dapat melunasi hutangnya, maka orang yang menggadaikannya tersebut masih menanggung sisa hutangnya.[29] Kesimpulannya, barang gadai adalah milik orang yang menggadaikannya. Namun bila telah jatuh tempo, maka penggadai meminta kepada Murtahin untuk menyelesaikan permasalah hutangnya, dikarenakan hutangnya yang sudah jatuh tempo, harus dilunasi seperti hutang tanpa gadai. Bila Rahin dapat melunasi seluruhnya tanpa (menjual atau memindahkan kepemilikian) barang gadainya, maka Murtahin harus melepas barang tersebut. Adapun bila Rahin tidak mampu melunasi seluruhnya atau sebagiannya, maka wajib bagi orang yang menggadaikan (Ar-Rahin) menjual sendiri barang gadainya atau melalui wakilnya, dengan izin dari Murtahin, dan dalam pembayaran hutnganya didahulukan Murtahin atas pemilik piutang lainnya. Apabila penggadai tersebut enggan melunasi hutangnya dan tidak mau menjual barang gadainya, maka pemerintah boleh menghukumnya dengan penjara, agar ia menjual barang gadainya tersebut. Apabila tidak juga menjualnya maka pemerintah menjual barang gadai tersebut dan melunasi hutang tersebut dari nilai hasil jualnya. Demikianlah pendapat madzhab Syafi'iyah dan Hambaliyah. Adapun Malikiyah, mereka memandang pemerintah boleh menjual barang gadainya tanpa memenjarakannya dan melunasi hutang tersebut dengan hasil penjualannya. Sedangkan Hanafiyah memandang, Murtahin boleh menagih pelunasan hutang kepada penggadai dan meminta pemerintah untuk memenjarakannya, bila tampak pada Ar-Rahin tidak mau melunasinya. Pemerintah (pengadilan) tidak boleh menjual barang gadainya, namun memenjarakannya saja, sampai ia menjualnya dalam rangka menolak kedzoliman.[30] Yang rajih, pemerintah menjual barang gadainya dan melunasi hutangnya dengan hasil penjualan tersebut tanpa memenjarakan sang penggadai tersebut, karena tujuannya adalah membayar hutang, dan tujuan itu terwujud dengan menjual barang gadai tersebut. Juga untuk mencegah adanya dampak negative di masyarakat dan lainnya, jika diberlakukan penjara. Apabila barang gadai tersebut dapat menutupi seluruh hutangnya, maka selesailah hutang tersebut. Namun bila tidak dapat menutupinya, maka penggadai tersebut tetap memiliki hutang sisa, antara nila barang gadai denan hutangnya dan ia wajib melunasinya. Demikianlah keindahan Islam dalam permasalah gadai. Penyelesaian dan pelunasan hutang dilakukan secara adil. Tidak seperti yang dilakukan di tengah masyarakat kebanyakan. Yakni terjadinya tindak kezhaliman yang dilakukan pemilik piutang, dengan cara menyita barang gadai, walau nilainya lebih besar dari hutangnya, bahkan mungkin berlipat-lipat. Perbuatan semacam ini, sangat jelas merupakan perbuatan Jahiliyah dan perbuatan zhalim yang harus dihilangkan. Semoga kita terhindar dari perbuiatan ini. _________________________________________________________________ Try it! Live Search: New search found. |
Kajian 2 Desember 2007 di Islamic Center Batal.
Assalamualaikum warahmatullah,
Pada Sabtu pekan kemarin, Ustadz Abdul Hakim memberikan pengumuman bahwa kajian di Islamic Center yang rencananya diselenggarakan pada tanggal 2 Desember 2007 ini BATAL, karena tempat yang sama akan digunakan untuk kegiatan Pemda DKI. Wallahu a'lam Syamsul |
Masalah shalat Jam'a
udaaf
Assalamu'alaykum,
Ana ingin tanya masalah menjam'a sholat. Insya ALLAH besok ada perjalanan ke Surabaya (Jkt-Sby, 27 Nov 07, 15.25 - 16.45). Permasalahannya adalah bolehkah ana menjam'a sholat dzuhur dengan ashar ketika ana masih di Jakarta mengingat waktu ashar jakarta adalah 15.00. Atau ana selesaikan perjalanan setibanya di Surabaya baru melaksanakan sholat ashar. Mohon penjelasannya Wassalamu'alaykum, Abu Labib |
Re: OOT: Status Terkini Mesin Pencari as-Sunnah
Ronny as-Salafi
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
toggle quoted message
Show quoted text
Alhamdulillah, pada hari ini (Senin, 26 November 2007) Mesin Pencari as-Sunnah () sudah dapat berfungsi normal kembali. Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh On Sun, 25 Nov 2007 11:14:10 +0700, Ronny as-Salafi <ronny.assalafi@...> wrote:
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, |
>>Info kajian Slipi Jakarta<<
Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh,
Sekedar informasi bahwa jadwal kajian di Masjid AR-RAHMAT Jl. Anggrek Cendrawasi Blok J Slipi - JAKARTA BARAT untuk bulan Desember yang ana peroleh adalah sbb: Sabtu Pekan I : 1 Desember 2007 Ust. Firdaus Sabtu Pekan II : 8 Desember 2007 Ust. Djazuli Lc. (Materi : Bulughul Maram) Sabtu Pekan III : 15 Desember 2007 Ust. Firdaus/Ust. Mahfudz/Ust. Ibnu Saini (Semuanya dalam konfirmasi) Sabtu Pekan IV : 22 Desember 2007 Ust. Djazuli Lc. (Materi: Riyadus Sholihin) Sabtu Pekan V : 29 Desember 2007 Ust. Ali Syaman Lc. Demikian infromasi yang ana peroleh, mudah-mudahan bermanfaat. Agus --------------------------------- Be a better sports nut! Let your teams follow you with Yahoo Mobile. Try it now. |
>>Info kajian " Kaidah Fiqih" di Bekasi<<
adi cahya
"KAIDAH FIQIH"
Karya Syaikh Abdurrohman Bin Nashir As Sa'adi Pembicara : Ustadz Badrussalam, Lc Tempat : Masjid Jami' Amar Ma'ruf Depan DEPSOS, Bulak Kapal - Bekasi Timur Waktu : Setiap AHAD Bulan Desember Pukul 13.30 s/d 16.30 WIB Diselenggarakan Oleh : Yayasan Dakwah Islam Cahaya Ilmu Didukung oleh: Radio RODJA AM 756 KHz [ Radio Dakwah Ahlussunnah Wal Jama'ah ] DKM MASJID JAMI' AMAR MA'RUF Contact Person : Ikhwan : [021] 715 716 80 - 0812 978 0823 Akhwat : [021] 929 01800 Rute : dari Jakarta / Cikampek keluar Tol Timur turun Masjid Amar Ma'ruf dari Terminal Bekasi naik angkot K.19 turun di Masjid Amar Ma'ruf |
Innalillahi wa inna ilahi Raj'iun
Abu Ghazi
Assalamu'alaikum warahmatullah
Telah meninggal dunia salah satu sumber ilmu kami terutama yg di daerah Pekanbaru, Batam dan sekitarnya Pada Hari Senin, tgl 26 Nov 2007 kurang lebih pukul 10.00 AM Al Ustad Armen Halim Naro. Lc Allahumaghfirlahu warhamhu wa afihi wa'fuanhu. Wassalamu'alaikum warahmatullah |
to navigate to use esc to dismiss