Waalaikum salaam
Lebih baik antum masbuk daripada ikut jamaah lagi atau sholat sendiri
karen aantum tetap dapat sholat berjamaah dengan menyempurnakan lagi
rokaat yang belum satupun antum dapatkan bersama imam tapi tetap antum
sholatnya terhitung berjamaah.
Justru sholat imam kedua dan ketiga itu tidak terhitung berjamaah karena
yang sahih terhitung berjamaah menurut para jumhur ulama adalah jamaah
pertama dimana dipimpin oleh imam rowatib, mereka berpendapat bahwa tidak
ada dua imam dalam satu sholat.
Jadi bersegeralah jika menemui imam dalam kondisi tasyahud akhir untuk
masuk dalam shof dan menjadi masbuk dan tidak mengikuti orang2 jahil yang
suka menunggu imam rowatib selesai dan bahkan membuat jamaah sendiri2.
HUKUM SHALAT JAMA'AH KEDUA
Oleh
Al-Allamah -Al-Muhaddits Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : Bagaimana mendirikan
shalat jama'ah kedua setelah dilakukan jama'ah di dalam satu masjid.
Jawaban.
Ulama fikih berbeda pendapat tentang hukum shalat jama'ah kedua. Sebelum
aku menunjukkan perbedaan-perbedaan (pendapat) di antara mereka dan
menjelaskan mana yang rajih (unggul) dan marjuh (lemah), aku perlu
membatasi (pengertian) jama'ah (kedua) yang diperselisihkan itu.
Permasalahan yang diperselisihkan adalah (shalat) jama'ah yang didirikan
disatu masjid yang sebelumnya sudah didirikan oleh imam dan muadzdzin
tetap (masjid tersebut).
Adapun jama'ah-jama'ah yang didirikan di tempat lain, seperti di rumah, di
masjid jalanan, kompleks pertokoan tidak termasuk yang dipermasalahkan.
Ulama-ulama mengambil pendapat, bahwa mendirikan jama'ah untuk kedua
kalinya dalam satu masjid yang ada imam dan mu'adzdzin rawatibnya hukumnya
makruh, berdasar pengambilan dari dua sisi dalil.
[1]. Dalil naqli (dari syara')
[2]. Dalil nazhari meliputi periwayatan dan hikmah disyari'atkannya shalat
berjama'ah.
Adapun berdasar dalil naqli : Setelah para ulama ahli hadits meneliti
kehidupan Rasul Allah, mereka menemukan bahwa Rasul Allah sepanjang
hidupnya senantiasa shalat berjama'ah bersama para sahabatnya di masjid
beliau. Bila di antara para sahabatnya ada yang ketinggalan, tidak bisa
shalat berjama'ah bersama rasul Allah di masjid, mereka shalat sendiri dan
tidak menunggu siapa pun. Tidak menengok kanan-kiri, seperti dilakukan
orang sekarang, meminta satu atau banyak orang untuk bersama shalat
jama'ah dan salah seorang dari mereka dijadikan imam.
Demikian itu tidak pula diperbuat oleh orang-orang salaf (terdahulu). Bila
mereka masuk masjid, ternyata sudah selesai didirikan shalat jama'ah,
mereka shalat sendiri-sendiri. Begitulah yang dijelaskan oleh Iman Syafi'i
dalam kitabnya Al-Um. Ungkapan Imam Syafi'i berkaitan dengan masalah ini
lebih banyak dibanding ungkapan imam-imam lain.
Imam Syafi'i berkata :
"Bila ada beberapa orang masuk masjid, lantas mendapati imam telah selesai
shalat (jama'ah) lakukanlah shalat sendiri-sendiri. Bila mereka melakukan
shalat berjama'ah sendiri (lagi) boleh saja. Tapi, aku tidak menyukai
semacam itu. Karena hal itu bukan merupakan karakteristik salaf"
Kemudian Imam Syafi'i melanjutkan :
"Adapun masjid yang ada di pinggir jalan (yang disediakan untuk para
musafir) yang tidak punya imam dan muadzdzin tetap, maka melakukan
(shalat) jama'ah berulang kali di dalam masjid tersebut tidak apa-apa".
Imam Syafi'i berkata pula :
"Aku telah hafal (beberapa riwayat), sesungguhnya ada sekelompok shahabat
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketinggalan shalat berjama'ah.
Lantas merekapun shalat sendiri-sendiri. Padahal mereka mampu mendirikan
shalat jama'ah lagi. Tapi, hal itu tidak dilakukannya, karena mereka tidak
suka di satu masjid diadakan (shalat) jama'ah dua kali.
Semua ini merupakan ucapan Imam Syafi'i. Beliau menyebutkan, bahwa para
shahabat apabila ketinggalan shalat berjama'ah (bersama Rasulullah) mereka
shalat sendiri-sendiri. Begitulah disebutkan oleh Imam Syafi'i dengan
riwayat muallaq (artinya Imam Syafi'i tidak langsung mendapatkan riwayat
itu dari seorang rawi tapi rawinya menggantungkan riwayatnya). Al-Hafidzh
Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah mengaitkannya dalam kitabnya yang masyhur
Al-Mushannaf. Riwayatnya berdasarkan sanad yang kuat dari Hasan Al-Bashri,
bahwa sesungguhnya para shahabat apabila ketinggalan shalat berjama'ah
mereka shalat sendiri-sendiri.
Juga diriwayatkan Imam Ath-Thabari dalam kitabnya Mu'jam Al-Kabir dengan
sanad yang bagus dari shahabt Ibnu Mas'ud. Yaitu suatu saat Ibnu Mas'ud
bersama dua temanya keluar dari rumah menuju masjid untuk mengikuti shalat
jama'ah. Saat itu ia melihat orang-orang keluar masjid, mereka sudah
selesai melakukan shalat jama'ah. Maka Ibnu Mas'ud pun kembali ke rumah
bersama dua temannya. Ia shalat berjama'ah bersama mereka di rumah
sekaligus sebagai imam.
Ibnu Mas'ud kembali (ke rumah). Padahal keshahabatannya dengan Rasul Allah
cukup dikenal, pemahaman tentang keislamannya mendalam, andai kata beliau
tahu mendirikan jama'ah berulang-ulang kali di masjid itu diysrai'atkan,
pasti beliau dengan kedua temannya itu masuk masjid dan mendirikan shalat
berjama'ah di situ. Karena beliau jelas tahu bahwa Rasul Allah pernah
bersabda.
"Artinya : Seutama-utama shalat seseorang itu dirumahnya kecuali shalat
fardhu".
Kemudian apa yang mencegah Ibnu Mas'ud melaksanakan shalat fardhu itu di
masjid. ?
Jawabnya.
Karena Ibnu Mas'ud tahu bahwa sesungguhnya apabila melakukan shalat di
masjid, beliau akan melakukannya secara sendiri-sendiri. Ibnu Mas'ud
berpendapat, bahwa shalat berjama'ah di rumah bersama dengan dua temannya
akan lebih utama dari pada shalat sendiri-sendiri meskipun dilakukan di
masjid.
Semua ini merupakan kumpulan dalil-dalil naqli yang menguatkan pendapat
jumhur (ulama) bahwa mengadakan jama'ah untuk kedua kalinya di satu masjid
itu makruh hukumnya.
Kemudian para ulama itu pun tidak kehabisan jalan untuk mendapatkan
dalil-dalil lain selain yang sudah dipaparkan. Misalnya, melalui lstimbath
dan melihat secara tajam berkenaan dalil-dalil itu.
Imam Bukhari dan lmam Muslim meriwayatkan hadits dari shahabat Abu
Hurairah, Rasul Allah bersabda:
"Artinya : Aku memiliki kehendak untuk menyuruh seseorang menjadi imam
shalat (di masjid), kemudian aku menyuruh beberapa lelaki untuk mengambil
(mengumpulkan) kayu bakar dan aku keluar menuju ke rumah orang-orang yang
tidak mengikuti shalat berjamaah di masjid. Maka, aku bakar rumahnya. Demi
Zat yang jiwa Muhammad shalallahu 'alaihi wa sallam berada di tangan-Nya,
andaikata orang-orang ku mengetahui bahwa di dalam masjid itu akan
ditemukan dua benda yang sangat berharga pasti mereka akan
menyaksikannya pula"[Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)]
Hadits ini merupakan ancaman dari Rasul Allah atas orang-orang yang suka
menyelisihi terhadap kehadiran (untuk) shalat jamaah di masjid dengan cara
membakar rumahnya. Saya (Al-Albani) melihat, bahwa hadits ini telah
memberikan gambaran kepada kita tentang hukum permasalahan terdahulu
(yaitu bahwa shalat berjamaah dua kali atau lebih dalam satu masjid yang
ada imam dan mu'adzdzin tetapnya dihukumi makruh [dibenci]). Hadits ini
bisa pula memberikan gambaran kepada saya untuk bisa menerima penuturuan
lmam Syafi'i yang di-washalkan oleh lmam lbnu Abi Syaibah bahwa
sesungguhnya para shahabat tidak mau mengulang shalat jamaah di dalam satu
masjid. Hal demikian itu disebabkan, (andai) kita melakukan pembenaran
bahwa shalat jamaah yang kedua atau yang ketiga itu disyariatkan (oleh
agama) di dalam satu masjid, kemudian pada sisi lain ada ancaman yang
sangat keras dari Rasul Allah bag! orang-orang yang meninggalkan shalat
jamaah, maka (timbul pertanyaan, ed) shalat jamaah yang keberapa yang
apabila ditinggalkan akan mendapat ancaman yang sangat berat sekali?
Apabila (pengandaian) ini dijawab dengan ucapan, "Shalat jamaah (yang
apabila ditinggalkan itu mendapat ancaman sangat berat) adalah shalat
jamaah yang pertama".
Pengandaian ini juga bisa dilanjutkan dengan perkataan: "Kalau begitu,
jamaah yang kedua dan lainnya tidak disyariatkan?" Kalau dijawab "Ancaman
ini meliputi atau mencakup atas orang-orang yang meninggalkan jamaah,
keberapa saja" maka jawapan itu bisa ditimpali: "Kalau begitu ancaman
Rasul Allah tidak bisa dibuat hujjah untuk orang-orang yang tidak mengikut
jamaah yang keberapa pun, kerana andai kata orang-orang yang tidak
mengikuti jamaah itu didatangi secara mendadak, saat mereka tidak
berangkat (ke masjid, ed) dan kita menemukan mereka sedang santai-santai
saja dengan anak dan isteri dan apabila ditegur mengapa tidak mengikuti
shalat jamaah? Maka, mereka akan menjawab: "Kami akan mengikuti jamaah
yang kedua saia, atau yang ketiga saja." Bila begitu, apakah ancaman Rasul
Allah itu dibuat hujjah atas mereka? Oleh kerana itu bila Rasul Allah
berkehendak mencari ganti seseorang yang menduduki kedudukan beliau
(sebagai imam) dalam shalat berjamaah, lantas beliau mendatangi
rumah-rumah orang yang meninggalkan shalat berjamaah untuk membakarnya
merupakan dalil yang sangat besar sekall untuk mengatakan bahwa shalat
jamaah kedua, ketiga kaii di satu masjid adalah tidak ada sama sekali.
Demikianlah bila dikaitkan dengan dalil-dalil naqli yang telah menjadi
pedoman para ulama.
Adapun berkaitan dengan dalil nazhari, bisa dijelaskan sebagai berikut:
Keberadaan fadhilah (keutamaan) shalat berjamaah telah banyak dihadirkan
melalui hadits-hadits yang masyhur, dan salah satu diantaranya:
"Artinya : Shalat berjamaah dibandingkan shalat sendirian, keutamaannya
dua puluh lima (datam satu riwayat dua puluh tujuh) derajat?€?.
Inilah keutamaan shalat berjamaah *
Sebuah hadits lagi.
"Artinya : Sesungguhnya shalat seorang laki-laki (yang berjamaah) dengan
seorang laki-laki lain. lebih bersih di sisi Allah daripada shalatnya
(seseorang yang) sendirian. Dan shalatnya seorang laki-laki (yang
berjamaah) bersama dengan dua orang laki-laki lebih bersih lagi di sisi
Allah daripada shalat berjamaah dengan satu oang laki laki"
Dan begitu seterusnya, semakin banyak peserta jamaah smakin banyak pula
pahala yang diterima.
Apabila kita mengingat makna (arti) ini (yaitu, makna kalimat dalam
riwayat di atas, ed), kemudian kita melihat akibat dari penetapan
kebolehan mengulangi kembali shalat jamaah di dalam satu masjid yang punya
imam dan mu'adzdzin tetap, akibatnya sangat buruk sekali bila diukur
dengan hukum Islam (yang telah kita paparkan sebelumnya), yaitu shalat
jamaah hanya satu kali. Kerana berpendapat, bahwa shalat jamaah itu boleh
didirikan berulang ulang di dalam satu masjid yang ada imam dan muadzdzin
ratib (tetap) nya bisa mengarah pada sedikitnya jamaah peserta shalat
jamaah yang pertama. Hal ini tentu bertentangan dengan ajakan yang bisa
kita petik dari hadits:
"Artinya : Shalat seorang laki-laki dengan laki-laki lain itu lebih bersih
dari shalat seorang laki-laki yang sendirian saja"
Karena hadits ini memotivasi agar jamaah bisa banyak pesertanya, begitu
pula, pendapat yang membenarkan bolehnya mengulang (menyelenggarakan
kembali) shalat jamaah di satu masjid,.niscaya bakal menciptakan kondisi
peserta jamaah itu kecil, dan jelas sekali bakal memecah belah persatuan
kaum muslimin.
Sekali lagi, kita dituntut melihat secara jernih, bahwa penyebutan harus
mengingat hadits Ibnu Mas'ud (dalam shahih Muslim) semisal dengan hadits
Abu Hurairah:
"Artinya : Aku berkeinginan menyuruh seseorang untuk menjadi imam shalat
di masjid... dan seterusnya"
Hadits ini, (ashbabulwurudnya), berkenaan dengan orang-orang yang
menyelisihi shalat Jum'at. Kita mengetahui bahwa lbnu Mas'ud melepaskan
kata ancaman (mestinya berdasar ancaman Nabi, ed) terhadap setiap orang
yang meninggalkan jamaah. Baik jamaah Jum'at atau jamaah lainnya. Kita pun
mengetahui bahwa sesungguhnya shalat jamaah Jum'at dan shalat jamaah
lainnya sama. Sama di dalam berjamaahnya dan ada ancamannya. Hal itu
menunjukkan tidak ada jamaah untuk kedua kalinya bagi kedua shalat
tersebut.
Untuk shalat Jum'at, sampai sekarang orang masih menjaga pesatuannya.
Tidak ada yang berpendapat bahwa Jum'at itu secara syariat bisa
dilaksanakan dua atau tiga kali di dalam satu masjid, dan semua ulama dari
golongan (madzhab) manapun sepakat akan hal itu. Oleh itu, kita bisa
melihat masjid-masjid itu penuh sesak dengan jamaah di hari Jum'at.
Meskipun, kita juga tidak melupakan, dan ingat secara pasti, bahwa di
antara sebab meluapnya masjid-masjid di saat jamaah Jum'at itu di
antaranya kerana yang hadir bukan hanya yang biasa melakukan jamaah di
masjid itu. Namun, kita pun tidak ragu pula bahwa penuhnya masjid pada
hari Jum'at itu kerana orang Islam tidak membiasakan mendirikan shalat
Jum'at lagi setelah shalat Jum'at pertama dilaksanakan. (alhamdulillah).
Jadi kalau umat Islam, misalnya mendirikan jamaah selain Jum'at sama
persis dengan mendirikan jamaah Jum'at seperti pada zaman Rasulullah, kita
pasti bias melihat bagaimana penuhnya masjid masjid itu dengan jamaahnya.
Oleh kerana orang-orang yang rindu akan shalat berjamaah, di dalam hatinya
tidak ingin ia ketinggalan jamaah, lantaran tidak mungkin ia bias
mendirikan jamaah baru. Kemudian semacam ini bias mendorong mereka untuk
betul-betul melaksanakan jamaah tepat waktu dengan sebaik-baiknya.
Sebaliknya, (tidak dimilikinya keyakinan seperti ini) jiwa seorang muslim
akan menganggap ringan bila ia ketinggalan jamaah, kerana ia pun akan bisa
menutup dengan jamaah yang kedua, ketiga sampai kesepuluh misalnya. Cara
pandang demikian itu akan melemahkan kehendak dan semangat diri untuk
mnghadiri jamaah.
Dan Pembahasan Berikutnya.
Pertama.
Kita perlu memperjelas bahwa para ulama yang berpendapat tidak
disyariatkannya jamaah kedua, seperti yang telah diterangkan di awal
artikel ini, dan andai terpaksa dilakukan hukumnya makruh, adalah jumhur
para imam salaf, termasuk di datamnya Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan
lmam Syafi'i. Adapun lmam Ahmad dalam salah satu riwayat dan dalam riwayat
lain yang dibawa oleh seorang muridnya yang bemama Abu Dawud As-Sijistani
di dalam kitabnya Masa-il al-lmam Ahmad, Imam Ahmad berkata:
"Sesungguhnya mengulang jamaah di dalam dua masjid al-Haramain (masjid
at-haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah) hukumnya sangat makruh
(dibencl)"
Hal ini dilihat dari keutamaan. (Maksudnya, ucapan Imam Ahmad di bahagian
awal artikel ini memberikan gambaran kepada kita), bahawa kemakruhan
jamaah ulang di masjid-masjid lain juga ada. Tapi, kemakruhan itu bisa
lebih berat apabila jamaah ulang itu dilakukan di masjid Makkah ataupun
Madinah. Jadi riwayat dari lmam Ahmad ini bisa bertemu (sama) pula dengan
pendapat para imam yang tiga: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam
Syafi'i.
Kedua.
Ada riwayat lain dari Imam Ahmad, yang riwayat ini masyhur di kalangan
pengikutnya, pada intinya lmam Ahmad.dan pengikut-pengikutnya daripada
ahli tafsir membawakan hadits yang diriwayatkan oleh lmam Tirmidzi, lmam
Ahmad sendiri dan lain-lainnya dari kalangan shahabat Abu Sa'id al-Khudri:
"Artinya : Ada seorang lelaki masuk masjid dan Rasul Allah sudah selesai
berjamaah shalat. Di sekitar Rasul waktu itu masih ada beberapa shahabat.
Maka, Rasul Allah melihat lelaki itu akan melakukan shalat sendiri.
Kemudian Rasul Allah bersabda, Adakah seseorang yang bisa bersedekah
kepadanya ?,
Kemudian ada seorang laki-laki berdiri, lantas shalat bersamanya. Maka
(seseorang itupun) shalat bersamanya"
Dalam satu riwayat yang dibawakan oleh lmam Abu Bakar al-Baihaqi datam
kitab Sunan al-Kubra menjelaskan, bahawa laki-laki yang bersedekah
dimaksud adalah shahabat Abu Bakar. Tetapi, riwayat ini dhaif sanadnya.
Adapun yang shahih adalah riwayat yang tidak menyebutkan nama laki-laki
dimaksud.
Kemudian ada yang berhujjah dengan hadits ini bahwa jamaah kedua (ketiga
dan seterusnya) boleh dengan alasan: "Rasul Allah telah setuju adanya
jamaah kedua.
Jawaban terhadap pendapat ini, yang berdalil dengan hadits di atas dalah:
'Kita harus memperhatikan bahawa jamaah yang diterangkan dalam hadits itu
bukan jamaah yang kita persoalkan. Karena, jamaah yang termuat di dalam
hadits itu jamaahnya seorang yang masuk masjid setelah masjid itu selesai
digunakan untuk shalat jamaah. Dan lagi, orang itu pun akan melakukan
shalat sendiri. Setelah Rasul Allah melihat yang demikian itu, Rasul Allah
meminta para shahabat di dekatnya yang sudah shalat berjamaah bersama
beliau kiranya ada yang mau bersedekah untuknya. Kemudian ada yang bangkit
menuruti perintah Rasul, dan dia melakukan shalat nafilah (sunnah).
Begitu yang terjadi. ltu merupakan jamaah yang terdiri dari dua orang,
satu imam dan satu makmum. Imam melakukan shalat fardhu dan yang makmum
melakukan shalat sunnah. Maka, siapakah yang berkeyakinan bahwa hal ini
jamaah? Seandainya tidak ada yang bershalat sunnah, tentu tak akan ada
jamaah. Kalau begitu, jamaah semacam itu namanya berjamaah tathawwu' dan
tanafful, bukan jamaah (shalat) fardhu. Padahal perselisihan pendapat
tentang jamaah ini, persoalannya berputar pada jamaah shalat fardhu yang
dilakukan jamaah, persoalannya berputar pada jamaah shalat fardhu yang
dilakukan untuk kedua kalinya di satu masjid (yang ada imam ratibnya dan
mu'adzdzin). Oteh kerana itu mengambil dalil dengan hadits Abi Sa'id dan
ditempatkan dalam kerangkan perselisihan tentu tidak bisa dibenarkan.
Apalagi bila dikuatkan dengan kalimat hadits:
"Artina : Adakah seseorang yang mau bersedekah kepadanya ? Maka,
(sesearang itupun) shalat bersamanya?€?.
Kejadian ini terjadi karena adanya orang yang bersedekah dan yang
disedekahi. Seandainya kita tanyakan kepada orang yang sangat sedikit
pemahaman dan ilmunya, siapa (dari dua orang ini) yang bersedekah dan yang
disedekahi dalam peristiwa ini?
Maka, jawabnya pasti orang yang besedekah ialah orang yang melakukan
shalat lagi, yang sebelumnya sudah shalat berjamaah dibelakang Rasuluilah,
dan orang yang disedekahi adalah orang yang datang belakangan sehabis
jamaah Rasulullah.
Pertanyaannya itu sendiri apabila kita lemparkan ke dalam masalah jamaah
yang diperselisihkan kebolehannya, (misalnya) ada enam atau tujuh orang
masuk masjid secara bersamaan dan menemukan imam sudah selesai melakukan
jamaah shalat. Kemudian salah satu dari mereka maju ke depan (untuk
menjadi imam sedang lainnya di belakang mengatur diri dalam posisi
makmum), dan mereka mendirikan jamaah kedua.
Pertanyaan, siapa di antara mereka yang bersedekah dan siapa pula yang
disedekahi?
Pertanyaan ini tidak akan mampu dijawab oleh siapa pun, sebagaimana
menjawab (contoh) pertanyaan pertama. Jamaah shalat yang ini dilakukan
setelah imam dan makmum di masjid itu selesai melakukan shalat jamaah
fardhu. Jadi, dalam hal ini tidak ada yang bersedekah dan tidak ada pula
yang disedekahi.
Bedanya jelas sekali. Dalam contoh pertama, orang yang bersedekah adalah
laki-laki yang (shalat) nafilah (sunnah) yang sudah shalat bersama Rasul
Allah yang tentunya mendapatkan nilai tambah (pahala) sebanyak dua puluh
tujuh derajat. Jadi dia bisa disebut orang kaya. Kerana kemampuannya pula
dia bisa bersedekah kepada orang lain dan kepada yang menjadi imam
(melalui shalat sunnah dengan bermakmum di belakang orang yang shalat
sendirian). Kalau tidak begitu, orang itu akan shalat sendiri. Dia miskin,
dan dia memerlukan orang yang bisa memberi sedekah padanya. Sebab, dia
tidak bisa mengupayakan orang yang bisa memberi sedekah.
Dalam contoh ini, jelas ada orang yang memberi sedekah dan ada yang diberi
sedekah. Adapun yang kita perselisihkan tidak demikian. Rombongan yang
datangng setelah selesai jamaah shalat di masjid, semuanya fakir, semuanya
ketinggalan jamaah pertama (bersama imam). Jadi kalau kita bersandar
dengan:
"Adakah seseorang yang mau bersedekah kepadanya. Maka (seseorang itu pun)
shalat bersamanya"
Hal itu tidak bisa tepat. Perumpamaan ini tidak sah untuk dijadikan dalil
bagi peristiwa kedua (yaitu, bagi serombongan orang melakukan shalat
jamaah kedua).
Sisi pengambilan dalil lainnya yang mereka bawakan adalah sabda beliau:
"Artinya : Shalat berjamaah dibanding shalat sendiri, keutamaannya dua
puluh tujuh derajat"
Mereka mengambil dalil ini, berdasarkan pemahaman bahawa al pada kalimat
al-Jamaah adalah li as-syumul (bagi keseluruhan). Artinya, bahwa semua
shalat jamaah (baik pertama, kedua, ketiga dan seterusnya, ed) di dalam
satu masjid memperoleh keutamaan bila dibandingkan shalat sendirian.
(Untuk mengomentari itu) kami akan mengatakan berdasarkan dalil terdahulu:
Sesungguhnya al di sini bukan untuk keseluruhan, akan tetapi al dimaksud
adalah li al-'ahdi (untuk penunjukan). Maksudnya, menunjuk kepada shalat
jamaah sebagaimana disyariatkan Rasul Allah yang semua manusia dihasung
kepadanya. (Bahkan), beliau mengancam orang-orang yang meninggalkannya
dengan ancaman akan membakar rumah-rumah mereka dan Rasul Allah juga
memberikan sifat kepada orang-orang yang meninggalkannya dengan sebutan
munafiqin. Adalah shalat jamaah yang memiliki keutamaan dibanding shalat
sendiri, yaitu shalat jamaah yang pertama. Wallahu Ta'ala a'lam.
[Disalin dari buku HUKUM SHALAT JAMA'AH KEDUA, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Dinukil dari Rubrik Masa'il... Wa Ajwibatuha Majalah Al-Ashalah Edisi 15 Rajab 1415H, Penerjemah Musta'in Masyhur, Penerbit Yayasan Al-Madinah]
Arfianto M Hendarko <arfiantoemha@...>
Sent by: assunnah@...
Assalamu 'alaykum
Ana arfin dari jogja
Masih melanjutkan pertanyaan dari akh nanang, ruli:
"kalo kita sholat di masjid yang padanya banyak terdapat jama'ah, mis
masjid kampus, atau masjid yang ada di pinggir jalan dimana orang2 sering
berlalu lalang dan mendirikan jama'ah setelah sholat jama'ah rowatib (yang
pertama telah usai).
Jika ana menemui sholat jama'ah rowatib hampir selesai yaitu pada saat
imam sudah tasyahud akhir sedangkan banyak orang lain juga masih belum
sholat, atau masih belum selesai wudlu, maka apa yang harus ana lakukan;
apakah sholat dengan mengikuti imam rowatib (yaitu langsung tasyahud
akhir) dengan konsekuensi tidak mendapatkan pahala sholat jama'ah karena
tidak mendapatkan 1 roka'at bersama imam; atau menunggu jama'ah kedua
supaya mendapatkan pahala sholat berjama'ah dan mendapatkan keutamaan
mengikuti imam yang kedua dari mulai takbirotul ihrom"
Sekian
Jazakalloh khoir atas jawabannya
Wassalamu'alaykum