Keyboard Shortcuts
ctrl + shift + ? :
Show all keyboard shortcuts
ctrl + g :
Navigate to a group
ctrl + shift + f :
Find
ctrl + / :
Quick actions
esc to dismiss
Likes
- Assunnah
- Messages
Search
Hadirilah !!! Kajian Ilmu Syar'i Surabaya
budi hartono
Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuh
HADIRILAH...!!! KAJIAN ILMU SYAR'I UNTUK UMUM Dengan tema " Menghadapi Idul Adha dan Berkurban Sesuai Sunnah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam Bersama : Ustadz Mubarok Bamu'allim Lc Masjid Al-Jariyat Ats-Tsalats Jl. Kedung Cowek No. 327 Surabaya Hari : AHAD, 9 Desember 2007 Waktu : Jam 09.00 - Selesai Disediakan Snack gratis, Cp ABU SALMAN (031-91293974) |
Tabligh Akbar di Sumatera Barat
Assalamu alaykum warahmatullah,
Insyaa Allah, akan diadakan: Tabligh Akbar Tanggal 16 Desember 2007 Masjid Al-Azhar (Depan Universitas Negeri Padang) Air Tawar - Padang Sumatera Barat Tema "MENUNTUT ILMU JALAN MENUJU SURGA" Pemateri: Ustadz Abdul Halim Informasi: Rahmat (0852 6362 7094) Tabligh Akbar Tanggal 22 Desember 2007 Masjid Al-Jihad Simpang Empat Pasaman Barat Sumatera Barat Tema "JALAN MENUJU KEJAYAAN UMMAT" Pemateri: Ustadz Abdul Halim Informasi: Ustadz Desman (0813 6323 7954) Demikian, kami informasikan. Abu Hanan Fachri |
Re: Kajian Salaf di Depok
Akhi... ada yang tau alamat lengkap Masjid Baitul Hikmah
toggle quoted message
Show quoted text
Kompleks Deppen, Masji Nur Iman ? --- Surana <surana@...> wrote: Wa 'alaikum salam, |
>>Menjual Kulit Binatang Kurban?<<
MENJUAL KULIT BINATANG KURBAN?
Oleh Ustadz Muslim Al-Atsari Menyembelih binatang kurban merupakan ibadah agung yang dilakukan umat Islam setiap tahun pada hari raya kurban. Orang yang menyembelih binatang kurban, boleh memanfaatkannya untuk memakan sebagian daging darinya, menshadaqahkan sebagian darinya kepada orang-orang miskin, menyimpan sebagian dagingnya, dan memanfaatkan yang dapat dimanfaatkan, misalnya ; kulitnya untuk qirbah (wadah air) dan sebagainya. Dalil hal-hal di atas adalah hadits-hadits dibawah ini. Artinya : Dari Salamah bin Al-Akwa Radhiyallahu anhu, dia berkata : Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda : Barangsiapa di antara kamu menyembelih kurban, maka janganlah ada daging kurban yang masih tersisa dalam rumahnya setelah hari ketiga. Tatkala pada tahun berikutnya, para sahabat bertanya : Wahai, Rasulullah! Apakah kita akan melakukan sebagaimana yang telah kita lakukan pada tahun lalu? Beliau menjawab : Makanlah, berilah makan, dan simpanlah,. Karena sesungguhnya tahun yang lalu, menusia tertimpa kesusahan (paceklik), maka aku menghendaki agar kamu menolong (mereka) padanya (kesusahan itu). [HR Bukhari no. 569, Muslim, no, 1974] Perintah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam : Makanlah, berilah makan, dan simpanlah, bukan menunjukkan kewajiban, tetapi menunjukkan kebolehan. Karena perintah ini datangnya setelah larangan, sehingga hukumnya kembali kepada sebelumnya. [Lihat juga Fathul Bari, penjelasan hadits no. 5.569] Dari hadits ini kita mengetahui, bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah melarang memakan daging kurban lebih dari tiga hari. Hal itu agar umat Islam pada waktu itu menshadaqahkan kelebihan daging kurban yang ada. Namun larangan itu kemudian dihapuskan. Dalam hadits lain. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dengan tegas menghapuskan larangan tersebut dan menyebutkan sebabnya. Beliau bersabda. Artinya ; Dahulu aku melarang kamu dari daging kurban lebih dari tiga hari, agar orang yang memiliki kecukupan memberikan keleluasan kepada orang yang tidak memiliki kecukupan. Namun (sekarang), makanlah semau kamu, berilah makan, dan simpanlah [HR Tirmidzi no. 1510, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani] Setelah meriwayatkan hadits ini, Imam Tirmidzi rahimahullah berkata. : Pengamalan hadits ini dilakukan oleh ulama dari kalangan para sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan selain mereka. Dalam hadits lain disebutkan. Artinya : Dari Abdullah bin Waqid, dia berkata : Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melarang memakan daging kurban setelah tiga hari. Abdullah bin Abu Bakar berkata : Kemudian aku sebutkan hal itu kepda Amrah. Dia berkata, dia (Abdullah bin Waqid) benar. Aku telah mendengar Aisyah Radhiyallahu anha mengatakan, orang-orang Badui datang waktu Idul Adh-ha pada zaman Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, maka Beliau bersabda, Simpanlah (sembelihan kurban) selama tiga hari, kemudian shadaqahkanlah sisanya. Setelah itu (yaitu pada tahun berikutnya, -pent) para sahabat mengatakan : Wahai Rasulullah, sesungguhnya orang-orang membuat qirbah-qirbah [1] dari binatang-binatang kurban mereka, dan mereka melelehkan (membuang) lemak darinya. Maka Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda : Memangnya kenapa? Mereka menjawab, Anda telah melarang memakan daging kurban setelah tiga hari. Maka beliau bersabda : Sesungguhnya aku melarang kamu hanyalah karena sekelompok orang yang datang (yang membutuhkan shadaqah daging, -pent). Namun (sekarang) makanlah, simpanlah, dan bershadaqahlah [HR Muslim no. 1971] Banyak ulama menyatakan, orang yang menyembelih kurban disunnahkan bershadaqah dengan sepertiganya, memberi makan dengan sepertiganya, dan dia bersama keluarganya memakan sepertiganya. Namun riwayat-riwayat yang berkaitan dengan ini lemah. Sehingga hal ini diserahkan kepada orang yang berkurban. Seandainya dishadaqahkan seluruhnya, hal itu dibolehkan. Wallahu alam [2] MENJUAL SESUATU DARI HEWAN SEMBELIHAN KURBAN Dalam masalah ini terdapat beberapa hadits, sebagaimana tersebut dibawah ini. [1]. Hadits Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu. Artinya : Dari Ali Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam memerintahkannya agar dia mengurusi budn (onta-onta hadyu) Beliau [3], membagi semuanya, dan jilalnya [4] (pada orang-orang miskin). Dan dia tidak boleh memberikan sesuatupun (dari kurban itu) kepada penjagalnya. [HR Bukhari no. 1717, tambahan dalam kurung riwayat Muslim no. 439/1317] Pada riwayat lain disebutkan, Ali Radhiyallahu anhu berkata. Artinya : Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memerintahkanku agar aku mengurusi onta-onta kurban Beliau, menshadaqahkan dagingnya, kulitnya dan jilalnya. Dan agar aku tidak memberikan sesuatupun (dari kurban itu) kepada tukang jagalnya. Dan Beliau bersabda : Kami akan memberikan (upah) kepada tukang jagalnya dari kami [HR Muslim no. 348, 1317] Hadits ini secara jelas menunjukkan, bahwa Ali diperintahkan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam untuk menshadaqahkan daging hadyu, kulitnya, bahkan jilalnya. Dan tidak boleh mengambil sebagian dari binatang kurban itu untuk diberikan kepada tukang jagalnya sebagai upah, karena hal ini termasuk jaul beli. Dari hadits ini banyak ulama mengambil dalil tentang terlarangnya menjual sesuatu dari binatang kurban, termasuk menjual kulitnya. [2]. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu Artinya : Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda :Barangsiapa menjual kulit binatang kurbannya, maka tidak ada kurban baginya. Syaikh Abul Hasan As-Sulaimani menjelaskan, hadits ini diriwayatkan oleh Al-Hakim (2/389-390) dan Al-Baihaqi (99/294) dihasankan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Al-Jamiush Shagir, no. 6118. Namun di dalam sanadnya terdapat perawi bernama Abdullah bin Ayyasy, dan dia seorang yang jujur namun berbuat keliru, perawi yang tidak dijadikan hujjah. [5] [3]. Hadits Abi Said Al-khudri Radhiyallahu anhu. Diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda. Artinya : Janganlah kamu menjual daging hadyu dan kurban. Tetapi makanlah, bershadaqahlah, dan gunakanlah kesenangan dengan kulitnya, namun janganlah kamu menjualnya [Hadits dhaif, riwayat Ahmad 4/15] [6] PERKATAAN PARA ULAMA [1]. Imama Asy-Syafii rahimahullah berkata : Jika seseorang telah menetapkan binatang kurban, wolnya tidak dicukur. Adapun binatang yang seseorang tidak menetapkannya sebagai kurban, dia boleh mencukur wolnya. Binatang kurban termasuk nusuk (binatang yang disembelih untuk mendekatkan diri kepada Allah), dibolehkan memakannya, memberikan makan (kepada orang lain) dan menyimpannya. Ini semua boleh terhadap seluruh (bagian) binatang kurban, kulitnya dan dagingnya. Aku membenci menjual sesuatu darinya. Menukarkannya merupakan jual beli. Beliau juga mengatakan : Aku tidak mengetahui perselisihan di antara manusia tentang ini, yaitu : Barangsiapa telah menjual sesuatu dari binatang kurbannya, baik kulit atau lainnya, dia (harus) mengembalikan harganya atau nilai apa yang telah dia jual, jika nilainya labih banyak dari harganya- untuk apa yang binatang kurban dibolehkan untuknya. Sedangkan jika dia menshadaqahkannya, (maka) lebih aku sukai, sebagaimana bershadaqah dengan daging binatang kurban lebih aku sukai [7] [2]. Imam Nawawi rahimahullah berkata : Dan madzhab (pendapat) kami (Syafiiyah), tidak boleh menjual kulit hadyu atau kurban, dan tidak boleh pula (menjual) sesuatu dari bagian-bagiannya. Inilah madzhab kami. Dan ini pula pendapat Atho, An-Nakhai, Malik, Ahmad dan Ishaq. Namun Ibnul Mundzir menghikayatkan dari Ibnu Umar, Ahmad dan Ishaq, bahwa tidak mengapa menjual kulit hadyu dan menshadaqahkan harga (uang)nya. Abu Tsaur memberi keringanan di dalam menjualnya. An-Nakhai dan Al-Auzai berkata : Tidak mengapa membeli ; ayakan, saringan, kapak, timbangan dan semacamnya dengannya (uang penjualan kulitnya, -pent), Al-Hasan Al-Bashri mengatakan ; Kulitnya boleh diberikan kepada tukang jagalnya. Tetapi (perkataannya) ini membuang sunnah, wallahu alam. [Lihat Syarah Muslim 5/74-75, Penerbit Darul Hadits Cairo] [3]. Imam Ash-Shanani rahimahullah berkata : Ini (hadits Ali di atas) menunjukkan bahwa dia (Ali) bershadaqah dengan kulit dan jilal (pakaian onta) sebagaimana dia bershadaqah dengan daging. Dan Ali tidak sedikitpun mengambil dari hewan sembelihan itu sebagai upah kepada tukang jagal, karena hal itu termasuk hukum jual-beli, karena dia (tukang jagal) berhak mendapatkan upah. Sedangkan hukum kurban sama dengan hukum hadyu, yaitu tidak boleh diberikan kepada tukang jagalnya sesuatupun dari binatang sembelihan itu (sebagai upah). Penulis Nihayatul Mujtahid berkata : Yang aku ketahui, para ulama sepakat tidak boleh menjual dagingnya. Tetapi mereka berselisih tentang kulit dan bulunya yang dapat dimanfaatkan. Jumhur (mayoritas) ulama mengatakan tidak boleh. Abu Hanifah mengatakan boleh menjualnya dengan selain dinar dan dirham. Yakni (ditukar) dengan barang-barang. Atha berkata, boleh dengan semuanya, dirham atau lainnya [8] Abu Hanifah membedakan antara uang dengan lainnya, hanya karena beliau memandang bahwa menukar dengan barang-barang termasuk kategori memanfaatkan (binatang sembelihan), karena ulama sepakat tentang bolehnya memanfaatkan dengannya. [Lihat Subulus Salam 4/95, Syarah Hadits Ali] [4]. Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam mengatakan : Di antara faidah hadits ini menunjukkan, bahwa kulit binatang kurban tidak dijual. Bahkan penggunaan kulitnya adalah seperti dagingnya. Pemilik boleh memanfaatkannya, menghadiahkannya atau menshadaqahkannya kepada orang-orang fakir dan miskin. [Lihat Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram 6/70] Beliau juga berkata : Para ulama sepakat tidak boleh menjual daging kurban atau hadyu (hewan yang disembelih oleh orang yang haji). Jumhur (mayoritas) ulama juga berpendapat tidak boleh menjual kulit binatang kurban, wolnya (bulu kambing), wabar (rambut onta) dan rambut binatangnya. Sedangkan Abu Hanifah membolehkan menjual kulitnya, rambutnya dan semacamnya dengan (ditukar) barang-barang, bukan dengan uang, karena menukar dengan uang merupakan penjualan yang nyata [Lihat Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram 6/71] KESIMPULAN Dari perkataan para ulama di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. [1]. Orang yang berkurban boleh memanfaatkan kurbannya dengan memakan sebagiannya, menshadaqahkan sebagiannya, memberi makan orang lain dan memanfaatkan apa yang dapat dimanfaatkan. [2]. Para ulama sepakat, orang yang berkurban dilarang menjual dagingnya. [3]. Tentang menjual kulit kurban, para ulama berbeda pendapat. a). Tidak boleh. Ini pendapat mayoritas ulama. Dan ini yang paling selamat, insya Allah b). Boleh asal dengan barang, bukan dengan uang. Ini pendapat Abu Hanifah, Tetapi Asy-Syafii menyatakan, bahwa menukar dengan barang juga merupakan jual-beli. c). Boleh. Ini pendapat Abu Tsaur. Tetapi pendapat ini menyelisihi hadits-hadits diatas. [4]. Jika kulit dijual, maka yang paling selamat- uangnya (hasil penjualan) dishadaqahkan. Wallahu alam bish shawab. Pengelola penyembelihan binatang kurban tidak boleh gegabah dan serampangan mengambil kesimpulan hukum tentang kulit. Misalnya mengambil inisiatif menjual kulit yang hasilnya untuk kepentingan masjid atau diluar lingkup ketentuan yang diperbolehkan. Wallahu alam [Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun VIII/1425H/2004M, Penulis Ustadz Muslim Al-Atsari. Penebit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo Purwodadi Km 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183] __________ Foote Note [1]. Qirbah : wadah air yang terbuat dari kulit [2]. Shahih Fiqhis Sunnah 2/378, karya Abu Malik Kamal bin As-Syyid Salim [3]. Hadyu : Binatang ternak yang mudah didapatkan, berupa onta, sapi, atau kambing, yang disembelih oleh orang yang berhaji dan dihadiahkan kepada orang-orang miskin di Mekkah. Hadyu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pada waktu itu 100 ekor onta. Hadyu ada yang hukumnya wajib, ada yang sunnah. Lihat Minhajus Salik hal.396, 405 karya Syaikh Muhammad Al-Bayyumi, Tahqiq Dr Shalih bin Ghanim As-Sadlan. [4]. Jilal : kain yang ditaruh pada punggung onta untuk menjaga diri dari dingin dan semacamnya, seperti pakaian pada manusia. [5]. Diringkas dari Tanwirul Ainain hal. 376-377 [6]. Lihat Shahih Fiqhis Sunnah 2/379, karya Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim [7]. Al-Umm 2/351, dinukil dari Tanwirul Ainain Bi Ahkamil Adhahi wal Idain hal.373-374 karya Syaikh Abul Hasan Musthofa bin Ismail As-Sulaimani [8]. Penukilan pendapat Atha di sini berbeda dengan penukilan An-Nawawi sebagaimana di atas- yang menyatakan bahwa Atha termasuk ulama yang melarang penjualan kulit kurban. Wallahu alam _________________________________________________________________ More photos, more messages, more storageget 2GB with Windows Live Hotmail. |
Bls: Tentang pemakaman Rasulullah
SARJONO PRANOTO
assalamualaikumwarohmatulloh,
kepada para ikhwan wa akhwat yg tegak di atas manhaj Salaf, ana pernah dapat info dari kajian yg ana ikuti di Masjid ArRidho Pasar Gembrong, Prumpung oleh Ustadz Berik Zaid (Indramayu), bhw buku karangan Haekal adalah salah satu referensi yg tidak boleh dibaca, beliau juga menyebutkan bhw di buku tsb (Sejarah Nabi Muhammad salallohualaihi wassalam) terdapat riwayat bhw seorang sahabat memperkosa istri sahabat lainnya, nau'dzubillah, sehingga ana tidak heran kalau di dalamnya masih terdapat banyak penyimpangan riwayat kehidapan Nabi dan Sahabatnya. wallohu a'lam abu hamzah al pandawany ----- Pesan Asli ---- Dari: Ummu Hanif <ycutt.cute@...> Kepada: assunnah@... Terkirim: Selasa, 4 Desember, 2007 1:35:37 Topik: [assunnah] Tentang pemakaman Rasulullah Assalamualaikum, Mohon pencerahan, Ana baca di Riwayat Rasulullah karangan HAEKAL bahwa Pemakaman Rasulullah dilakukan setelah dua hari beliau wafat. Benarkah demikian? Mengapa harus menunggu selama dua hari? Jazakumullahu khoir Salam Ummu Hanif |
Re: Kajian Salaf di Depok
Surana
Masjid Baitul Hikmah Masuk Dari Cisalak lewat Jl.Gas Alam perempatan Deppen
toggle quoted message
Show quoted text
kekiri Jl.Anantakuraya, sedangkan Masjid Nur Iman Jalan Tumaritis Akses Angkot Cilengsi - Depok sebelah jembatan Tol _____ From: assunnah@... Sent: Wednesday, December 05, 2007 10:05 AM Akhi... ada yang tau alamat lengkap Masjid Baitul Hikmah Kompleks Deppen, Masji Nur Iman ? --- Surana <surana@rekayasa. <mailto:surana%40rekayasa.co.id> co.id> wrote: Wa 'alaikum salam, |
Tanya : Solusi undangan tahlilan
wongsimbank
Assalamu'alaikum....
Di sekitar tempat tinggal ana masih banyak diadakan acara tahlilan,hampir setiap acara ada tahlilan.ana mau tanya gimana cara menyikapinya agar kita tidak di kucilkan masyarakat sekitar kita,&apakah berdosa jika menghadiri undangan yang didalamnya terdapat acara tahlilan yang kita tidak mengetahui sebelumnya?.... Jazakumullahu Khoiron... Abu Zubaydah |
Re: Kajian Salaf di Depok
Surana
Wa 'alaikum salam,
Kajian Ustad Sulam Mustareja tiap ahad pagi ba'da subuh membahas kitab Riyadushalihin, di Masjid Nur Iman Jl. Tumaritis samping jalan Tol. Dan tiap Selasa malam di Masjid Baitul Hikmah Komplek Deppen/HBTB membahas Kitab Usulul Salasa Oleh Ustad Badrussalam, dan sabtu paginya ba'da subuh pekan pertama dan pekan ketiga Kitab Tauhid Oleh Ustad Hayat Setiawan _____ From: Of Yakub B Hasibuan Sent: Tuesday, December 04, 2007 1:19 PM To: assunnah@... Subject: [assunnah] Kajian Salaf di Depok Assalamu 'alaykum... Apakah ada kawan2 yang tahu jadwal kajian salaf di daerah Depok ? Mohon informasinya... Wassalamu 'alaykum |
Sahkah Wudhu Saya?
Assalaamu'alaikum Waerahmatullaahi Wabarakaatuuh
sebelumnya mohon maaf kepada admin bila message ini terposting lebih dari 1 kali. Saya ada pertanyaan seputar wudhu. seringkali tanpa sengaja, saat kita sedang bekerja, tangan kita tercoret oleh ballpoint/spidol, pertanyaannya adalah : 1. apabila bekas coretan tersebut tidak dibersihkan, sahkah wudhu saya? 2. apabila saya sudah berusaha untuk membersihkan bekas2 coretan tersebut dan ternyata tidak bersih juga, apakah sah wudhu saya? terima kasih atas penjelasannya. Wassalaamu'alaikum Waerahmatullaahi Wabarakaatuuh Faisal Abduh |
Tanya Badal haji
Prihtiantoro, Dedhy UWB53
Assalaamu'alaikum
Ada yang pernah tahu, gimana hokum wanita yang membadalkan haji, namun harus memutuskan pemberian ASI (menyapih) kepada anaknya selama keperhian haji? Bersalahkah si wanita tersebut karena telah menyapih anaknya (untuk sementara) sebelum waktunya demi membadalkan haji (wanita tsb sudah melaksanakan haji yang wajib). Jazakallah khair. Wassalam Abu Zaid |
Re: Tanya: Arti Almarhum
Abu Umair As-Sundawy
Wa'alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,
Saudaraku penanya, Almarhum artinya "yang dirahmati", menjadi bermasalah (sebagaimana maksud Ustadz tersebut dalam pertanyaan) adalah jika ucapan ini dijadikan khabar bahwa fulan itu dirahmati Allah.Dalam artian, pasti di rahmati atau diampuni.Ini bertolak belakang dengan ijma salaf. Hal ini dijelaskan dengan ringkas oleh Syaikh Al-Allamah Bakr Abu Zayd dalam risalahnya yang amat ciamik yang berjudul "Mu'jam Al-Manahi Al-Lafdziyah" (Semacam kamus dari lafadz-lafadz yang dilarang syariat, softfile nya ada di www.saaid.net,bagi yang bisa berbahasa arab, silahkan di unduh.Saya belum tahu versi indonesianya jika sudah di terjemahkan).Lafadz "almarhum" ini dimasukkan beliau dalam kitab ini dibawah alfabet huruf "mim".Disebutkan disana , kira-kira demikian : Berkata Muhammad Sulthon rahimahahullah ta'ala dalam risalahnya "Tanbih An-Nubala minal Uqolaa" hal 55:(Dan ucapan Hamid Al-Faqiy-dalam menyebut ayahnya dengan sebutan Almarhum dengan shighot "al-maf'ul".(Sehingga dalam bhs arab artinya "Yang (pasti) diampuni", pent). Ini melazimkan hukum qothiy (pasti),dan ini tentu menyelisihi sunnah.Dimana seharusnya tidak memastikan seorangpun bahwa dia diampuni atau di rahmati.Dan adalah ijma' salaf bahwa kita tidak boleh memastikan seseorang tertentu, dengan ampunan atau diadzab dalam neraka,barzakh dan hari kiamat, atau memastikan person tertentu masuk neraka atau surga.Kecuali apa yg telah tetap dikhabarkan oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wasalam.Berkata Syaikh Abdullah Aba Bathin rahimahullah ta'ala :"selayaknya mengucapkannya "Allahu yarhamuh"(semoga Allah merahmatinya) ,karena dia tidak tahu kepastiannya" -selesai kutipan Al-Manahi- Jadi ini mungkin inilah yang dipermasalahkan Ustadz yang antum ceritakan. Tapi agar wawasan kita sedikit meluas, saya nukilkan pendapat Al-Imam Ibn Utsaimin rahimahullah, dalam Fatawa Nur 'alad Darb.Monggo yang bisa membaca arab, untuk merujuknya langsung mengenai tanya jawab ini di website beliau yang amat sangat bermanfaat () Syaikh ditanya : Ya Syaikh apakah dibenarkan ucapan Al-marhum kepada yang telah wafat,misalnya mengucapkan Almarhum Fulan,saya mohon faidah ,semoga Allah membalas engkau? Jawaban Syaikh : Jika berkata tentang orang yang telah wafat dengan Al-Marhum atau "Al-Maghfur lahu" (yang diampuni), atau yang semisal,jika mengatakannya sebagai khabar (bahwa fulan dirahmati atau diampuni) maka ini TIDAK BOLEH,karena dia tidak tahu apakah fulan yang meninggal itu dirahmati Allah atau tidak.Maka yang seperti ini tidak boleh untuk memastikannya dan mempersaksikannya, karena kita tidak punya ilmu akan ampunan atau rahmat Allah.Persaksian seperti ini diharamkan.ADAPUN Jika dia mengatakannya sebagai doa dan harapan semoga Allah mengampuninya atau merahmatinya maka ini TIDAK APA-APA.Tidak ada bedanya engkau mengucapkan "Almarhum" atau "rahimahullah",karena kedua kalimat tersebut benar untuk digunakan sebagai khabar juga benar untuk do'a.Tergantung NIAT pengucap.Dan tidak ragu lagi bahwa orang yang berkata 'fulan marhumun' atau "maghfur lahu" memaksudkannya untuk harapan optimis dan do'a.Dari sisi ini maka ucapan ini tidak berdosa dan tak mengapa.-selesai ucapan Syaikh- Semoga bermanfaat, Abu Umair As-Sundawy ================ Assalamu'alaikum warohmatulloh, Afwan, saya ada pertanyaan.. Pernah saya mendengar seorang ustadz mengatakan bahwa si fulan (yang sudah meninggal) tidak pantas dikatakan "Almarhum", padahal si fulan itu seorang muslim. Sebetulnya apa arti dari "Almarhum" itu? Apakah tidak setiap orang boleh dikatakan Almarhum? Jazakumulloh khoiron, Wassalamu'alaikum, Ruli |
Re: >>Tanya: Arti Almarhum<<
From: "Nanang, Ruli" <Ruli.Nanang@...>Wa'alaykumussalam warohmatullohi wabarokaatuhu, Berikut penjelasan dari Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rohimahullah HUKUM UNGKAPAN-UNGKAPAN YANG DITUJUKAN KEPADA ORANG YANG MATI DENGAN AL-MAGHFUR LAHU Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Pertanyaan. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa saja ungkapan-ungkapan yang dapat ditujukan terhadap orang-orang yang sudah meninggal dunia. Sebab, kami sering mendengar tenntang si fulan 'al-maghfur lahu (orang yang diampunkan baginya)' atau 'al-marhum (orang yang dirahmati)'; apakah ungkapan-ungkapan seperti ini benar ? Mohon pencerahan anda mengenai hal itu. Jawaban. Ungkapan yang disyariatkan dalam kasus ini adalah 'Ghafarallahu (semoga Allah mengampuninya)' atau 'Rahimahullah (semoga Allah merahmatinya)' dan semisal itu bila dia (orang yang meninggal dunia tersebut) seorang Muslim dan tidak boleh diucapkan 'al-maghfur lahu' atau 'al-marhum' karena tidak boleh bersaksi terhadap orang tertentu bahwa dia masuk surga, masuk neraka atau semisalnya kecuali orang yang memang sudah dipersaksikan Allah dengan hal itu di dalam KitabNya yang mulia atau orang yang telah dipersaksikan oleh RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa dia masuk surga seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Kahtthab, Utsman bin Affan, Ali dan para sahabat lainnya yang termasuk sepuluh orang yang dijanjikan masuk surga dan selain mereka yang telah dipersaksikan beliau masuk surga seperti Abdullah bin Salam, Ukasyah bin Mihsan Radhiyallahu 'anhum, ataupun orang yang dipersaksikan beliau masuk neraka seperti Abu Thalib, Amr bin Luhay Al-Khuza'i dan selain keduanya yang telah dipersaksikan beliau masuk neraka -na'udzu billahi min dzalik-. Jadi, kita bersaksi atas hal itu. Sedangkan orang yangg belum dipersaksikan Allah ataupun RasulNya masuk surga atau neraka, maka kita tidak bersaksi atasnya terhadap hal tersebut dengan menentukan orangnya. Demikian juga, kita tidak bersaksi terhadap seseorang tertentu mendapatkan ampunan (maghfirah) atau rahmat kecuali berdasarkan nash Kitabullah dan sunnah RasulNya. Akan tetapi Ahlus Sunnah berharap baik bagi orang yang berbuat baik dan khawatir terhadap nasib orang yang berbuat keburukan dan bersaksi atas ahli iman secara umum bahwa mereka masuk surga dan orang-orang kafir masuk neraka sebagaimana hal itu telah dijelaskan Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam kitabNya. "Artinya : Allah menjanjikan kepada orang-orang yang mu'min lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya".[At-Taubah : 72] Dan Dia juga berfirman di dalamnya. "Artinya : Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka jahanam. Mereka kekal di dalamnya. Cukuplah neraka itu bagi mereka". [At-Taubah : 68] Sebagian ulama berpendapat boleh bersaksi atas masuk surga atau neraka bagi orang yang dipersaksikan oleh dua orang yang adil atau lebih bahwa dia baik atau buruk berdasarkan hadits-hadits shahih yang berisi tentang hal tersebut. [Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah, Juz V, hal. 365-366 dari fatwa Syaikh Ibn Baz] [Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerbit Darul Haq] |
>>Kurban Bagi Orang Yang Sudah Meninggal?<<
BAGAIMANA KURBAN BAGI ORANG YANG SUDAH MENINGGAL?
Oleh Ustadz Kholid Syamhudi Menjawab pertanyaan diatas, berikut kami bawakan pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, yang kami ambil dari kitab Ahkam Al-Adhahi wal Dzakaah, dengan beberapa tambahan referensi lainnya. Pada asalnya, kurban disyariatkan bagi orang yang masih hidup, sebagaimana Rasulullah dan para shahabat telah menyembelih kurban untuk dirinya dan keluarganya. Adapun persangkaan orang awam adanya kekhususan kurban untuk orang yang telah meninggal, maka hal itu tidak ada dasarnya. Kurban bagi orang yang sudah meninggal, ada tiga bentuk. [1]. Menyembelih kurban bagi orang yang telah meninggal, namun yang masih hidup disertakan. Contohnya, seorang menyembelih seekor kurban untuk dirinya dan ahli baitnya, baik yang masih hidup dan yang telah meninggal dunia. Demikian ini boleh, dengan dasar sembelihan kurban Nabi Shallallahu alaihi wa sallam untuk dirinya dan ahli baitnya, dan diantara mereka ada yang telah meninggal sebelumnya. Sebagaimana tersebut dalam hadits shahih yang berbunyi. Artinya : Aku menyaksikan bersama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam shalat Id Al-Adha di musholla (tanah lapang). Ketika selesai khutbahnya, beliau turun dari mimbarnya. Lalu dibawakan seekor kambing dan Rasulullah menyembelihnya dengan tangannya langsung dan berkata : Bismillah wa Allahu Akbar hadza anni wa amman lam yudhahi min ummati (Bismillah Allahu Akbar, ini dariku dan dari umatku yang belum menyembelih) [1]. Ini meliputi yang masih hidup atau telah mati dari umatnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : Diperbolehkan menyembelih kurban seekor kambing bagi ahli bait, isteri-isterinya, anak-anaknya dan orang yang bersama mereka, sebagaimana dilakukan para sahabat [2] Dasarnya ialah hadits Aisyah, beliau berkata. Artinya : Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam meminta seekor domba bertanduk, lalu dibawakan untuk disembelih sebagai kurban. Lalu beliau berkata kepadanya (Aisyah), Wahai , Aisyah, bawakan pisau, kemudian beliau berkata : Tajamkanlah (asahlah) dengan batu. Lalu ia melakukannya. Kemudian Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengabil pisau tersebut dan mengambil domba, lalu menidurkannya dan menyembelihnya dengan mengatakan : Bismillah, wahai Allah! Terimalah dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan dari umat Muhammad, kemudian menyembelihnya [Riwayat Muslim] Sehingga seorang yang menyembelih kurban seekor domba atau kambing untuk dirinya dan ahli baitnya, maka pahalanya dapat diperoleh juga oleh ahli bait yang dia niatkan tersebut, baik yang masih hidup atau yang telah meninggal dunia. Jika tidak berniat baik secara khusus atau umum, maka masuk dalam ahli bait semua yang termaktub dalam ahli bait tersebut, baik secara adat mupun bahasa. Ahli bait dalam istilah adat, yaitu seluruh orang yang di bawah naungannya, baik isteri, anak-anak atau kerabat. Adapun menurut bahasa, yaitu seluruh kerabat dan anak turunan kakeknya, serta anak keturunan kakek bapaknya. [2]. Menyembelih kurban untuk orang yang sudah meninggal, disebabkan tuntunan wasiat yang disampaikannya. Jika demikian, maka wajib dilaksanakan sebagai wujud dari pengamalan firman Allah. Artinya : Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui [Al-Baqarah : 181] Dr Abdullah Ath-Thayaar berkata : Adapun kurban bagi mayit yang merupakan wasiat darinya, maka ini wajib dilaksanakan walaupun ia (yang diwasiati) belum menyembelih kurban bagi dirinya sendiri, karena perintah menunaikan wasiat [3] [3]. Menyembelih kurban bagi orang yang sudah meninggal sebagai shadaqah terpisah dari yang hidup (bukan wasiat dan tidak ikut yang hidup) maka inipun dibolehkan. Para ulama Hambaliyah (yang mengikuti madzhab Imam Ahmad) menegaskan bahwa pahalanya sampai ke mayit dan bermanfaat baginya dengan menganalogikannya kepada shadaqah. Ibnu Taimiyyah berkata : Diperbolehkan menyembelih kurban bagi orang yang sudah meninggal sebagaimana diperolehkan haji dan shadaqah untuk orang yang sudah meninggal. Menyembelihnya di rumah dan tidak disembelih kurban dan yang lainnya di kuburan [4] Akan tetapi, kami tidak memandang benarnya pengkhususan kurban untuk orang yang sudah meninggal sebagai sunnah, sebab Nabi Shallallahu alaihi was al sallam tidak pernah mengkhususkan menyembelih untuk seorang yang telah meninggal. Beliau Shallallahu alaihi wa sallam tidak menyembelih kurban untuk Hamzah, pamannya, padahal Hamzah merupakan kerabatnya yang paling dekat dan dicintainya. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak pula menyembelih kurban untuk anak-anaknya yang meninggal dimasa hidup beliau, yaitu tiga wanita yang telah bersuami dan tiga putra yang masih kecil. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam juga tidak menyembelih kurban untuk istrinya, Khadijah, padahal ia merupakan istri tercintanya. Demikian juga, tidak ada berita jika para sahabat menyembelih kurban bagi salah seorang yang telah meninggal. Demikian sedikit ulasan berkenaan dengan kurban bagi orang yang telah meninggal. [Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun VIII/1425H/2004M, Penulis Ustadz Kholid Syamhudi Lc. Penebit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo Purwodadi Km 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183] __________ Foote Note [1]. Hadits shahih diriwayatkan Abu Dawud dan At-Tirmdzi. [2]. Majmu Al-Fatawa (23/164) [3]. Dr Abdullah bin Muhammad Ath-Thayar, Ahkam Al-Idain wa Asyara Dzilhijjah, cetakan Pertama Tahun 1413H Daar Al-Ahimah, Riyadh KSA, hal. 72 [4]. Majmu Al-Fatawa (26/306) _________________________________________________________________ Windows Live Spaces is here! Its easy to create your own personal Web site. |
Re: >>Tanya : Pelatihan shalat khusyu'<<
Abu Yaasiin
Assalamu'alaikum warokhmatuLLOHi wabarokatuh,
toggle quoted message
Show quoted text
Pelatihan ini sekarang marak di kota - kota besar, ini diajarkan oleh Ustd. Abu Sangkan, ana sendiri pernah ikut pelatihan ini di Bintara, Bekasi kira - kira pada tahun 2000, waktu itu Ust. Abu Sangkan belum setenar sekarang, Nama Abu Sangkan adalah kunyah dari putranya yaitu Sangkan Paraning Wisesa. Pelatihan ini menurut ana penuh dengan cara sufistik, waktu peserta setelah sholat tahajud (ana kurang ingat apakah waktu itu berjamaah atau tidak) di ajari bagaimana menghubungkan diri dengan ALLOH setelah itu ada beberapa peserta yang menangis sejadi - jadinya, berbagai tulisan Ust. Abu Sangkan ini juga menyerupai karya Sufi. WaLLOHu 'Alam bishowab.. Wassalamu'alaikum warokhmatuLLOHi wabarokatuh.. Abu Yaasiin Yusuf. ----- Original Message -----
From: Arief Wijaya To: assunnah@... Sent: Tuesday, December 04, 2007 9:02 AM Subject: Re: [assunnah]>>Tanya : Pelatihan shalat khusyu'<< From: H. Subiyantoro <nida_ibrahim@...> Sent: Thursday, November 29, 2007 9:03:35 PM Assalamu'alaikum mohon pencerahan tentang PELATIHAN SHALAT KHUSYU yang diselenggarakan oleh seroang ustadz dan bukunya diperjual belikan, apakah sudah sesuai dengan tuntunan yang diberikan oleh Rasulullah kepada umatnya. kalau tidak sesuai, dimana ketidak sesuaiannya. Jazakumullah ========= Wassalamu'alaikum wa'alaikumsalam... pelatihan sholat khusyuk dibuat oleh Abu Sangkan...antum baca dan pelajari dg.seksama..antum akan tau sendiri bgm.paham dan aqidah abu sangkan terhadap din kita yg.suci dan sempurna ini... mudah2an kita semua selalu tegak dan istiqomah diatas Sunnah junjungan kita Rasulullah ...tidak gampang terpengaruh dg.paham2 subhat atau bahkan bid'ah..., karena jaman sekarang ini banyak orang2 (oknum2) membuat sesuatu atas nama agama dan ibadah sbg.wasilah untuk mencari materi dan kedudukan dimata masyarakat.... wallahul musta'an |
Re: Tanya referensi lengkap ja'far ash shoddiq?
Abu Umair As-Sundawy
Imam Ja'far adalah ahlus sunnah dan punya garis darah dengan Abu Bakar
Ash-Shidiq radhiallahu anhu.Dan ada ucapan beliau yang cukup dikenal akan bangganya beliau dengan nasab ini.Beliau mengatakan "waladani abu bakr ash-shiddiq marrotaini" (Abu Bakar melahirkan saya dua kali). Iya, karena beliau ini anak dari Ummu Farwah binti Al-Qosim bin Muhammad bin Abi Bakr As-Shiddiq.Sedangkan neneknya dari pihak ibu adalah Asma binti Abdirrahman bin Abi Bakr Ash-Shiddiq radhiallahu 'anhum ajma'in. Bahkan,salah satu nenek beliau, Ummu Kultsum binti Fathimah Az-Zahra juga adalah merupakan salah satu istri Umar bin Khaththab.Diantara yang pernah menjadi muridnya adalah Sufyanain (Sufyan Ats-Tsauri dan Sufyan bin 'Uyainah) Jadi bagaimana mungkin beliau ini akan mencaci dan menghina Abu Bakar misalnya, padahal dia adalah kakek mbahnya dari dua sisi silsilah.Dan mengenai kesunnian beliau dan pembelaannya terhadap para sahabat, terbukti dari manuskrip yang masih tersimpan sampai sekarang, ada yang sudah di tahqiq oleh Ali bin Abdil Aziz Al-Ali Alu Syibl di edarkan oleh Darul Wathon Riyadh Saudi Arabia,tentang dialog beliau dengan seorang rafidhoh, bisa dilihat di (Kalau tidak salah pernah dimuat dalam buku Gen Syiah nya Syaikh Mamduh (Klo ga salah judul aslinya "Asy-Syiah minhum wa 'alaihim") Salam, Abu Umair As-Sundawy |
to navigate to use esc to dismiss